207. وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ, فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abu Sa’id al-Khudri—semoga Allah meridlainya—ia berkata: Rasulullah—shalawat dan salah semoga selalu tercurah kepadanya—bersabda: “Apabila kalian mendengar muadzdzin adzan maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkan muadzdzin.” Disepakati keshahihannya.
-
وَلِلْبُخَارِيِّ: عَنْ مُعَاوِيَةَ رضي الله عنه مِثْلُهُ
Dalam riwayat al-Bukhari dari Mu’awiyah—semoga Allah meridlainya—seperti itu.
-
وَلِمُسْلِمٍ: عَنْ عُمَرَ فِي فَضْلِ الْقَوْلِ كَمَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ كَلِمَةً كَلِمَةً, سِوَى الْحَيْعَلَتَيْنِ, فَيَقُولُ: لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّه
Dalam riwayat Muslim dari ‘Umar—semoga Allah meridlainya—tentang membalas bacaan seperti bacaan Muadzdzin per kalimat, dikecualikan hai’alatain (dua hayya ‘ala) maka jawabannya: La haula wa la quwwata illa bil-‘Llah.
Tautsiq Hadits
Tiga hadits di atas, ketiga-tiganya merupakan ringkasan dari hadits yang selengkapnya sebagaimana sudah menjadi manhaj dari kitab Bulughul-Maram sebagai kitab ringkasan hadits-hadits fiqih. Akan tetapi khusus khadits Abu Sa’id ra, ia merupakan ringkasan dari hadits lain yang diriwayatkan ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash. Maksudnya hadits Abu Sa’id ra matannya memang sampai di sana. Tetapi dalam hadits ‘Abdullah ibn ‘Amr ra ada tambahannya. Berikut data lengkapnya.
Hadits Abu Sa’id al-Khudri ra diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari kitab al-adzan bab ma yaqulu idza sami’al-munadi no. 611 dan Shahih Muslim kitab as-shalat bab istihbabil-qaul mitsla qaulil-muadzdzin liman sami’ahu no. 874. Sementara hadits ‘Abdullah ibn ‘Amr ra adalah sebagai berikut:
إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَىَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَىَّ صَلاَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِىَ الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِى الْجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِى إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِىَ الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ
Apabila kalian mendengar muadzdzin adzan maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkan muadzdzin. Kemudian bershalawatlah untukku (tanpa dikeraskan), karena siapa yang bershalawat untukku satu kali niscaya Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali. Kemudian mintakanlah untukku wasilah (berdo’a Allahumma rabba hadzihid-da’watit-tammah…), karena dia merupakan satu tempat di surga yang tidak layak diberikan kecuali kepada seorang hamba yang istimewa, dan aku berharap akulah hamba itu. Maka siapa yang memintakan wasilah untukku ia pasti akan mendapatkan syafa’at.” (Shahih Muslim kitab as-shalat bab istihbabil-qaul mitsla qaulil-muadzdzin liman sami’ahu no. 875)
Hadits Mu’awiyah ra:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ قَالَ سَمِعْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَهُوَ جَالِسٌ عَلَى الْمِنْبَرِ أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ قَالَ مُعَاوِيَةُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَقَالَ مُعَاوِيَةُ وَأَنَا فَقَالَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَقَالَ مُعَاوِيَةُ وَأَنَا فَلَمَّا أَنْ قَضَى التَّأْذِينَ قَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى هَذَا الْمَجْلِسِ حِينَ أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ يَقُولُ مَا سَمِعْتُمْ مِنِّي مِنْ مَقَالَتِي
Dari Abu Umamah ibn Sahl ibn Hunaif, ia berkata: Aku mendengar Mu’awiyah ibn Abi Sufyan ketika ia duduk di atas mimbar dan muadzdzin sedang adzan: Allahu Akbar Allahu Akbar ia menjawab: Allahu Akbar Allahu Akbar. Ketika maudzdzin mengumandangkan: Asyhadu alla ilaha illal-‘Llah, Mu’awiyah menjawab: “Wa ana; dan saya pun demikian. Ketika maudzdzin mengumandangkan: Asyhadu anna Muhammadar-Rasulul-‘Llah, Mu’awiyah menjawab: Wa ana. Ketika selesai adzan ia berkata: “Wahai orang-orang, sungguh aku mendengar Rasulullah saw di atas tempat duduk ini ketika muadzdzin adzan, mengucapkan seperti yang kalian dengan dariku ucapannya.” (Shahih al-Bukhari kitab al-jumu’ah bab yujibul-imam ‘alal-minbar idza sami’an-nida` no. 914)
Hadits ‘Umar ibn al-Khaththab ra:
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ إِذَا قَالَ الْمُؤَذِّنُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ فَقَالَ أَحَدُكُمُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ. ثُمَّ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ. ثُمَّ قَالَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ. ثُمَّ قَالَ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ قَالَ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ. ثُمَّ قَالَ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ قَالَ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ. ثُمَّ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ. ثُمَّ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ مِنْ قَلْبِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ
Dari ‘Umar ibn al-Khaththab ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Apabila muadzdzin mengucapkan Allahu Akbar Allahu Akbar lalu salah seorang di antaramu mengucapkan Allahu Akbar Allahu Akbar; kemudian ketika muadzdzin mengucapkan Asyhadu alla ilaha illal-‘Llah ia juga mengucapkan Asyhadu alla ilaha illal-‘Llah; kemudian ketika muadzdzin mengucapkan Asyhadu anna Muhammadar-rasulul-‘Llah ia juga mengucapkan Asyhadu anna Muhammadar-rasulul-‘Llah; kemudian ketika muadzdzin mengucapkan Hayya ‘alas-shalah ia mengucapkan La haula wa la quwwata illa bil-‘Llah; kemudian ketika muadzdzin mengucapkan Hayya ‘alal-falah ia mengucapkan La haula wa la quwwata illa bil-‘Llah; kemudian ketika muadzdzin mengucapkan Allahu Akbar (2x) lalu ia mengucapkan Allahu Akbar (2x); kemudian ketika muadzdzin mengucapkan La ilaha illal-‘Llah ia juga mengucapkan La ilaha illal-‘Llah; (semuanya) dari dalam hatinya, pasti ia akan masuk surga (Shahih Muslim kitab as-shalat bab istihbabil-qaul mitsla qaulil-muadzdzin liman sami’ahu no. 876).
