Salah satu issue yang paling santer saat penolakan RUU HIP (Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila) adalah diskursus (wacana) akan diubahnya “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi “ketuhanan yang berkebudayaan”. Hal ini kemudian dinilai bohong (hoax) oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi melalui websitenya, kominfo.go.id. setelah banyak beredarnya akun-akun Facebook memposting tentang hal ini. Setelah sebelumnya juga wacana ini dengan lantang dikemukakan oleh Habib Riziq Shihab (HRS) dalam pidatonya di Makkah al-Mukarramah melalui channel Youtube Front TV. Begitupun yang kemudian dipaparkan oleh Wasekjen MUI, Ustadz Zaitun Rasmin, yang kurang lebih sama, dalam rangka mewakili pandangan ormas-ormas Islam di acara ILC beberapa waktu lalu.
Diskursus ini ditengarai oleh frasa “ketuhanan yang berkebudayaan” yang terdapat dalam draft RUU HIP Pasal 7 mengenai ciri pokok Pancasila yang mengemukakan pula mengenai trisila dan ekasila. Beberapa orang justru menganggap diskursus tersebut sebagai langkah peyorasi (mengubah makna menjadi jelek) dan insinuasi (tuduhan tersembunyi) yang dialamatkan kepada antek-antek Komunisme dan Ateisme. Menurut mereka hal ini tidak bisa dilepaskan dari aspek historisitas (asbāb l-wurūd) dari pidato Ir. Soekarno 1 Juni 1945. Beliau mengemukakan
“… Prinsip yang kelima hendaknya menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al-Masih, yang Islam bertuhan menurut pentunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Budha menjalankan ibadahnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semua ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme-agama’ …”
Dalam pengakuannya kepada Historia, Yudi Latif, mantan kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), menyebut frasa “Ketuhanan yang berkebudayaan” dipakai Soekarno sebagai semangat untuk mengembangkan asas Ketuhanan Yang Maha Esa. Sama halnya dengan frasa “Ketuhanan yang berkeadaban”. “Dengan ungkapan tersebut, bisa dipahami bahwa dalam pandangan Soekarno, asas Ketuhanan Yang Maha Esa itu, dalam relasi politik-muamalahnya, dikembangkan dengan semangat ketuhanan yang berkebudayaan.”
Bila dilihat secara keseluruhan pidato Soekarno pada penutupan sidang BPUPK tidak ada pretensi menggiring diskursus sebagaimana kekhawatiran sebagian umat Islam hari ini. Terlebih bahwa hasil konsensus (kesepakatan/ijma’) kemudian mengenai dasar negara tidak meng-amin-i trisila apalagi ekasila –termasuk ketuhanan yang berkebudayaan. Indonesia tetap menganut format lima dasar (Pancasila) –termasuk Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian apakah issue Ketuhanan Yang Maha Esa yang hendak diganti dengan ketuhanan yang berkebudayaan merupakan langkah peyorasi dan insinuasi? Atau dalam pengertian lain sebagai opini dan asumsi?
Memang benar secara historis tidak ada yang salah dengan “ketuhanan yang ber-kebudayaan” karena masa-masa sesudahnya hal tersebut tidak pernah muncul kembali dalam perdebatan mengenai Pancasila. Perdebatan panas yang hadir justru adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan “Ketuhanan dengan menjalankan syaria’at Islam bagi para pemeluk-pemeluknya” yang terutama terjadi pada sidang Konstituante juga masa-masa setelahnya. Dengan ke-legowo-an umat Islam “tujuh kata” tersebut dihapus dalam Pancasila. Namun demikian, “tujuh kata” tersebut tetap menjiwai (given life) dan dianggap sebagai sebuah kesatuan (linked unity) dengan UUD 1945 sebagaimana diamanatkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Yang jadi masalah justru ketika dokumen sejarah (historical document) “ketuhanan yang berkebudayaan” muncul akhir-akhir ini di abad ke-21 sebagai sebuah haluan ideologi yang mesti dianut semua warga negara. Lalu, apa masalahnya hari ini dengan “ketuhanan yang berkebudayaan”?
