Volksgeist dan Grundnorm sudah seharusnya tidak asing di kalangan para akademisi hukum, kedua istilah ini menjadi sarapan hangat pada matakuliah Filsafat Hukum. Secara sederhana kita bisa memahami bahwa Volksgeist adalah Jiwa Bangsa dan Grundnorm adalah Norma Dasar. Kedua istilah ini dicetuskan oleh dua tokoh yang berbeda, yakni Friedrich C. von Savigny (1779-1861) sebagai pencetus Volksgeist dan Hans Kelsen (1881-1973) sebagai pencetus Grundnorm.
Volksgeist merupakan jiwa bangsa yang lahir dari kejadian empiris, ia ada di tengah masyarakat dan hidup sebagai suatu tradisi. Jika kita bedah isi dari Pancasila, maka kita akan menemukan bahwa sila pertama yang terkandung dalam Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa”, merupakan pengalaman empiris yang telah hidup lama di dalam jiwa masyarakat Indonesia. Dalam arti lain bahwa kondisi sosiologis masyarakat Indonesia sejak dulu adalah masyarakat beragama. Sebab itulah kemudian tidak ada ruang untuk atheism dan komunisme di dalam bangsa ini.
Pancasila lahir melalui proses evolusi hukum, sebagaimana sejarah mencatat bahwa embrio Pancasila adalah pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, kemudian pembentukan panitia untuk merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar negara yang disebut sebagai panitia sembilan, dari panitia sembilan itu lahirlah Piagam Jakarta sebagai rumusan pertama, pembukaan UUD 1945 sebagai rumusan kedua, mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat sebagai rumusan ketiga, mukaddimah UUD Sementara sebagai rumusan keempat, Rumusan Pertama menjiwai Rumusan Kedua dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi sebagai rumusan kelima (Dekret Presiden 5 Juli 1959). Pancasila pada akhirnya ditempatkan pada preambule UUD 1945 di alinea keempat.
Pancasila lahir dari tradisi masyarakat Indonesia, sebagaimana Bung Karno menyebutkan dalam pidatonya bahwa ia menggali nilai-nilai Pancasila itu dari saripati kehidupan bangsa Indonesia. Tradisi ini lahir dari perjalanan historis berdasarkan kesamaan hidup masyarakat Indonesia sehingga seluruh masyarakat merasakan adanya suatu semangat yang sama dan satu jiwa bangsa yang kemudian disebut sebagai Volksgeist.
Grundnorm sendiri merupakan Norma Dasar. Hans Kelsen telah menempatkan Norma Dasar ini sebagai suatu yang “the final standard of legal validity”, sehingga tidak ada tolak ukur untuk menguji validitas dari keabsahan Grundnorm tersebut. Konsekuensi logis dari “the final standard of legal validity” adalah Grundnorm harus ditempatkan di atas dan di luar konstitusi, bahkan lebih jauh Grundnorm harus menjadi tolak ukur dalam memvalidasi konstitusi dan menjiwai setiap hukum di bawah konstitusi. Keberlakuan Grundnorm juga tidak harus menunggu proses positivisasi sebagaimana konstitusi dan hukum lainnya, ia telah ada mendahului hukum positif.
Jika kita mencari-cari pada bangsa ini apa yang tepat untuk dijadikan Grundnorm sebagaimana dijelaskan di atas, maka tidak ada hal lain yang dapat mengisi kekosongan itu terkecuali agama. Pak Natsir dalam bukunya ‘Islam sebagai Agama dan Ideologi Negara’ menuliskan bahwa kita harus memandang Pancasila sebagai dasar negara selama tidak bertentangan dengan ketauhidan. Pemikiran Pak Natsir tersebut sekaligus memposisikan ketauhidan dalam agama sebagai tolak ukur dalam memvalidasi Pancasila. Agama dikatakan sebagai Grundnorm sebab tidak ada yang dapat menjadi tolak ukur dalam memvalidasi keabsahan agama, oleh karena itu agama tidak masuk ke dalam konstitusi, ia berada di luar konstitusi dan di atas konstitusi. Preambule UUD tahun 1945 alinea ketiga merupakan pengakuan dan bukti nyata bahwa agama adalah Grundnorm, begitupun dengan Sila Pertama dalam Pancasila. Irah-Irah “DENGAN RAHMAT KETUHANAN YANG MAHA ESA” dalam setiap Undang-Undang juga merupakan bukti lainnya bahwa agama sebagai Grundnorm, yaitu nilai-nilai ketauhidan harus menjiwai dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan.
Agama sebagai Grundnorm dan Pancasila sebagai Volksgeist merupakan kedua hal yang tidak dapat dibenturkan, mengingat secara historis keberadaan Grundnorm menjiwai posisi Volksgeist. Keduanya adalah nilai yang final, 75 tahun bangsa ini berdiri tidak sedikitpun ada pergeseran dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila begitupun agama. Oleh karena itu agama dan Pancasila adalah unsur permanen untuk menggapai cita-cita tertinggi bangsa.