عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: : «لَا هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ، وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ، وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا» رواه البخاري
“Dan dari ‘Aisyah Radhiyallâhu ‘anhâ ia berkata: Nabi Muhammad Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tidak ada lagi hijrah setelah kemenangan (fathu makkah) akan tetapi yang tetap ada adalah jihad dan niat. Maka jika kalian diperintahkan berangkat untuk berperang, maka berangkatlah kalian.” (HR. Bukhari, nomor 2783)
Maksud kalimat la hijrota ba’dal fathi dalam hadis ini ialah tidak ada hijrah (pindah) dari Makkah karena Makkah sudah menjadi Negara Islam. Makkah ditaklukkan dari penguasaan orang-orang kafir Quraisy pada tanggal 20 Ramadhan tahun 8 hijriyah dan dikenal dengan istilah fathu Makkah. Tatkala Allah Azza wa Jalla menjadikan Makkah dikuasi oleh Nabi Muhammad saw. dan kaum muslimin, maka banyak manusia yang berbondong-bondong masuk Islam. Sehingga, akhirnya Makkah menjadi Negara Islam. Dikarenakan Makkah sudah menjadi Negara Islam, maka tidak ada kewajiban hijrah.
Para ulama menjelaskan bahwa jika suatu negara belum dikuasai oleh Islam; masih negara kafir, dan ada orang muslim yang tinggal di sana, maka kaum muslimin memilih dari tiga kondisi sebagai berikut: pertama: Jika seorang muslim tidak bisa leluasa menampakkan keislamannya dan tidak bisa menjalankan ibadah di Negara tersebut karena dibatasi atau dilarang, dan ia mampu berhijrah, maka hijrah dari Negara tersebut hukumnya wajib. Hal ini untuk menyelamatkan nyawanya dan akidahnya, ini sesuai dengan perintah Allah Azza wa Jalla dalam Alquran:
قالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ واسِعَةً فَتُهاجِرُوا فِيها
“Para malaikat berkata, “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kalian dapat berhijrah di bumi itu?” (QS. Annisaa ayat 97)
Kedua, jika seorang muslim bisa dengan leluasa melaksanakan ajaran Islam, bisa beribadah dengan tenang, aman, maka hukum hijrahnya adalah sunnah, sedangkan menurut Al-Mawardi, dia tinggal di daerah tersebut mempunyai tujuan untuk berdakwah, berjihad, sehingga jumlah kaum muslimin bertambah dan akhirnya bisa dikuasai Negara tersebut menjadi Negara Islam, maka hal ini lebih utama.
Ketiga, jika orang muslim yang tinggal di Negara tersebut kondisinya lemah, karena dipenjara, disiksa, sampai sakit, bahkan sampai meninggal dunia, maka dalam kondisi seperti ini ia diperbolehkan tinggal di sana; tidak wajib berhijrah. Bahkan jika orang-orang kafir menyiksa dan memaksa untuk murtad, maka dalam kondisi ini diperbolehkan untuk berpura-pura murtad, karena kondisi darurat bisa menghilangkan nyawa.
Ibnu Hajar al-Asqalani ketika menjelaskan kalimat wa lakin jihadun wa niyatun menyebutkan Jihad menurut bahasa adalah penderitaan, kesukaran, atau gangguan. Sedangkan menurut syara’, jihad adalah mencurahkan seluruh kemampuan untuk memerangi orang-orang kafir. (Fathul Baari : 5 jilid 6). Kemudian ia menjelaskan bahwa jihad bukan hanya berperang melawan orang-orang kafir, tetapi jihad itu termasuk berjihad terhadap diri sendiri, berjihad terhadap syaitan, dan berjihad terhadap orang-orang fasik. Adapun berjihad terhadap diri sendiri yaitu dengan cara belajar perkara agama Islam, mengamalkannya, kemudian mengajarkannya kepada orang lain. Berjihad terhadap syetan adalah dengan cara menghindari dari hal-hal yang syubhat dan menghindari nafsu syahwat. Sedangkan berjihad terhadap orang-orang kafir dan fasik dengan cara pendekatan dakwah dengan melalui kekuatan kekuasaan, harta, lisan, dan jiwa. (Fathul Baari : 5 jilid 6)
Jika suatu negara sudah menjadi negara Islam, maka tidak ada kewajiban hijrah (berpindah) bagi para penduduknya, yang ada adalah perintah berjihad dan niat yang baik. Muhammad Ibnu Utsaimin menjelaskan dalam Syarah Riyadush Shalihin, perintah setelah ini adalah berjihad, atau anjuran penduduk Makkah agar keluar untuk berjihad di jalan Allah disertai niat yang sholih. Tujuan berjihad semata-mata untuk meninggikan kalimat Allah swt. atau bisa juga keluar untuk mencari dan memperdalam ilmu agama. Dalil-dalil nash Al-Quran dan Sunnah tentang perintah berjihad di jalan Allah diantaranya sebagai berikut,
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ
“Dan berjihadlah kalian pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” (QS. Al-Hajj ayat 78)
اِنْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Berangkatlah kalian, baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan diri kalian di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.” (QS. At-Taubah ayat 41)
لَا يَسْتَوِي الْقاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجاهِدِينَ بِأَمْوالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلاًّ وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنى وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجاهِدِينَ عَلَى الْقاعِدِينَ أَجْراً عَظِيماً
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.” (QS. Annisaa ayat 95)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ: أَيُّ العَمَلِ أَفْضَلُ؟ فَقَالَ: «إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ». قِيلَ: ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: «الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ» قِيلَ: ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: «حَجٌّ مَبْرُورٌ». رواه البخاري
“Dari Abu Hurairah semoga Allah meridoinya, bahwasanya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam ditanya: Amal apa yang paling utama? Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjawab: Beriman kepada Allah dan Rasulnya. Beliau ditanya lagi, kemudian apa? Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjawab: Jihad di jalan Allah. Beliau ditanya lagi, kemudian apa? Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjawab:Haji yang mabrur.” (HR. Bukhari nomor 26, , Fathul Baari, jilid 1, hal. 98-99).
