عَنْ أَبِي مَحْذُورَةَ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم عَلَّمَهُ الْأَذَانَ فَذَكَرَ فِيهِ التَّرْجِيْعَ. أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَلَكِنْ ذَكَرَ التَّكْبِيرَ فِي أَوَّلِهِ مَرَّتَيْنِ فَقَطْ. وَرَوَاهُ الْخَمْسَةُ فَذَكَرُوهُ مُرَبَّعًا
Dari Abu Mahdzurah—semoga Allah meridlainya—sesungguhnya Nabi—semoga shalawat dan salam tercurah untuknya—mengajarinya adzan. Ia menyebutkan padanya tarji’ (mengulang bacaan syahadat). Imam Muslim meriwayatkannya tetapi dengan menyebut takbir di awalnya dua kali saja. Sementara lima imam meriwayatkannya dengan menyebutkan takbirnya empat kali.
Tautsiq Hadits
Hadits Abu Mahdzurah di atas diriwayatkan dalam Shahih Muslim bab shifatil-adzan no. 868; Sunan Abi Dawud bab kaifal-adzan no. 500-504; Sunan at-Tirmidzi bab ma ja`a fit-tarji’ fil-adzan no. 191-192; Sunan an-Nasa`i bab kaifal-adzan no. 63; Sunan Ibn Majah bab at-tarji’ fil-adzan no. 708; Musnad Ahmad bab Abu Mahdzurah no. 15379, 15381, 27252.
Sebagaimana disinggung oleh al-Hafizh di atas, terdapat perbedaan lafazh adzan antara riwayat Muslim dengan riwayat selain Muslim. Pada riwayat Muslim lafazh Allahu Akbar-nya dua kali, sementara pada riwayat selain Muslim lafazh Allahu Akbar-nya empat kali. Menentukan mana yang paling kuat salah satunya cukup sulit. Maka yang paling aman, kedua-duanya boleh diamalkan. Hanya adzan yang lafazh Allahu Akbar-nya empat kali lebih kuat dari aspek lebih banyak diamalkan oleh umat Islam. Imam an-Nawawi dalam hal ini menjelaskan:
هَكَذَا وَقَعَ هَذَا الْحَدِيث فِي صَحِيح مُسْلِم فِي أَكْثَر الْأُصُول فِي أَوَّله اللَّه أَكْبَر مَرَّتَيْنِ فَقَطْ، وَوَقَعَ فِي غَيْر مُسْلِم اللَّه أَكْبَر اللَّه أَكْبَر اللَّه أَكْبَر اللَّه أَكْبَر أَرْبَع مَرَّات. قَالَ الْقَاضِي عِيَاض رَحِمَهُ الله: وَوَقَعَ فِي بَعْض طُرُق الْفَارِسِيّ فِي صَحِيح مُسْلِم أَرْبَع مَرَّات، وَكَذَلِكَ اُخْتُلِفَ فِي حَدِيث عَبْد الله بْن زَيْد فِي التَّثْنِيَة وَالتَّرْبِيع، وَالْمَشْهُور فِيهِ التَّرْبِيع، وَبِالتَّرْبِيعِ قَالَ الشَّافِعِيّ وَأَبُو حَنِيفَة وَأَحْمَد وَجُمْهُور الْعُلَمَاء، وَبِالتَّثْنِيَةِ قَالَ مَالِك، وَاحْتجَّ بِهَذَا الْحَدِيث، وَبِأَنَّهُ عَمَل أَهْل الْمَدِينَة وَهُمْ أَعْرَف بِالسُّنَنِ. وَاحْتَجَّ الْجُمْهُور بِأَنَّ الزِّيَادَة مِنْ الثِّقَة مَقْبُولَة، وَبِالتَّرْبِيعِ عَمَل أَهْل مَكَّة، وَهِيَ مَجْمَع الْمُسْلِمِينَ فِي الْمَوَاسِم وَغَيْرهَا، وَلَمْ يُنْكِر ذَلِكَ أَحَد مِنْ الصَّحَابَة وَغَيْرهمْ، وَاَللَّه أَعْلَم
Demikianlah hadits ini terdapat dalam Shahih Muslim di kebanyakan sumber asalnya, yakni di awalnya Allahu Akbar hanya dua kali saja. Sementara dalam riwayat selain Muslim Allahu Akbar-nya empat kali. al-Qadli ‘Iyadl rahimahul-‘Llah berkata: Dalam salah satu jalur periwayatan Shahih Muslim dari al-Farisi redaksi Allahu Akbar-nya empat kali. Hal yang sama juga ditemukan dalam hadits ‘Abdullah ibn Zaid, apakah dua kali atau empat kali, tetapi yang masyhur adalah empat kali.