“Ketuhanan yang berkebudayaan” merupakan frasa yang sangat ambigu (multitafsir). Kebudayaan bisa merujuk pada kebudayaan tertentu atau bisa tidak merujuk pada apa-apa. Dalam cultural studies (studi kebudayaan) budaya merupakan sesuatu yang tidak “ajeg”. Ia akan senantiasa berubah-ubah dalam rentang ruang dan waktu. Arus budaya dunia yang penuh keterbukaan hari ini mengakibatkan makna budaya begitu kabur. Tak kurang dari permainan-permainan bahasa (language games) yang bertarung dalam diskursus. Antara budaya tinggi dan budaya rendah, modern dan pasca-modern, patron dan sub-ordinat. Bila yang dimaksud kemudian adalah budaya tertentu maka menyalahi prinsip dari kebudayaan itu sendiri. Apalagi Indonesia, di mana keanekaragaman budayanya berbanding lurus dengan kekayaan hayatinya.
Jika kemudian dikatakan bahwa “ketuhanan yang berkebudayaan” hanyalah masalah semantis (pemaknaan) saja. Maka hal ini tidaklah relevan. Apalagi kalau mengartikan bahwa yang dimaksud dengan ketuhanan berarti cara bertuhan, bukan Tuhan itu sendiri. Tentu hal ini menyesatkan. Mengingat ketuhanan tidak bisa dilepaskan dari Yang Maha Esa sebagai wujud pengakuan akan campur tangan Tuhan atas hadirnya negara ini. Preambule (Mukaddimah) UUD 1945 secara eksplisit (lahiriyah) menegaskan hal itu: Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian pada pasal 29 sebagai pasal Agama dalam konstitusi kita, menyebut (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa (2) negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Yang kemudian diterjemahkan ulang ke dalam UU tentang Penodaan Agama Tahun 1965. Hal ini menunjukkan bahwa negara menjamin keharmonisan dalam hubungan budaya beragama. Budaya yang menghormati ketuhanan satu sama lain. Maka dari itu pembubuhan frasa “ketuhanan yang berkebudayaan” dalam haluan ideologi Pancasila merupakan sebuah “kemubaziran” –sebagai kata lain tidak diperlukan, tidak jauh berbeda dengan haluan ideologi Pancasila itu sendiri. Di samping juga terdapat analisis (bukan opini atau asumsi) bahwa terdapat wacana lain yang terselubung di balik itu. Meski, tidak menutup kemungkinan pula hanya sekedar pengalihan issue.
Diskursus “ketuhanan yang berkebudayaan” dilihat dari gelagatnya lebih merupakan kampanye pluralisme, pendidikan multikultural, dan Islam inklusif. Penerapannya memaksa kehendak ketuhanan (teosentrisme) dengan kehendak manusia (antroposentrisme). Ketuhanan kemudian dipandang hanya sebagai ekspresi manusia dalam mengaktualkan religiositasnya (agama). Artinya kebudayaan lah yang kemudian “menciptakan” Tuhan. Tuhan kemudian “menyejarah” dalam persepsi (gagasan) manusia. Menurut Karen Amstrong dalam bukunya, History of God, gagasan manusia tentang Tuhan memiliki sejarah, karena gagasan itu selalu mempunyai arti yang sedikit berbeda bagi setiap kelompok manusia yang menggunakannya di berbagai periode waktu. Gagasan tentang Tuhan yang dibentuk oleh sekelompok manusia pada satu generasi bisa saja menjadi tidak bermakna bagi generasi lain (2002: 21).
