-
وَلَهُ عَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَتَى الْمُزْدَلِفَةَ فَصَلَّى بِهَا الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ, بِأَذَانٍ وَاحِدٍ وَإِقَامَتَيْنِ.
Dalam riwayat Muslim dari Jabir ra: “Nabi saw datang ke Muzdalifah lalu shalat maghrib dan ‘isya di sana dengan satu kali adzan dan dua iqamat.”
وَلَهُ عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما: جَمَعَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِإِقَامَةٍ وَاحِدَةٍ. زَادَ أَبُو دَاوُدَ: لِكُلِّ صَلَاةٍ. وَفِي رِوَايَةِ لَهُ: وَلَمْ يُنَادِ فِي وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا
Dalam riwayat Muslim dari Ibn ‘Umar ra: “Beliau menjama’ maghrib dan ‘isya dengan satu iqamat.” Abu Dawud menambahkan: “Untuk setiap shalat.” Pada riwayat lain masih Abu Dawud: “Beliau tidak mengumandangkan adzan pada salah satu dari keduanya.”
Tautsiq Hadits
Hadits Jabir ra riwayat Muslim yang dimaksud di atas adalah hadits Jabir ra tentang manasik haji Nabi saw yang masyhur dan matannya sangat panjang. Imam Muslim menuliskannya dalam Shahih Muslim kitab al-hajj bab hajjatin-Nabiy saw no. 3009. Bertepatan dengan manasik di Muzdalifah, Jabir ra menjelaskan:
حَتَّى أَتَى الْمُزْدَلِفَةَ فَصَلَّى بِهَا الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ بِأَذَانٍ وَاحِدٍ وَإِقَامَتَيْنِ وَلَمْ يُسَبِّحْ بَيْنَهُمَا شَيْئًا
Ketika beliau sampai di Muzdalifah, beliau shalat maghrib dan isya di sana dengan satu adzan dan dua iqamah, serta tidak shalat sunat apapun antara keduanya.
Hadits Ibn ‘Umar ra yang diriwayatkan Imam Muslim dituliskan dalam Shahih Muslim kitab al-hajj bab al-ifadlah min ‘arafat ilal-muzdalifah no. 3174.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ جَمَعَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِجَمْعٍ صَلَّى الْمَغْرِبَ ثَلاَثًا وَالْعِشَاءَ رَكْعَتَيْنِ بِإِقَامَةٍ وَاحِدَةٍ.
Dari Ibn ‘Umar ra ia berkata: “Rasulullah saw menjama’ antara maghrib dan isya di Jama’ (Muzdalifah). Beliau shalat maghrib tiga raka’at dan ‘isya dua raka’at dengan satu iqamat.”
Sementara hadits Ibn ‘Umar ra riwayat Abu Dawud dituliskan dalam Sunan Abi Dawud bab as-shalat bi jam’ no. 1930:
عَنْ حَمَّادٍ وَمَعْنَاهُ قَالَ بِإِقَامَةٍ وَاحِدَةٍ لِكُلِّ صَلاَةٍ وَلَمْ يُنَادِ فِى الأُولَى وَلَمْ يُسَبِّحْ عَلَى أَثَرِ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا. قَالَ مَخْلَدٌ لَمْ يُنَادِ فِى وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا.
Dari Hammad, dan maknanya ia berkata: “Satu kali iqamat untuk tiap-tiap shalat, dan tidak ada adzan pada yang pertama, tidak ada juga shalat sunat setelah masing-masing shalat dari keduanya.” Makhlad berkata: “Tidak ada adzan pada salah satu shalat dari keduanya.”
Hadits yang menceritakan jama’ shalat di Muzdalifah tanpa adzan dan hanya iqamat saja diriwayatkan juga oleh Imam al-Bukhari dan Muslim dari Usamah ibn Zaid ra:
فَجَاءَ الْمُزْدَلِفَةَ فَتَوَضَّأَ فَأَسْبَغَ ثُمَّ أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ ثُمَّ أَنَاخَ كُلُّ إِنْسَانٍ بَعِيرَهُ فِي مَنْزِلِهِ ثُمَّ أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ فَصَلَّى وَلَمْ يُصَلِّ بَيْنَهُمَا
Beliau datang ke Muzdalifah, lalu berwudlu dan menyempurnakan wudlunya. Kemudian dikumandangkan iqamat shalat, lalu beliau shalat maghrib. Selepas itu setiap orang memarkirkan unta di tempatnya. Kemudian iqamat lagi dan beliau shalat lagi. Beliau tidak shalat apapun di antara keduanya (Shahih al-Bukhari bab al-jam’ bainas-shalatain bil-Muzdalifah no. 1672; Shahih Muslim bab al-ifadlah min ‘arafat ilal-muzdalifah no. 3159).