Lafazh Allahu Akbar empat kali adalah pilihan Imam as-Syafi’i, Abu Hanifah, Ahmad, dan jumhur ulama. Sementara Allahu Akbar dua kali adalah pilihan Imam Malik dengan berhujjah pada hadits ini dan karena itu adalah amal penduduk Madinah yang notabene sebagai orang-orang yang lebih mengerti sunnah. Sementara jumhur ulama berhujjah dengan prinsip bahwa adanya tambahan keterangan dari rawi-rawi tsiqah bisa diterima. Selain itu, Allahu Akbar empat kali adalah amal penduduk Makkah yang merupakan tempat berkumpulnya kaum muslimin pada musim haji dan lainnya, sementara itu tidak ada seorang pun shahabat dan selain mereka yang menyalahkannya. Wal-‘Llahu a’lam.
Syarah Hadits
Hadits Abu Mahdzurah di atas merupakan dalil bahwa tarji’ boleh diamalkan dalam adzan. Tarji’ artinya ‘mengulangi’. Maksudnya mengulangi bacaan syahadat dalam adzan sehingga menjadi dua kali. Yang pertama, syahadat la ilaha illal-‘Llah dan Muhammad Rasulullah masing-masing dua kali dengan suara yang tidak terlalu keras. Kedua, mengumandangkan kembali syahadat la ilaha illal-‘Llah dan Muhammad Rasulullah masing-masing dua kali dengan suara yang lebih keras. Berikut dikutip dari riwayat Abu Dawud:
تَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ تَرْفَعُ بِهَا صَوْتَكَ ثُمَّ تَقُولُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ تَخْفِضُ بِهَا صَوْتَكَ ثُمَّ تَرْفَعُ صَوْتَكَ بِالشَّهَادَةِ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ فَإِنْ كَانَ صَلاَةَ الصُّبْحِ قُلْتَ الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ
Kamu ucapkan: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, dengan mengeraskan suara. Kemudian kamu ucapkan: Asyhadu alla ilaha illal-‘Llah, Asyhadu alla ilaha illal-‘Llah. Asyhadu anna Muhammadar-Rasulullah, Asyhadu anna Muhammadar-Rasulullah, dengan tidak terlalu keras suaranya. Kemudian kamu lebih keraskan lagi suaramu membaca syahadat kembali: Asyhadu alla ilaha illal-‘Llah, Asyhadu alla ilaha illal-‘Llah. Asyhadu anna Muhammadar-Rasulullah, Asyhadu anna Muhammadar-Rasulullah. Hayya ‘alas-shalah, hayya ‘alas-shalah. Hayya ‘alal-falah, hayya ‘alal-falah. Lalu jika adzannya untuk shalat shubuh kamu ucapkan: as-Shalatu khairum-minan-naum, as-shalatu khairum-minan-naum. Allahu Akbar, Allahu Akbar. La ilaha ilall-‘Llah (Sunan Abi Dawud bab kaifal-adzan no. 500).
Tarji’ ini adalah syari’at yang tsabit (tetap dan kuat), disepakati oleh para ulama, meski nyaris tidak ada yang mengamalkannya hari ini, dan meski tidak ada dalam hadits ‘Abdullah ibn Zaid yang menjadi hadits pertama dalam syari’at adzan. Hadits Abu Mahdzurah ini disabdakan oleh Nabi saw sesudah perang Hunain, sekitar tahun 8 H, sementara hadits ‘Abdullah ibn Zaid pada awal pensyari’atan tahun 2 H. Kedudukannya tidak me-nasakh (menggugurkan atau mengamandemen) hadits ‘Abdullah ibn Zaid, melainkan sebatas memberikan keterangan tambahan bahwa adzan dengan lafazh seperti hadits Abu Mahdzurah juga bisa dijadikan pilihan. Di antara keduanya tidak ada yang lebih utama, melainkan sebatas pilihan boleh diamalkan salah satunya (Syarah an-Nawawi Shahih Muslim bab shifatil-adzan).
وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ: أُمِرَ بِلَالٌ أَنْ يَشْفَعَ الْأَذَانَ وَيُوتِرَ الْإِقَامَةَ إِلاَّ الْإِقَامَةَ يَعْنِي قَوْلَهُ: قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَلَمْ يَذْكُرْ مُسْلِمٌ الْاِسْتِثْنَاءَ
Dan dari Anas ibn Malik—semoga Allah meridlainya—ia berkata: “Bilal diperintahkan untuk menggenapkan adzan dan mengganjilkan iqamah, kecuali lafazh iqamah, yakni qad qamatis-shalat.” Disepakati keshahihannya dan Imam Muslim tidak menyebutkan adanya pengecualian.
وَلِلنَّسَائِيِّ: أَمَرَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِلاَلاً
Dalam riwayat an-Nasa`i: “Nabi—semoga shalawat dan salam tercurah untuknya—memerintah Bilal.”