Al-Quran menolak mentah-mentah pengandaian-pengandaian manusia tentang Allah subhānahu wa ta’ālā atau mengandaikan bahwa makhluk-Nya dapat menjadi Tuhan. Pengandaian-pengandaian manusia tentang Tuhan kemudian disebut asmā’ sammaytumūhā (konsepsi-konsepsi yang kalian ada-adakan). Di dalam sel tahanan sekalipun, Nabi Yūsuf ‘alaih s-Salām memperingatkan tentang kesesatan meyakini “Tuhan budaya”. Tuhan-tuhan yang memerlukan legitimasi manusia atas eksistensinya.
يَا صَاحِبَيِ السِّجْنِ أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ* مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ أَمَرَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (Q.S. Yūsuf [12] : 39-40).
Musyrik Arab dikecam oleh Allah karena hendak membuat kesan feminin pada Allah dengan menjadikan padanan muannats-nya bagi Allah karena punya persepsi bahwa Allah itu maskulin (mudzakkar). Mereka kemudian membuat konsepsi tentang Lāta, Manāt, dan ‘Uzzā yang kemudian dianggap sebagai putri Tuhan (Q.S. an-Najm: 19-24) juga sebagai ganti dari Allah, al-Mannān, dan al-‘Azīz (lih. at-Thabarī, Jāmi’ l-Bayān fī Ta’wīl l-Qurān, 2000: XXII/522-9). Padahal konsepsi ini bertentangan dengan fakta laysa ka mitslihi syai`un, tidak ada sesuatu pun yang semisal dengan-Nya (Q.S. as-Syūrā [42] : 11). Allah tidak lelaki maupun perempuan. Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa. Setiap makhluk-Nya mesti mengikhlaskan diri dalam men-Tauhid-kan-Nya, meng-Esa-kan-Nya.
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ* اللَّهُ الصَّمَدُ * لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ* وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia” (Q.S. al-Ikhlash [112]).
Gagasan mengenai kebenaran beragama itu berbilang (pluralisme) bertolak belakang dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Tidak hanya berlaku dalam Islam saja, tapi juga agama-agama lainnya. Dalam tradisi Kristen abad pertengahan dikenal suatu kredo, there is no truth outside the church. Kalau kemudian hal ini dipandang sebagai ‘egoisme agama’ dan cenderung berhaluan fundamentalisme, maka hal itu hanya asumsi semata. Di pihak lain sekularisme pun melakukan hal yang sama dengan memaksakan egoismenya kepada agama, terutama dalam ruang publik. Liberalisme pun pada akhirnya tidak liberal lagi ketika memaksakan semua orang harus berpikir liberal. Begitu pun dengan pendidikan multikultural yang menekankan toleransi dalam kampanyenya yang seolah mendikte para penganut agama untuk dapat menghargai penganut agama yang lain. Dalam Islam toleransi sudah dikampanyekan semenjak satu setengah milenia lalu. Ketika suatu Negara Kota Madīnah n-Nabī menjadi basis idea-polis dari keberagaman suku bangsa, budaya, dan agama yang dapat hidup rukun dalam satu komunitas bersama. Dengan tetap memegang prinsip ilahiyah: lakum dīnukum wa liya dīn, untukmu agamamu dan untukku agamaku.
Sebelum adanya wacana pendidikan multikultural, Indonesia sudah sangat terbuka dengan berbagai pemikiran, kultur, dan agama. Sikap saling menghargai antar sesama umat bergama sudah menjadi keharusan dalam mengimplementasikan muamalah dalam berwarga-negara. Hal itu benar-benar terjadi sebelum “negara api” (penjajah) menyerang. Politik devide et impera memecah belah tata bangunan harmonis yang terdapat di dalam masyarakat. Dari sana kemudian politik identitas muncul untuk menjadi bom waktu di kemudian hari.