Syarah Hadits
Dua hadits yang dituliskan Ibn Hajar di atas menginformasikan dua model shalat jama’ maghrib dan ‘isya pada saat ibadah haji di Muzdalifah. Hadits Jabir ra menginformasikan satu adzan dan dua iqamat, sementara hadits Ibn ‘Umar ra menginformasikan dua iqamat saja, tanpa ada adzan. Mengingat kejadiannya hanya sekali dan waktu juga tempatnya sama, maka tidak mungkin ada dua model pengamalan, oleh sebab itu harus dikompromikan.
Para ulama jumhur menyimpulkan hadits Jabir ra lebih kuat karena berita yang menyatakan ada (mutsbit) harus didahulukan daripada yang menyatakan tidak ada (nafi). Hadits Ibn ‘Umar ra yang tidak menyebutkan adzan kemungkinan besar sebatas tidak menginformasikan saja, bukan tidak ada adzan yang dikumandangkan. Atau kemungkinan besar tidak terdengar oleh Ibn ‘Umar ra atau juga luput dari perhatiannya sehingga kemudian tidak terinformasikan. Berbeda dengan hadits Jabir ra yang menginformasikannya, menunjukkan bahwa adzan itu benar-benar ada dan dikumandangkan pada saat itu. Terlebih hadits Jabir ra tentang manasik haji Nabi saw merupakan hadits yang paling detail dan lengkap dalam menceritakan praktik manasiknya, sehingga lebih kuat untuk dijadikan pegangan (Syarah an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim bab al-ifadlah min ‘arafat ilal-muzdalifah).
Hadits Jabir ra yang dijadikan pegangan pokok di atas juga menunjukkan bahwa adzan boleh dikumandangkan lewat dari awal waktunya ketika shalat hendak dijama’ ta`khir seperti jama’ shalat maghrib-isya di Muzdalifah. Nabi saw mengamalkan shalat jama’ maghrib dan ‘isya pada waktu ‘isya (jama’ ta`khir), tetapi Nabi saw tetap memerintahkan muadzdzin untuk mengumandangkan adzan cukup satu kali saja, tidak perlu adzan kembali untuk shalat berikutnya.
Imam as-Shan’ani dalam Subulus-Salam menjelaskan bahwa seharusnya metode yang dipakai oleh jumhur itu diberlakukannya pada hadits Ibn Mas’ud ra yang menyebutkan dua kali adzan dan dua kali iqamat untuk shalat maghrib dan isya, bukan hadits Jabir ra. Jadi jika berita itsbat (yang menyatakan ada) hendak dijadikan pegangan utama dengan menyenyampingkan yang nafi (yang menyatakan tidak ada atau tidak mengonformasikan sama sekali), maka tentu menurut Imam as-Shan’ani hadits Ibn Mas’ud ra yang menyebutkan adzan dan iqamat pada kedua-duanya; maghrib dan isya, lebih itsbat daripada hadits Jabir ra yang hanya menyebutkan satu kali adzan di awal saja dan iqamatnya saja yang dua kali. Hadits Ibn Mas’ud ra yang dimaksud Imam as-Shan’ani diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari sebagai berikut:
قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ حَجَّ عَبْدُ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَأَتَيْنَا الْمُزْدَلِفَةَ حِينَ الْأَذَانِ بِالْعَتَمَةِ أَوْ قَرِيبًا مِنْ ذَلِكَ فَأَمَرَ رَجُلًا فَأَذَّنَ وَأَقَامَ ثُمَّ صَلَّى الْمَغْرِبَ وَصَلَّى بَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ دَعَا بِعَشَائِهِ فَتَعَشَّى ثُمَّ أَمَرَ أُرَى فَأَذَّنَ وَأَقَامَ قَالَ عَمْرٌو لَا أَعْلَمُ الشَّكَّ إِلَّا مِنْ زُهَيْرٍ ثُمَّ صَلَّى الْعِشَاءَ رَكْعَتَيْنِ
‘Abdurrahman ibn Yazid berkata: “‘Abdullah ibn Mas’ud ibadah haji. Kami mendatangi Muzdalifah ketika waktu adzan ‘atamah (‘isya) atau menjelang itu. Maka ia memerintah seseorang untuk adzan dan iqamat, kemudian shalat maghrib dan shalat dua raka’at sesudahnya. Kemudian ia minta makan malam dan ia pun makan dahulu. Kemudian ia memerintah—aku mengira—untuk adzan dan iqamat.” ‘Amr berkata: Aku tidak mengetahui yang ragu kecuali itu Zuhair. “Kemudian ia shalat ‘isya dua raka’at.” (Shahih al-Bukhari bab man adzdzana wa aqama li kulli wahidah minhuma no. 1675).
