Pandemi Covid-19 yang dialami umat Islam di dunia tidak pelak menimbulkan fiqih baru yang tidak pernah dialami beberapa generasi sebelumnya. Sebut misalnya penutupan masjid; peniadaan shalat wajib berjama’ah di masjid atau pemberlakukan shalat berjama’ah shaf renggang; peniadaan shalat Jum’at di masjid yang memunculkan fatwa shalat zhuhur atau shalat Jum’at di rumah; peniadaan kegiatan majelis ta’lim, dzikir, dan tadarus; peniadaan shalat Tarawih, ifthar jama’i, dan berlanjut sampai shalat ‘Id; pemercepatan pembayaran zakat; dan rencana meliburkan ibadah haji. Sebagaimana lumrahnya fiqih selalu muncul ikhtilaf; antara yang pro dan kontra. Umat Islam jelas harus bersikap bijak dalam menyikapi ikhtilaf tersebut, sebab fiqih dasarnya pasti ijtihad; sebuah usaha serius dengan mengerahkan seluruh tenaga dan pemikiran untuk menemukan satu hukum yang tepat terkait satu fenomena yang baru.
Nabi saw dalam haditsnya yang terkenal sudah menjamin bahwa siapapun yang berijtihad—tentunya mereka yang sudah cukup ilmu untuk berijtihad—pasti akan melahirkan dua kesimpulan yang berbeda antara yang tepat dan tidak tepat. Tetapi kedua-duanya Nabi saw jamin akan mendapatkan pahala (Sunan at-Tirmidzi kitab al-ahkam bab al-qadli yushibu wa yukhthi`u no. 1326). Maka sangat tidak pantas orang yang dijamin mendapatkan pahala oleh Nabi saw kemudian direndahkan dan disumpah serapah hanya karena hasil ijtihadnya tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh si pencaci.
Nabi saw pernah memerintahkan para shahabat setelah selesai dari perang Khandaq untuk tidak dulu shalat ‘Ashar, melainkan segera menuju Bani Quraizhah. Nabi saw memerintahkan agar para shahabat shalat di Bani Quraizhah. Di perjalanan menuju Bani Quraizhah, sebagian shahabat ada yang kemudian shalat ‘Ashar meski belum sampai Bani Quraizhah karena menurut mereka tidak mungkin shalat lewat dari waktunya, ada juga yang tetap shalat ‘Ashar di Bani Quraizhah meski sampai di sana sudah masuk waktu maghrib. Menyikapi perbedaan ijtihad tersebut, kata Ibn ‘Umar ra, ternyata Nabi saw lam yu’annif; tidak menyalahkan siapa pun (Shahih al-Bukhari kitab manaqib al-Anshar bab marja’in-Nabi saw minal-Ahzab no. 4119). Beliau membiarkan kedua-duanya tetap dalam ijtihadnya, karena sudah terjadi. Nabi saw juga tidak perlu menjelaskan mana yang tepat. Terlebih Nabi saw sendiri menurut satu riwayat shalat ‘Asharnya di Bani Quraizhah pas sudah masuk waktu maghrib.
Jika selevel Nabi saw saja menghargai ijtihad shahabat yang status keilmuannya lebih rendah dari beliau, lalu apa susahnya umat Islam juga menghargai ijtihad para ulama yang nyata ragamnya; baik itu ulama di perkotaan ataupun ulama di perkampungan. Apa yang sesuai dengan pendapat pribadi silahkan ikuti. Tetapi tidak boleh dengan mencela dan memusuhi ijtihad ulama lain yang tidak sesuai dengan pendapat sendiri.