Seluruh ilmu syar’i (ilmu agama) tentu merupakan ilmu yang lebih utama dan istimewa dibandingkan dengan ilmu yang sifatnya duniawi, seperti matematika, bahasa, ekonomi, teknologi, dsb. Hal itu dikarenakan ilmu syar’i amat berkaitan dengan wahyu yang suci nan mulia. Namun, di antara ilmu-ilmu agama yang istimewa tersebut ada satu ilmu yang kedudukannya sangat istimewa dibandingkan yang lainnya, bahkan berada di puncak keistimewaan. Ilmu yang paling istimewa ini adalah ilmu tauhid.
Kita dapat mengetahui keistimewaan ilmu tauhid ini dengan meninjau dari tiga aspek, yaitu dari sisi maudlû’ (inti pembahasan)nya, ma’lûm (kandungan)nya, dan dlarûri (urgensi)nya. Keistimewaan yang ditijau dari aspek pertama, yaitu dari sisi maudlû’ (inti pembahasan)nya. Ada sebuah kaidah yang sudah diamini oleh para ulama, yaitu:
الْمُتَعَلَّقُ يَشْرُفُ بِشَرَفِ الْمُتَعَلِّقِ
“Suatu hal yang dikaitkan itu akan menjadi mulia karena kemuliaan yang dikaitkan padanya.”
Ilmu tauhid amat berkaitan dengan Dzat yang Mahamulia, yaitu Allah―’azza wa jalla―, satu-satunya Dzat yang disifati dengan keMahaagungan, keMahasempurnaan, keMahaindahan, dan keMahaperkasaan. Oleh karena itulah ilmu tauhid menjadi ilmu yang paling istimewa. Bagaimana tidak, yang dibahas intinya adalah mengenai Dzat Allah, Rabb semesta alam. Maka tak aneh jika sebagian ulama salaf ada yang menamakan ilmu tauhid ini dengan istilah al-Fiqhul-Akbar (fiqih besar), karena yang dibahas merupakan Dzat yang Mahabesar.
Selain itu, mengamalkan tauhid merupakan amalan yang paling utama dan mulia. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad―shallal-`Llâhu ‘alaihi wa sallam―pernah ditanya:
أَيُّ الْأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِه
“Amalan mana yang paling utama? ” Beliau menjawab: “Beriman kepada Allah dan RasulNya.” (Shaḥîḥ al-Bukhârî kitâbul-hajj bâb fadl-lil-hajjil-mabrûri no. 1519). Beriman kepada Allah dan RasulNya merupakan isi dari syahadatain yang mana inti dari agama islam.
Tauhid juga merupakan inti materi dakwah yang diserukan oleh para nabi dan rasul dari masa ke masa, generasi ke generasi dari sejak Nabi Adam―’alaihis-salâm―sampai Nabi Muhammad―shallal-`Llâhu ‘alaihi wa sallam―. Allah―’azza wa jalla―berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Sungguh telah kami utus seorang rasul bagi setiap generasi (yang menyerukan) beribadahlah kepada Allah dan jauhilah thaghut…” (QS an-Nahl [16] : 36).
Dalam ayat lain Allah―’azza wa jalla―berfirman melalui lisan para rasulNya; Hud, Shalih, Syu’aib, dan Ibrahim:
يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ
“Wahai kaumku, beribadahlah kepada Allah, tidak ada sesembahan bagi kalian selainNya…” (QS al-A’râf [7]: 59, 65, 73 dan 85).
Keistimewaan yang ditijau dari aspek kedua, yaitu dari sisi ma’lûm (kandungan)nya. Kandungan ilmu tauhid merupakan hukum-hukum yang berkaitan dengan keyakinan yang diambil dari dalil-dalil al-qur`an dan as-sunnah. al-Qur`an, dari awal sampai akhirnya selalu menjelaskan kandungan-kandungan tauhid; baik jenis-jenis tauhid, keutamannya, konsekuensinya, hal-hal yang dapat menyempurnakannya, kabar gembira bagi para muwahhid di dunia maupun akhirat, serta ancaman bagi para musyrik di dunia dan akhirat.
Lalu ketika berbicara mengenai as-sunnah, yang mana merupakan tuntunan-tuntunan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad―shallal-`Llâhu ‘alaihi wa sallam―semasa hidupnya merupakan praktek yang riil dalam mempraktikkan nilai-nilai kandungan tauhid dengan memerangi berbagai macam bentuk syirik dan memperkuat fondasi tauhid dengan sempurna.