Dalil-dalil di atas menjelaskan keutamaan dan pentingnya jihad di jalan Allah. Seorang muslim yang mencurahkan, mengorbankan hartanya, jiwanya dan semua yang dimilikinya dijalan Allah, maka itulah disebut jihad. Dengan demikian Jihad harus disertai niat karena Allah swt.. Abdurrahman As-Sa’di mengatakan, “Sesungguhnya baik dan rusaknya suatu amal perbuatan itu tergantung niatnya, sehingga bisa tercapai buah dan seluruh amal ibadah tidak akan sah kecuali harus disertai niat dan ikhlas karena Allah swt.”. Hal ini sebagaimana tercantum dalam ayat dan hadis sebagai berikut,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Q.S al-Bayyinah : 5)
عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ الرَّجُلُ: يُقَاتِلُ لِلْمَغْنَمِ، وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلذِّكْرِ، وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِيُرَى مَكَانُهُ، فَمَنْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ قَالَ: «مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ العُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ» رواه البخاري
“Dari Abu Musa semoga Allah meridoinya, ia berkata: Ada seorang laki-laki datang menemui Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata: Seseorang berperang untuk mendapatkan ghonimah, seseorang yang lain berperang untuk menjadi terkenal, dan seseorang yang lain berperang untuk dilihat kedudukannya, manakah yang disebut fi sabilillah? Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjawab: Siapa yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah dialah yang disebut fi sabilillah.” (HR. Bukhari nomor 2810, Fathul Baari : 33 jilid 6)
Adapun kalimat idzastanfartum fanfiru dalam sabda Nabi saw. diawal pembahasan menunjukan bahwa berangkat berperang melawan orang – orang kafir hukumnya wajib. Terlebih para ulama menjelaskan berperang itu hukumnya fardhu’ ain dalam tiga kondisi berikut. Pertama jika pemimpin secara langsung memerintahkan untuk berjihad di jalan Allah. Kedua, apabila musuh sudah mengepung, maka berperang itu wajib bagi yang mampu untuk berperang. Ketiga, apabila barisan kaum kafir dan kaum muslimin sudah berhadap-hadapan
Dengan demikian haram hukumnya lari dari peperangan sebagaimana firman Allah swt. dan sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam sebagai berikut,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفًا فَلا تُوَلُّوهُمُ الأدْبَارَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bertemu dengan orang-orqng yang kafir yang sedang menyerang kalian, maka janganlah kalian membelakangi mereka (Mundur).” (QS. Al-Anfal ayat 15)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «اجْتَنِبُوا السَّبْعَ المُوبِقَاتِ»، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: «الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ اليَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ المُحْصَنَاتِ المُؤْمِنَاتِ الغَافِلاَتِ» رواه البخاري.
“Dari Abu Hurairah semoga Allah meridoi kepadanya, Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda: Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan. Para sahabat bertanya: Wahai Rasulullah apakah itu? Beliau bersabda: Syirik kepada Allah,sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan cara haq, memakan riba, makan harta anak yatim, kabur dari medan peperangan dan menuduh seorang mukmin yang suci berbuat zina.” HR. Bukhari nomor 2766)
Demikianlah syari’at hijrah dan berjihad yang diperintahkan oleh Nabi saw. Sudah semestinya dua perkara ini menjadi panduan dalam meninggikan kalimat Allah dimanapun. Namun, hal yang paling penting dalam kedua perkara tersebut ialah niat yang tulus karena Allah swt. Hijrah dan berjihad tidak akan menjadi kemuliaan seorang hamba jika keduanya tidak disertai niat yang tulus dan ikhlas untuk menempuh perjalanan menuju Allah swt.
والله أعلم بالصواب
Penulis : Oman Warman, Staf Pengajar Pesantren 27 Situaksan Bandung