Hari ini hal itu benar-benar terjadi ketika membagi masyarakat muslim di Indonesia dengan berbagai sebutan. Dari mulai Islam radikal, Islam garis keras, Islam politik, Islam moderat, Islam ‘unyu-unyu’, Islam ini dan itu. Sehingga muslim di Indonesia tidak sedikit yang merasa risih (inferiority complex) untuk mengekspresikan ke-Islam-annya. Itulah sebenar-benar politik identitas. Seolah menjadi momok ketika argumen Islam digunakan dalam argumentasi publik (public reason). Muncullah wacana Islam inklusif sebagai antitesa (kebalikan) dari Islam eksklusif, yang dianggap fundamentalis, tidak demokratis, dan kolot. Ujung-ujungnya menciptakan segregasi (pemisahan) di antara penganut Islam sendiri.
Jikalau Islam inklusif dianggap sebagai ciri keberislaman yang menerima pembaruan, dinamis, serta terbuka dengan gagasan-gagasan yang lebih maslahat yang merupakan spirit Islam itu sendiri, maka tidak bisa dikecilkan artinya bahwa ada wilayah-wilayah eksklusif yang terdapat di dalam Islam. Eksklusivisme itu tersirat dengan jelas, misalnya, pada kalimat syahadat, Lā ilāha illa-Llah. Artinya Islam mempunyai aspek-aspek yang tidak perlu dipertentangkan semisal eksklusivisme maupun inklusivisme. Seperti halnya wilayah qath’ī maupun zhannī. Begitupun penyifatan lain-lainnya terhadap Islam yang mendistorsi Islam sebagai Islam.
Hal ini diperkeruh dengan kelompok yang kemudian mengaku sebagai Pancasilais yang bias akan status quo bahwa hanya merekalah yang memegang teguh Pancasila sebagai landasan berbangsa dan bernegara. Cukup kiranya pertentangan antara ‘cebong’ dan ‘kampret’ jadi cerminan untuk kita adanya pandemi hari ini seharusnya bisa menjadi perekat atas keterbelahan publik dan hilangnya keakraban berwarga-negara di tahun-tahun yang lalu.
Perbedaan-perbedaan yang ada di dalam umat manusia, yang kemudian menghasilkan budayanya masing-masing pada hakikatnya merupakan fitrah ilahiyah. Bukan untuk menjadi lahan persengketaan, tapi menjadi lahan kebersamaan. Kebersamaan yang dapat membuat kita memahami kesatuan dalam perbedaan (unity in difference) dan juga perbedaan dalam sebuah kesatuan (difference in unity). Kebersamaan yang membuat kita mampu untuk ta’āruf (saling mengenal) satu sama lain.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Q.S. al-Hujurāt [49] : 13).
Atas dasar spirit ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka potensi berbudaya yang dimiliki oleh manusia bisa diarahkan kepada hal yang lebih positif, menjadi manusia yang paling mulia: paling bertaqwa. Jadi, bukan ketuhanan yang berbudaya. Tapi kebudayaan yang berketuhanan. Tuhan Yang Maha Esa []
Ketuhanan vs Sekularisasi
Dalam bukunya, Negara Paripurna (2011), Yudi Latif menyimpulkan bahwa dengan berjejak pada nilai-nilai moralitas ketuhanan seperti dinyatakan dalam sila pertama Pancasila, segera terbentang misi profetik yang diemban oleh agama sipil ini: mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan, konsensus secara bijaksana, serta keadilan sosial yang mengatasi tirani perseorangan dan golongan.
