-
وَعَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ رضي الله عنه قَالَ: رَأَيْتُ بِلَالًا يُؤَذِّنُ وَأَتَتَبَّعُ فَاهُ, هَاهُنَا وَهَاهُنَا, وَإِصْبَعَاهُ فِي أُذُنَيْهِ. رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَالتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ
Dari Abu Juhaifah—semoga Allah meridlainya—ia berkata: “Aku melihat Bilal adzan, dan aku perhatikan mulutnya ke sana dan ke sana, sedangkan kedua jarinya di telinganya.” Ahmad dan at-Tirmidzi meriwayatkannya, dan at-Tirmidzi menshahihkannya.
-
وَلِابْنِ مَاجَهْ: وَجَعَلَ إِصْبَعَيْهِ فِي أُذُنَيْهِ
Dalam riwayat Ibn Majah: “Ia meletakkan kedua jarinya di telinganya.”
-
وَلِأَبِي دَاوُدَ: لَوَى عُنُقَهُ, لَمَّا بَلَغَ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ يَمِينًا وَشِمَالًا وَلَمْ يَسْتَدِرْ. وَأَصْله فِي الصَّحِيحَيْنِ
Dalam riwayat Abu Dawud: “Ia memalingkan lehernya ketika sampai ‘hayya ‘alas-shalah’ ke sebelah kanan dan kiri, tetapi tidak berputar.” Ashalnya dalam shahihain.
Tautsiq Hadits
Hadits yang dipisahkan dalam tiga nomor oleh editor Bulughul-Maram (Muhammad Hamid al-Faqi) di atas sebenarnya masih satu hadits yang sama, yakni hadits Abu Juhaifah yang melihat praktik adzan Bilal di zaman Nabi saw. Khusus untuk hadits no. 196 & 197 (riwayat Ahmad, at-Tirmidzi, dan Ibn Majah) ada matan yang sengaja dibuang oleh al-Hafizh karena dinilai sebagai sisipan yang dla’if (idraj), yakni redaksi bahwa Bilal “memutarkan tubuhnya” ketika adzan. Maka dari itu al-Hafizh kemudian mengutip riwayat Abu Dawud (hadits no. 198) yang tegas hanya menyebutkan “memalingkan lehernya ke kanan dan kiri” tetapi “tidak memutarkan tubuhnya”.
Hadits Abu Juhaifah di atas tercatat dalam Musnad Ahmad bab hadits Abi Juhaifah no. 18759 dan 18762 (yang terakhir ini tidak ada redaksi “memutarkan tubuhnya”); Sunan at-Tirmidzi abwab as-shalat bab ma ja`a fi idkhalil-ishba’ fil-udzun ‘indal-adzan no. 197; Sunan Ibn Majah abwab al-adzan bab as-sunnah fil-adzan no. 711; dan Sunan Abi Dawud kitab as-shalat bab fil-muadzdzin yastadiru fi adzanihi no. 520.
Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan, sanad hadits di atas adalah Abu Juhaifah, menyampaikan kepada putranya, ‘Aun, menyampaikan kepada Sufyan ats-Tsauri, menyampaikan kepada Yahya ibn Adam dan Waki’. Sisipan “memutarkan tubuhnya” berasal dari Hajjaj ibn Arthah, Idris al-Audi, dan Muhammad al-‘Azrami yang ketiga-tiganya berstatus dla’if dan menerima dari ‘Aun lalu menyampaikannya kepada Sufyan ats-Tsauri. Setelah Sufyan menemui langsung ‘Aun, ternyata tidak ada lafazh “memutarkan tubuhnya” yang ia riwayatkan. Di samping itu ada rawi lain yang menerima dari ‘Aun, yakni Qais ibn ar-Rabi’ yang statusnya lebih kuat dari ketiga rawi sebelumnya, yang meriwayatkan dengan tegas “tanpa memutarkan tubuhnya”. Sanad ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan ditulis oleh al-Hafizh Ibn Hajar pada hadits no. 198 di atas. Jelaslah bahwa lafazh “memutarkan tubuhnya” dalam riwayat Ahmad, at-Tirmidzi, dan Ibn Majah adalah sisipan (idraj) yang dla’if, oleh sebab itu al-Hafizh Ibn Hajar sengaja membuangnya dalam kitab Bulughul-Maram dan kemudian menyandingkannya dengan riwayat Abu Dawud yang tegas menyebut “tanpa memutarkan tubuhnya” (Fathul-Bari bab hal yatatabba’ul-muaddzin fahu).
Pernyataan al-Hafizh “asalnya dalam shahihain” yakni al-Bukhari dan Muslim, adalah hendak menunjukkan bahwa hadits Abu Juhaifah di atas diriwayatkan juga dalam al-Bukhari dan Muslim tetapi sebatas menjelaskan bahwa Bilal memalingkan wajahnya ke kanan dan kiri ketika membaca hayya ‘alas-shalah dan hayya ‘alal-falah; tidak ada lafah “memutarkan tubuhnya” dan “meletakkan jarinya dalam telinga”. Itulah sebabnya al-Hafizh menyebut “asalnya” ada dalam shahihain, yakni pokok hadits di atas ada dalam shahihain. Tepatnya dalam Shahih al-Bukhari bab hal yatatabba’ul-muaddzin fahu no. 634 dan Shahih Muslim bab sutratil-mushalli no. 1147.