Jika dalam riwayat di atas tampak ada keraguan dari Zuhair salah seorang rawi hadits di atas mengenai adzan yang kedua kali untuk shalat ‘isya, maka pada riwayat berikut tidak ada keraguan:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى مَكَّةَ ثُمَّ قَدِمْنَا جَمْعًا فَصَلَّى الصَّلَاتَيْنِ كُلَّ صَلَاةٍ وَحْدَهَا بِأَذَانٍ وَإِقَامَةٍ وَالْعَشَاءُ بَيْنَهُمَا
Dari ‘Abdurrahman ibn Yazid, ia berkata: “Kami keluar bersama ‘Abdullah (ibn Mas’ud) ke Makkah. Kemudian kami datang ke Jama’ (Muzdalifah) lalu shalat dua shalat. Masing-masing shalat dengan satu adzan dan iqamat. Dan ada makan malam dahulu di antara kedua shalat tersebut.” (Shahih al-Bukhari bab mata yushallal-fajr bi jam’ no. 1683).
Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan bahwa fiqih dari hadits ini—yakni dua kali adzan dan iqamat untuk shalat yang dijama’—adalah pilihan Imam al-Bukhari dan dijadikan pegangan oleh Imam Malik. Akan tetapi Ibn Hazm mengomentari hadits di atas: “Kami tidak menemukan yang seperti ini diriwayatkan langsung dari Nabi saw. Seandainya ada pasti aku akan berpendapat demikian” (Fathul-Bari bab man adzdzana wa aqama li kulli wahidah minhuma).
Artinya hadits Ibn Mas’ud di atas hanya amal pribadinya, bukan amal Nabi saw. Ibn Mas’ud ra di bagian akhir hadits di atas memang menyandarkan praktik manasik haji yang diamalkannya tersebut kepada Nabi saw, tetapi dalam hal shalat yang diamalkan tidak pada waktu yang biasanya, bukan menegaskan bahwa adzan dan iqamat yang dilaksanakan masing-masingnya dua kali itu diamalkan Nabi saw. Berdasarkan fakta ini, maka tetap saja yang paling kuat untuk dijadikan pegangan dalam hal manasik haji adalah hadits Jabir ra; yakni satu adzan dua iqamat untuk shalat yang dijama’, yang langsung menyebutkan seperti itulah praktik Nabi saw.
Seandainya hadits Ibn Mas’ud ra di atas hendak dijadikan pegangan maka tentu yang lebih baik adalah dengan makan malam dahulu sebelum shalat ‘isya dan ada shalat sunat ba’da maghrib. Padahal dalam hadits Jabir ra, semua itu tidak diamalkan Nabi saw. Meski yang diamalkan Ibn Mas’ud ra tersebut statusnya boleh, tetap saja yang paling utama untuk dijadikan pegangan adalah hadits Jabir ra.
Imam Ahmad memberikan catatan bahwa perbedaan riwayat ini sebetulnya menunjukkan bahwa adzan dan iqamat untuk shalat yang dijama’ sifatnya pilihan. Bisa dua adzan dua iqamat, satu adzan dua iqamat, atau tidak ada adzan dan hanya dua iqamat (Fathul-Bari bab man adzdzana wa aqama li kulli wahidah minhuma).