Gagasan agama sipil (civic religio) ini dikutip dari Robert N Bellah (2000) dengan semangat twin tolerations (toleransi kembar) yang dikemukakan oleh José Cassanova (1994). Konsep civic religio ini hadir dalam rangka untuk memecah kebuntuan dari diskursus negara agama dan negara sekuler. Apalagi Indonesia yang dikatakan sebagai bukan negara agama dan juga bukan negara sekuler –bukan juga negara bukan-bukan. Wacana ini dianggap dapat menengahi ketegangan antara perspektif fusi (penyatuan) atau separasi (pemisahan) antara agama dan negara. Twin tolerations hadir sebagai sebuah konsep yang mengungkapkan tentang diferensiasi (pembedaan) antara agama dan negara. Setelah dianggap bahwa pilihan antara menyatukan agama atau memisahkannya dengan negara dianggap ‘gagal’. Keduanya justru mempunyai otoritas masing-masing dalam mengatur para ‘anggota’-nya. Dengan demikian keduanya dapat dipertemukan dalam ruang publik (public sphare) sebagaimana digagas oleh Jurgen Habermas yang menekankan argumentasi publik dan deliberasi politik. Dalam bab kedua yang berjudul: Ketuhanan Yang Berkebudayaan tersebut, ‘sayang’ Latif tidak mengelaborasi lebih jauh tentang ketuhanan yang berkebudayaan. Hanya sebagai judul yang terinspirasi dari pidato Soekarno 1 Juni 1945 seperti judul bab-bab lainnya.
Di pihak lain, gagasan mengenai diferensiasi (pembedaan) antara agama dan negara ini telah diungkapkan oleh Muhammad ‘Imārah dalam kitabnya, Ma’ālim l-Minhaj l-Islāmī (1991). Sedangkan gagasan civic religio telah dielaborasi oleh Ibnu Taimiyah yang dapat disarikan dalam berbagai tulisannya, seperti as-Siyāsah s-Syar’iyah, al-Hisbah fi l-Islām, al-Khilāfah wa l-Mulk, Minhaj s-Sunnah n-Nabawiyah, begitupun dalam Majmu’ l-Fatawā’ (karena keterbatasan ruang tidak memunginkan untuk diungkap di sini). Yang jelas, atas prinsip wasathiyah (pertengahan) dalam Islam begitu pun semangat li i’lāi kalimati-Llah (menegakkan kalimah Allah) maka keberadaan agama dan negara kemudian tidak saling menafikan satu sama lain. Justru berjalan pada trek yang sama, mengharap ridha Allah. Dalam pengertian lain, negara membutuhkan agama sebagai dasar legitimasinya. Begitupun agama membutuhkan negara untuk mengimplementasikan nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan masyarakat.
Adapun wacana diferensiasi yang dikemukakan oleh Cassanova maupun Bellah lebih merupakan historical option (pilihan sejarah). Mengingat pengalaman pahit ketika sistem kependetaan (kerk) mengontrol penuh sendi-sendi kehidupan masyarakat Barat saat itu. Hingga terjadilah proses sekularisasi pada tahun 1648 yang mulanya hanya memisahkan antara properti gereja dan non-gereja. Mengisyaratkan bahwa fusi antara agama dan negara tidak berjalan “mulus”. Sampai kemudian dimulailah proyek pencerahan (enlightment) yang mencoba membebaskan diri dari ‘jerat’ agama, atau yang kita kenal sekarang dengan sekularisme liberal. Namun paruh kedua abad ke-20 wacana separasi agama dan negara menimbulkan polemik dari para penganut agama yang merasa agama telah dipinggirkan dalam wacana publik. Agama kemudian dipahami sebagai urusan pribadi (privatisme) semata. Maka muncullah opsi diferensiasi yang seolah dianggap sebagai jalan “damai” antara sekularisme dengan agama. Padahal, bila dicermati lebih dalam, hal ini merupakan supremasi (dominasi) lanjutan dari sekularisme itu sendiri. Ketika agama diharuskan memenuhi ‘prasyarat’ tertentu dalam argumentasi publik (public reason).
Berbanding terbalik dengan Islam yang menempatkan agama (syari’ah) sebagai tolok-ukur pengambilan kebijakan publik (public policy). Rangkaian teknis yang dijabarkan dari syari’ah lalu dijadikan sebagai ijtihad-ijtihad yang terbuka untuk dikritik dan dibantah di kemudian hari berdasarkan syari’ah (hukum ilahi) lagi.
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ* وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ* أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu, dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (Q.S. al-Māidah [5] : 50).