Tautsiq Hadits
Hadits Anas ibn Malik di atas ditulis dalam Shahih al-Bukhari bab bad`il-adzan no. 603, bab al-adzan matsna matsna no. 605-606, dan bab al-iqamah wahidah illa qad qamatis-shalah no. 607; dan Shahih Muslim bab al-amr bi syaf’il-adzan wa itaril-iqamah no. 864-867. Meski al-Hafizh Ibn Hajar di atas menyinggung bahwa dalam riwayat Muslim tidak ada keterangan “illal-iqamah” (kecuali lafazh iqamah, yakni qad qamatis-shalat), tetapi setelah ditelusuri ada dalam salah satu sanadnya dari Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Anas ibn Malik (no. 864).
Syarah Hadits
Pernyataan Anas ibn Malik ra di atas bahwa “Bilal diperintah” atau “Nabi saw memerintah Bilal” tentunya terkait erat dengan hadits ‘Abdullah ibn Zaid yang mimpinya tentang adzan menjadi awal mula syari’at adzan. Dari sanalah kemudian Bilal diperintah adzan oleh Nabi saw. Maka dari itu, memahami hadits ini tidak bisa dilepaskan dari hadits ‘Abdullah ibn Zaid tersebut.
Lebih jelasnya, dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim di berbagai jalur sanadnya disebutkan keterkaitan hadits ini dengan awal pensyari’atan adzan, seperti berikut ini:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ لَمَّا كَثُرَ النَّاسُ قَالَ ذَكَرُوا أَنْ يَعْلَمُوا وَقْتَ الصَّلَاةِ بِشَيْءٍ يَعْرِفُونَهُ فَذَكَرُوا أَنْ يُورُوا نَارًا أَوْ يَضْرِبُوا نَاقُوسًا فَأُمِرَ بِلَالٌ أَنْ يَشْفَعَ الْأَذَانَ وَأَنْ يُوتِرَ الْإِقَامَةَ
Dari Anas ibn Malik, ia berkata: “Ketika masyarakat semakin banyak, mereka membicarakan apa yang harus dibuat agar mudah dikenali oleh mereka bahwa waktu shalat sudah tiba. Ada yang mengusulkan untuk menyalakan api atau memukul lonceng. Maka Bilal diperintah untuk menggenapkan adzan dan mengganjilkan iqamah.” (Shahih al-Bukhari bab al-adzan matsna matsna no. 606).
Jelas terbaca bahwa “perintah” untuk Bilal itu adalah di masa-masa awal syari’at adzan, setelah sebelumnya mereka membahas cara yang tepat untuk memberitahu masyarakat masuknya waktu shalat. Dalam hadits ‘Abdullah ibn Zaid yang sudah dibahas sebelumnya diketahui bahwa perintah itu keluar sesudah ‘Abdullah ibn Zaid—yang diikuti ‘Umar—memberitahukan mimpinya kepada Nabi saw.
Maka memahami maksud “menggenapkan adzan” adalah sebagaimana diajarkan dalam hadits ‘Abdullah ibn Zaid yakni lafazh Allahu Akbar di bagian awal empat kali dan Allahu Akbar di bagian akhir dua kali. Demikian juga lafazh la ilaha illal-‘Llah di bagian akhir satu kali, bukan berarti harus dua kali. Sehingga maksud Anas “menggenapkan adzan” adalah secara umum lafazh-lafazh adzan itu genap, meski faktanya la ilaha illal-‘Llah di bagian akhir tetap satu kali.
Demikian halnya dalam iqamah, maksud Anas “mengganjilkan iqamah” adalah secara umum lafazh iqamah itu ganjil, selain lafazh qad qamatis-shalat. Maka ini tidak berarti bahwa takbir dalam iqamah itu harus satu kali. Kembali lagi pada hadits ‘Abdullah ibn Zaid, yang faktanya tidak ada satu pun riwayat yang menyebutkan bahwa membaca Allahu Akbar baik di awal atau akhirnya satu kali. Semua riwayat yang ada menyebutkan Allahu Akbar dalam iqamah, baik di awal atau akhirnya, dua kali. Dalam hal ini, para ulama menganjurkan bahwa membaca Allahu Akbar dalam iqamah itu meski dua kali, dibacanya satu kali nafas, dan itu dihitung satu kali (Syarah an-Nawawi Shahih Muslim bab al-amr bi syaf’il-adzan wa itaril-iqamah).
Dalam hal ini, A. Hassan juga menjelaskan sama dalam Tarjamah Bulughul Maram, sebagaimana berikut:
Menggenapkan di sini, maqshudnya menyebut sesuatu dua kali atau empat kali sebagaimana tersebut di keterangan Hadits ke 190; dan menunggalkan itu maqshudnya mengganjilkan sebutan iqamat kecuali “qadqamatish-shalah”, dan kecuali “Allahu-akbar, Allahu-akbar” di permulaannya, karena dua Allahu-akbar itu dipandang sekali.
Wal-‘Llahu a’lam.