Keistimewaan yang ditijau dari aspek ketiga, yaitu dari sisi dlarûrî (urgensi)nya dapat dibuktikan dengan beberapa perkara, di antaranya tauhid merupakan kewajiban yang Allah perintahkan kepada setiap mukallaf, maka Ia memuji ahlut-tauhid dan menjanjikannya dengan pahala yang luar biasa besar. Dia berfirman:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Ketahuilah tiada sembahan yang berhak diibadahi selain Allah…” (QS Muḥammad [47] : 19). Dalam ayat lain Dia juga berfirman:
وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا
“Kelak Allah akan memberikan orang-orang beriman (baca: bertauhid, pen.) pahala yang besar.” (QS an-Nisa` [4] : 146)
Tauhid merupakan hak milik Allah―’azza wa jalla―yang harus ditunaikan oleh para hambaNya. Nabi Muhammad―shallal-`Llâhu ‘alaihi wa sallam―bersabda:
فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
“Sesungguhnya hak Allah atas hambaNya adalah mereka beribadah kepadaNya dan tidak menyekutukanNya sedikitpun…” (Shaḥîh al-Bukhârî kitâbul-jihâdi was-siyar bâb ismul-farasi wal-himâri no. 2856). Sebaliknya, bagi para hamba tauhid merupakan tiket utama bagi mereka untuk terbebas dari siksa Allah. Dalam lanjutan hadits di atas, beliau bersabda:
وَحَقَّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
“…Sedangkan hak para hamba atas Allah adalah Dia tidak akan mengadzab orang yang tidak menyekutukanNya sedikitpun.” (Ibid). Dalam hadits lain beliau mengabarkan bahwa tauhid merupakan satu-satunya kunci surganya Allah:
مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Siapa yang mengucapkan ‘tiada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah’, pasti ia masuk surga.” (Sunan at-Tirmidzi kitâbul-îmâni bâb fîman yamûtu wa huwa yasyhadu an lâ ilâha illal-`Llâhu no. 2638).
Tauhid juga merupakan syarat utama diterimanya sebuah amal shalih. Allah berfirman:
مَن يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلا كُفْرَانَ لِسَعْيِهِ وَإِنَّا لَهُ كَاتِبُونَ
“Siapa yang mengamalkan amal-amal shalih dalam keadaan beriman (baca: bertauhid, pen.), maka usahanya tidak akan disia-siakan dan sungguh Kamilah yang mencatat untuknya.” (QS al-Anbiyâ` [21] : 94). Sebaliknya, orang yang tidak bertauhid (baca: syirik atau kafir, pen.) maka apapun amal shalih yang mereka kerjakan di dunia ini, tidak ada nilainya di mata Allah. Bahkansaking tidak berharganya amalan mereka, diumpamakan seperti debu yang beterbangan, sebagaimana firman Allah ketika bercerita mengenai status amalan orang-orang kafir:
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
“Dan akan kami perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS al-Furqan [25] : 23) dan juga firmanNya ketika memperingatkan akan bahaya efek syirik terhadap amalan:
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan sungguh telah Kami wahyukan kepadamu dan juga kepada (nabi-nabi) sebelummu: ‘Jika kamu berbuat syirik, maka seluruh (pahala) amalanmu akan terhapus dan kelak di akhirat kamu benar-benar akan termasuk golongan orang-orang yang merugi’.” (QS az-Zumar [39] : 65).
Tauhid juga merupakan hal yang akan menyebabkan seorang hamba paham akan tujuan hidupnya di dunia ini, yaitu beribadah kepada Allah. Akhirnya ia tidak akan tergiur oleh gemerlapnya perhiasan dunia yang menipu. Ia akan jauh dari maksiat kepada Allah. Setan akan merasa amat sulit menggoda orang yang sudah memiliki ilmu tauhid yang tinggi dan dapat mengamalkannya dengan baik. Ia pun akan hidup dengan kehidupan yang tenang di dunia, tidak akan ada rasa takut dalam hatinya dan tidak pula merasa sedih atas segala hal yang terjadi dalam takdir kehidupannya.
Sebenarnya masih banyak lagi perkara-perkara yang membuktikan keistimewaan tauhid. Namun karena keterbatasan ruang tidak dapat kami sajikan seluruhnya. Mudah-mudahan tulisan ini menjadi membuka matahati kita akan keistimewaan ilmu tauhid, sehingga kita semakin tergugah untuk mendalaminya, demi semakin mengenal Dzat Allah yang Mahaesa.
Wal-`Llâhu a’lam.