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الأمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui (Q.S. al-Jātsiyah [45] : 18).
Pemahaman istilah syari’ah pada beberapa dekade ke belakang di mata publik mengalami degradasi makna. Ketika yang tergambar dalam syari’ah (hukum Islam) hanya sebatas qishash, hadd, dan ta’zīr dengan tidak mengetahui ada prosedur peradilan yang mesti ditempuh serta subtancial-justice yang terdapat dalam Islam. Namun hal itu sedikit demi sedikit mulai terkikis dengan banyaknya gerakan ‘syari’ahisasi’ yang mulai diperkenalkan di berbagai lini kehidupan masyarakat. Artinya Islam bukanlah agama yang kaku. Bahkan dalam dimensi kebudayaan yang lebih luas sekalipun, yang menjadi inseminasi (penyebaran) politik, sosial, ekonomi di masyarakat, maka Islam memberikan ruang legalitas kebudayaan dalam kehidupan masyarakat. Hal ini terambil, salah satunya, dari firman Allah dalam Q.S. al-Hujurat: 13 (yang telah disebutkan sebelumnya). Juga kaidah para yuris Islam (ushūliyyūn) tentang ‘urf (budaya) serta teori al-‘ādatu muhakkamah, kebiasaan dapat dijadikan sebagai sumber hukum. Jadi tidak benar bila Islam kemudian dianggap sebagai anti-kebudayaan –atau bahkan tidak berbudaya. Selama tidak bertentangan dengan syari’ah, tidak menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah, serta mengandung berbagai aspek kebaikan dan kemaslahatan di dalamnya. Inilah syari’ah Islam yang mempunyai prinsip: dar’ l-mafāsid wa jalb l-mashālih, menolak mafsadat dan meraih kemaslahatan. Sehingga ruang-ruang publik yang terbuka dengan semangat amr ma’ruf (humanisasi) dan nahy munkar (liberasi) seperti inilah yang hendak dihidupkan oleh Islam dalam memberikan kontribusinya kepada bangsa dan negara.
Menerawang Politik Hari ini
Melalui Menkopolhukam Mahfud MD pemerintah menolak (tidak hanya menunda) RUU HIP –dengan ketuhanan yang berkebudayaan di dalamnya- setelah melihat berbagai aksi penolakan. DPR pun terlihat bergeming saat RUU yang diusulkannya itu ternyata menuai berbagai kritik. What’s next? Sepertinya belum ada kelanjutannya. Namun kita bisa menata satu per satu apa saja yang telah terjadi ketika polemik tersebut bergulir. Yang kemudian menjadi catatan (hikmah) sebagai bahan intropeksi bersama:
Pertama, persatuan Islam sebagai bagian dari civic religio yang ada di Indonesia, baik yang di dalam ‘istana’ maupun di luar, harus terus dipupuk dan dijaga bersama-sama. Tidak hanya karena satu atau dua issue, karena dirasa sedang menghadapi ‘musuh bersama’. Buruknya memahami ‘musuh bersama’ (common enemy) adalah ketika menganggap musuh dari musuhku adalah temanku. Artinya, setelah common enemy itu tumbang, maka muncullah musuh baru –“bekas temanku”.
Kedua, tentang politik exorcisme (pengusiran setan/ruqyah) menyadarkan kita bahwa “hantu-hantu” masa lalu itu masih ada. Terbukti dengan keresahan publik mengenai RUU HIP yang disinyalir dapat ‘membangkitkan’ kembali Komunisme di negeri ini. Tidak mungkin mengusir hantu bila tidak ada yang sengaja melakukan pemanggilan (conjuring/nyambat). Kecuali kalau hantu itu adalah ‘jalangkung’, datang tidak dijemput pulang tak diantar. Intinya, tidak baik politik yang dibangun atas dasar was-was, curiga dan ketakutan. Tidak baik berteman dengan ‘hantu’. [HF]