Perihal mengapa al-Hafizh Ibn Hajar tidak mengutip langsung saja riwayat al-Bukhari dan Muslim tersebut dalam Bulughul-Maram sebagaimana biasanya, itu disebabkan tidak ada keterangan “meletakkan jarinya di telinga”, sementara Ibn Hajar hendak menjelaskan bahwa muadzdzin melakukan hal tersebut ketika adzannya. Oleh sebab itu al-Hafizh mengutip riwayat selain al-Bukhari dan Muslim yang menyebutkan “meletakkan jarinya di telinga”. Dalam Fathul-Bari al-Hafizh Ibn Hajar menyebutkan ada beberapa syawahid (hadits lain dari shahabat lain) yang menguatkan hadits Abu Juhaifah di atas, yakni dari Bilal sendiri dan Sa’ad al-Qarazh.
Syarah Hadits
Imam an-Nawawi menjelaskan dalam Syarah Shahih Muslim bahwa hadits ini menjadi dalil disunnahkannya muadzdzin memalingkan kepala dan leher ke arah kanan dan kiri ketika mengumandangkan hayya ‘alas-shalah dan hayya ‘alal-falah. Memalingkan di sini cukup kepala dan leher, sementara badan dan kaki tetap menghadap kiblat. Memalingkan di sini juga cukup menoleh ke kanan lalu kembali lagi menoleh ke kiri, tidak dengan memutarkan badan 360 derajat. Kesimpulan memalingkan kepala “ke kanan dan kiri” diambil dari riwayat Muslim sebagai berikut:
وَأَذَّنَ بِلاَلٌ قَالَ فَجَعَلْتُ أَتَتَبَّعُ فَاهُ هَا هُنَا وَهَا هُنَا يَقُولُ يَمِينًا وَشِمَالاً يَقُولُ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ
“Bilal adzan.” Abu Juhaifah berkata: “Aku mulai memperhatikan mulutnya ke arah sana dan sini. Ia mengumandangkan ke arah kanan dan kiri: hayya ‘alas-shalah, hayya ‘alal-falah.” (Shahih Muslim bab sutratil-mushalli no. 1147).
Imam an-Nawawi menjelaskan juga bahwa praktik memalingkan kepala ke kanan dan kiri tersebut ada tiga cara, yaitu:
Pertama, mengumandangkan hayya ‘alas-shalah dua kali sambil memalingkan kepala ke kanan, dan mengumandangkan hayya ‘alal-falah dua kali sambil memalingkan kepala ke kiri.
Kedua, mengumandangkan hayya ‘alas-shalah sekali sambil memalingkan kepala ke kanan, dan yang sekali laginya sambil memalingkan kepala ke kiri. Demikian juga ketika mengumandangkan hayya ‘alal-falah, yang pertama sambil memalingkan kepala ke kanan, dan yang kedua sambil memalingkan kepala ke kiri.
Ketiga, mengumandangkan hayya ‘alas-shalah sekali sambil memalingkan kepala ke kanan, lalu menghadap qiblat dahulu. Setelah itu mengumandangkan hayya ‘alas-shalah sekali lagi sambil memalingkan kepala ke kanan. Selanjutnya ketika hayya ‘alal-falah pun demikian juga.
Imam Ibn Daqiqil-‘Id, sebagaimana dikutip al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari, menjelaskan bahwa praktik memalingkan kepala ke kanan dan ke kiri ini dilakukan agar jama’ah yang ada di dua arah yang berbeda bisa mendengar panggilan shalat. Dalam hal ini kami memahami bahwa praktik adzan yang ini jika tidak diamalkan hari ini pun tidak menjadi soal, sebab corong pengeras suara sudah dipasang ke berbagai arah. Terlebih status praktik memalingkan kepala ke kanan dan kiri ini bukan perintah atau anjuran Nabi saw, melainkan hanya ikhtiar dari Bilal saja agar jama’ah dari berbagai arah bisa mendengar adzannya. Jadi jika sekiranya sudah ada cara baru yang membuat jama’ah dari berbagai arah bisa mendengar adzan maka cara adzan Bilal ini tidak mutlak harus diamalkan. Akan tetapi seandainya ada yang mengamalkannya pun maka jangan dianggap aneh karena memang ada praktiknya di zaman Nabi saw dan disepakati oleh para ulama salaf.
Selanjutnya terkait meletakkan jari di telinga, al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan, faidahnya ada dua: Pertama, agar lebih mengeraskan suara adzan dan memanjangkan nafas. Kedua, agar orang-orang yang melihatnya dari kejauhan dan tidak mampu mendengar adzannya mengetahui bahwa itu adalah muadzdzin yang sedang adzan.
