Sekitar awal bulan lalu, MUI (Majelis Ulama Indonesia) Jawa Timur mengeluarkan taushiyah atau imbauan dan seruan dalam surat bernomor 110/MUI/JTM/2019 agar masyarakat dan pejabat muslim tidak mengucapkan salam pembuka lintas agama demi menjaga kemurnian dari agama yang dianutnya. Tentu hal ini menimbulkan polemik bagi masyarakat Indonesia, terutama di kalangan para pejabat negara dan tak terkecuali di internal antar umat muslim sendiri.
Undang-undang sudah menjamin seiap warganegara untuk menjalankan agama sesuai dengan keyakinan dan pilihan masing-masing. Maka, sebenarnya MUI memiliki tanggungjawab moril untuk ber-amr ma’rûf nahy munkar, mengingatkan umat muslim Indonesia untuk tetap menjaga kemurnian agamanya, karena MUI menilai bahwa mengucapkan salam tersebut merupakan perbuatan bid’ah yang mengandung syubhat sehingga dapat merusak dan menodai kemurnian tauhid/aqidah seorang muslim.
Salam Lintas Agama
Salam lintas agama, salam pembuka semua agama, atau salam semua agama adalah sebuah ucapan salam khas dari enam agama yang diakui di Indonesia―islam, kristen, katolik, hindu, buddha, dan konghucu―yang diucapkan secara bersamaan, yakni “as-salâmu ‘alaikum wa rahmatul-`Llâhi wa barakâtuh” (islam), “salam sejahtera bagi kita semua” (kristen), “shalom” (katolik), “om swastiastu” (hindu) yang artinya adalah semoga dalam keadaan selamat atas karunia dari Hyang Widhi, “namo buddhaya” (buddha) yang artinya adalah terpujilah semua Buddha, dan “salam kebajikan” (konghucu) yang artinya hanya kebajikanlah yang bisa menggerakan Tian (Tuhan) dan merupakan terjemah dari Wei De Dong Tian.[1]
Salam tersebut mula-mula dipopulerkan oleh Presiden Indonesia Joko Widodo. Kemudian diikuti oleh para pejabat negara dari tingkat menteri sampai RT sekalipun. Itu tandanya saat ini di Indonesia pengucapan lintas agama sudah menjadi kebiasaan yang dianggap baik sebagai salah satu cara mengungkapkan rasa toleransi antar umat beragama.
Sejarah Penggunaannya di Indonesia
Menurut sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuian Indonesia (LIPI) Asvi Marwan Adam, dahulu pada zaman kemerdekaan salam yang populer digunakan adalah kata “Merdeka!”. Salam ini sering dipakai Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno dalam setiap pidato resmi kenegaraannya.
Sementara itu, ucapan “as-salâmu ‘alaikum” semakin populer di era orde baru yang dipimpin oleh Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, meskipun Soekarno pun pernah meggunakan salam “as-salâmu ‘alaikum” pada sidang istimewa MPRS 22 Juni 1966.
Ucapan salam kembali berkembang di era Reformasi dengan munculnya “Salam sejahtera bagi kita semua,” lalu ada kata “Shalom”. Di zaman Megawati Soekarnoputri, kata salam bertambah lagi dengan “Om swastiastu”. Kemudian barulah pada zaman presiden Jokowi ini ditambah lagi dengan salam kebajikan dari Konghucu.[2]
Ifsyâ`us-Salâm (Menebarkan Salam)
Sebelum membahas mengenai salam lintas agama menurut pandangan islam, perlu rasanya diulas terlebih dahulu mengenai hakikat salam. Salam merupakan sebuah penghormatan sekaligus do’a yang berisi keselamatan dan kebaikan. Agama islam, sesuai dengan arti semantiknya, yaitu masuk dalam kedamaian, keselamatan, atau kemurnian, menganjurkan penganutnya untuk senantiasa menyebarkan kedamaian dan keselamatan dengan cara mengucapkan salam (ifsyâ`us-salâm) kepada sesama muslim dengan mengucapkan as-salâmu ‘alaikum wa rahmatul-`Llâhi wa barakâtuh. Nabi Muhammad―shallal-`Llâhu ‘alaihi wa sallam―bersabda:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ ، لاَ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا ، وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا ، أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ ، أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ
“Demi Dzat yang jiwaku ada pada tanganNya, kalian tidak akan masuk surga sampai beriman, tidak disebut beriman sampai saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan sebuah amalan yang jika kalian lakukan maka kalian akan saling mencitai?; menyebarkan salam di antara kalian.”[3]
Bukan hanya ifsyâ`us-salâm, islam pun mengajarkan untuk menjawab salam (raddus-salâm). Jika ifsyâ`us-salâm ini hukumnya sunnah, maka raddus-salâm hukumnya wajib. Ini menunjukkan bahwa islam mengajarkan untuk membalas kebaikan orang lain. Bahkan islam mengajarkan untuk membalas kebaikan―terutama salam―dengan balasan yang lebih baik. Allah―’azza wa jalla―berfirman:
“Dan apabila kalian diberi penghormatan dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik atau balaslah (yang sepadan) dengannya. Sesungghunya Allah Memperhitungkan segala sesuatu.”[4]
Namun yang jadi permasalahan adalah mengucapkan salam kepada non-muslim. Agama islam pun mengatur hukum berkaitan dengan masalah ini. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad―shallal-`Llâhu ‘alaihi wa sallam―bersabda:
لاَ تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ فَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِى طَرِيقٍ فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ
“Janganlah kalian memulai mengucapkan salam kepada umat Yahudi dan Nashrani. Jika kalian bertemu dengan salah seorang dari mereka pada suatu jalan, seretlah mereka ke tempat yang sempit.”[5] Tegas sekali dalam hadits ini Nabi―shallal-`Llâhu ‘alaihi wa sallam―melarang umat muslim untuk mendahului ucapan salam kepada mereka, karena pada hakikatnya orang kafir tidak mungkin mendapatkan keselamatan di dunia maupun di akhirat.