Akan tetapi Imam al-Bukhari dalam kitab Shahihnya mengutip dua atsar dengan ta’liq (tanpa sanad, karena memang bukan riwayat al-Bukhari, hanya beliau menyetujui riwayat tersebut) sebagai berikut:
وَيُذْكَرُ عَنْ بِلَالٍ أَنَّهُ جَعَلَ إِصْبَعَيْهِ فِي أُذُنَيْهِ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ لَا يَجْعَلُ إِصْبَعَيْهِ فِي أُذُنَيْهِ
Diriwayatkan dari Bilal bahwa ia meletakkan jarinya di telinganya, sementara Ibn ‘Umar tidak meletakkan jarinya di telinganya (Shahih al-Bukhari bab hal yatatabba’ul-muaddzin fahu).
Riwayat Bilal yang dimaksud Imam al-Bukhari adalah hadits yang ditulis di Bulughul-Maram di atas. Sementara riwayat Ibn ‘Umar diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dan Ibn Abi Syaibah dalam kitab hadits mereka (Fathul-Bari). Ini juga berarti bahwa ketentuan muadzdzin meletakkan jari di telinganya kedudukannya tidak wajib.
-
وَعَنْ أَبِي مَحْذُورَةَ رضي الله عنه: أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَعْجَبَهُ صَوْتُهُ, فَعَلَّمَهُ الْآذَانَ. رَوَاهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ
Dari Abu Mahdzurah—semoga Allah meridlainya—sesungguhnya Nabi—semoga shalawat dan salam tercurah untuknya—mengagumi suaranya. Maka beliau mengajarinya adzan (langsung oleh beliau sendiri). Ibn Khuzaimah meriwayatkannya.
Tautsiq Hadits
Imam Ibn Khuzaimah menuliskan hadits di atas dalam Shahih Ibn Khuzaimah bab at-tarji’ fil-adzan no. 377. Hadits ini adalah hadits yang sama dengan hadits Abu Mahdzurah sebelumnya yang menyebutkan adanya tarji’ dan diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits standar. Hanya mungkin al-Hafizh Ibn Hajar hendak menggarisbawahi hal “mengagumi suaranya” sehingga beliau mengutip riwayat Ibn Khuzaimah.
Sabab wurud hadits ini sendiri sebagaimana dijelaskan dalam berbagai kitab sunnah yang meriwayatkannya, Abu Mahdzurah yang saat itu masih kafir dan selepas perang Hunain mendengar adzan dari rombongan Nabi saw. Abu Mahdzurah dan kawan-kawannya yang berjumlah belasan orang kemudian mengikuti adzan tersebut untuk mempermainkannya. Nabi saw mendengar hal tersebut dan kemudian memanggilnya dan kawan-kawannya. Setelah diinterogasi oleh Nabi saw siapa yang suaranya tadi terdengar paling bagus dan kemudian semuanya menunjuk Abu Mahdzurah, Nabi saw pun lantas mengajarinya adzan. Nabi saw yang semula merupakan orang yang paling dibenci Abu Mahdzurah, setelah interogasi itu berubah seketika menjadi orang yang paling dicintai olehnya.
Aspek pendalilan (wajhul-istidlal) dari hadits ini dalam bab adzan adalah muadzdzin harus orang yang suaranya bagus. Hal yang sama sebenarnya Nabi saw jadikan patokan ketika menunjuk Bilal untuk menjadi muadzdzin meski yang bermimpi hadits adzan itu adalah ‘Abdullah in Zaid dan ‘Umar ibn al-Khaththab. Nabi saw bersabda kepada ‘Abdullah in Zaid:
فَقُمْ مَعَ بِلاَلٍ فَأَلْقِ عَلَيْهِ مَا رَأَيْتَ فَلْيُؤَذِّنْ بِهِ فَإِنَّهُ أَنْدَى صَوْتًا مِنْكَ
Berdirilah bersama Bilal, sampaikanlah kepadanya apa yang kamu mimpikan, dan hendaklah ia beradzan dengannya, karena ia lebih bagus suaranya daripada kamu (Sunan Abi Dawud bab kaifal-adzan 499).
Imam an-Nawawi menjelaskan dalam Syarah Shahih Muslim bahwa hadits ‘Abdullah ibn Zaid di atas merupakan petunjuk bahwa yang harus mengumandangkan adzan itu adalah orang yang paling bagus suaranya. Meski seorang muadzdzin harus diberi upah khusus—karena bukan penduduk pribumi misalnya—maka ia harus diprioritaskan untuk diangkat jadi muadzdzin dibanding penduduk setempat yang tidak bagus suaranya.
Dengan demikian kedudukan muadzdzin tidak jauh beda dengan imam shalat; tidak boleh sembarang orang melainkan harus orang yang memang pantas mengemban tugas tersebut. Tentunya dikecualikan jika tidak ada orang lain yang lebih layak menjadi imam atau muadzdzin maka boleh siapa saja yang mendekatinya.