Namun, berbeda halnya ketika umat Yahudi atau Nashrani yang memulai mengucapkan salam, kita diperbolehkan untuk menjawabnya secara sempurna jika memang benar-benar terdengar jelas bahwa mereka mengucapkan lafazh salam dengan jelas atau menjawab hanya dengan laafzh “wa ‘alaik” jika kita tidak mendengar dengan jelas lafazh yang mereka ucapkan.
Salam yang Merusak Tauhid
Di samping tuntunan agama islam yang mengharuskan penganutnya untuk menebarkan salam, ternyata harus juga berhati-hati, karena ada salam yang bisa merusak tauhid/aqidah seorang mu`min. Salah satu contohnya adalah salam lintas agama yang di telah kami singgung di muka.
Terlepas dari siapa objek yang diberikan salam―baik sesama muslim maupun non-muslim―tetap saja salam lintas agama seperti ini haram diucapkan oleh seorang mu`min karena berisi pengakuan terhadap tuhan selain Allah. Di dalam salam-salam tersebut disebutkan adanya Hyang Widhi, Buddha, dan Tian yang mana merupakan tuhan-tuhan yang disembah selain Allah. Allah jelas sangat melarang umat manusia untuk menyekutukanNya, firmanNya:
“Katakanlah (Muhammad): ‘Aku dilarang untuk beribadah kepada sesembahan yang kalian sembah selain Allah…”[6]
Dalam ilmu tauhid, menyekutukan Allah disebut dengan istilah syirik. Dosa syirik―terutama syirik akbar―adalah larangan Allah yang paling utama dan dosa besar yang paling besar[7]. Selain itu, dosa syirik merupakan satu-satunya dosa yang tidak akan Allah ampuni jika si pelaku tidak bertaubat sampai matinya[8], na’ûdzu bil-`Llâh.
Dengan mengucapkan salam lintas agama, berarti secara tidak langsung si pengucap telah mengakui eksistensi/keberadaan tuhan-tuhan tersebut. Sekali lagi, mengakui keberadaan tuhan selain Allah merupakan perbuatan syirik. Bahkan, Muhammad ibn ‘Abdul-Wahhab menyebutkan bahwa menyekutukan Allah dapat membatalkan keislaman seseorang[9]. Namun bukan berarti keluar dari agama islam sehingga herus bersyahadat kembali. Batal yang dimaksud adalah hilang seluruh pahala amal kebaikannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah―’azza wa jalla―:
“Sungguh telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan (para nabi) sebelummu bahwa jika kamu berbuat syirik, maka seluruh amalmu akan terhapus dan kamu akan benar-benar termasuk dalam golongan orang-orang yang merugi.”[10]
Oleh karena itu, jangan sampai kita rela mengorbankan tauhid kita hanya dengan dalih melaksanakan toleransi semu. Toleransi itu bukan harus mengakui keberadaan semua tuhan, tapi toleransi yang sejati adalah menghargai orang lain untuk tetap berpegang pada prinsip agamanya masing-masing.
Wal-`Llâhul-Musta’ân. Allâhumma shalli wa sallim wa bârik ‘alâ Muhammad.
Oleh : Fauzy Barokah Ramadhani (Staf Pengajar Pesantren PERSIS 27 Situ Aksan Bandung)
[1] _________. “Salam Lintas Agama”. https://id.wikipedia.org/wiki/Salam_Lintas_Agama.
[2] Bandung Kiwari. “Sejarah Ucapan Salam dari Era Sukarno, Soeharto, hingga Jokowi”. https://kumparan.com/bandungkiwari/secuil-sejarah-ucapan-salam-di-zaman-perjuangan-sukarno-soeharto-dan-jokowi-1541746625993030938.
[3] Sunan Ibn Mâjah, kitab al-adab bab ifsyâ`us-salâm no. 3692.
[4] QS an-Nisa` (4) : 86.
[5] Shahih Muslim kitab as-salâm bab an-nahy ‘an ibtida`I ahlil-kitâbi bis-salâm no. 5789.
[6] QS al-An’am (6) : 56.
[7] Lihat QS al-An’âm (6) 151 – 153.
[8] Lihat QS an-Nisâ` (4) : 48.
[9] Muhammad ibn ‘Abdul Wahhâb, Nawâqidul-Islâm, poin ke – 1.
[10] QS az-Zumar (39) : 65.