Syarah Hadits
Tiga hadits di atas menjelaskan sunnah menjawab adzan seperti yang diucapkan muadzdzin, kecuali untuk lafazh hayya ‘alas-shalah dan hayya ‘alal-falah yang dijawab dengan la haula wa la quwwata illa bil-‘Llah. Selain itu menurut hadits Mu’awiyah ra lafazh syahadat bisa dijawab juga dengan hanya mengucapkan: Wa ana. Jadi dijawab dengan syahadat lagi sebagaimana dikumandangkan muadzdzin diperbolehkan, dan dengan lafazh wa ana pun diperbolehkan.
Hadits ‘Umar ibn al-Khaththab ra menggarisbawahi bahwa amal menjawab adzan ini harus diucapkan dengan penuh kekhusyuan dari dalam hati sehingga layak dibalas dengan surga. Ini juga meniscayakan semua orang baik laki-laki atau perempuan untuk sudah siap dari sejak sebelum adzan dengan wudlu dan tempat untuk shalatnya sampai ia sudah siap dengan shalatnya sehingga ia bisa menjawab adzan dengan khidmat. Jika di waktu adzan masih disibukkan dengan wudlu, berjalan menuju masjid, mengatur-atur tempat shalat, dan aktivitas lainnya, hemat kami akan sangat sulit menjawab adzan dari dalam hati.
Ratibah untuk Muadzdzin
- وَعَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي الْعَاصِ رضي الله عنه أَنَّهُ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ اجْعَلْنِي إِمَامَ قَوْمِي. قَالَ: أَنْتَ إِمَامُهُمْ, وَاقْتَدِ بِأَضْعَفِهِمْ, وَاتَّخِذْ مُؤَذِّنًا لَا يَأْخُذُ عَلَى أَذَانِهِ أَجْرًا. أَخْرَجَهُ الْخَمْسَةُ وَحَسَّنَهُ التِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ
Dari ‘Utsman ibn Abil-‘Ash—semoga Allah meridlainya, ia berkata: “Wahai Rasulullah, jadikanlah aku imam kaumku.” Beliau saw menjawab: “Kamu imam mereka, perhatikan orang yang paling lemah di antara mereka, dan angkatlah muadzdzin yang tidak menuntut upah atas adzannya.” Lima Imam meriwayatkannya, at-Tirmidzi menilainya hasan, dan al-Hakim menilainya shahih.
Tautsiq Hadits
Hadits ‘Utsman ibn Abil-‘Ash ra ini diriwayatkan dalam Musnad Ahmad bab hadits ‘Utsman ibn Abil-‘Ash ats-Tsaqafi no. 16270-16272; Sunan Abi Dawud bab akhdzil-ajr ‘alat-ta`dzin no. 531; Sunan at-Tirmidzi bab ma ja`a fi karahiyah an ya`khudzal-muadzdzin ‘alal-adzan ajran no. 209; Sunan an-Nasa`i bab ittikhadzil-muadzdzin al-ladzi la ya`khudzu ‘ala adzanihi ajran no. 672; Sunan Ibn Majah bab man amma qauman fal-yukhaffif no. 987-988; dan al-Mustadrak al-Hakim wa min abwabil-adzan wal-iqamah no. 715.
Syarah Hadits
Hadits di atas menunjukkan bahwa Imam shalat diharuskan mengangkat muadzdzin. Itu terlihat dari perintah Nabi saw kepada ‘Utsman ibn Abil-‘Ash yang dikukuhkan sebagai imam shalat untuk mengangkat seorang muadzdzin. Hadits ini juga menunjukkan bahwa imam shalat itu diangkat secara resmi oleh Ulil-Amri yang ada di atasnya. Ini terlihat dari kehati-hatian ‘Utsman ibn Abil-‘Ash yang tidak mengangkat dirinya sendiri sebagai imam shalat melainkan meminta izin kepada Nabi saw terlebih dahulu sebagai pemimpin di atasnya yang berwenang mengangkat imam.
Syarat utama menjadi muadzdzin di hadits ini adalah orang yang tidak menuntut upah atas jasa adzannya. Jika muadzdzin kemudian diberi ratibah/ujrah dari baitul-mal, maka jumhur ulama sepakat atas kebolehannya agar ia bisa menafkahi dirinya dan keluarganya (Naiul-Authar, Tuhfatul-Ahwadzi, Taudlihul-Ahkam). Jadi yang diharamkan itu mengangkat muadzdzin yang menuntut upah, sementara muadzdzin yang ikhlash menjalankan tugasnya dan tidak ada keinginan diupah maka hukumnya boleh menerima upah asalkan ia tidak menuntutnya atau bahkan mengharapkannya pun tidak. Kembali pada dalil umum haramnya meminta dan bolehnya diberi. Hadits ini sekaligus merupakan peringatan kepada semua muadzdzin untuk selalu ikhlash mengamalkan adzan, jangan ada harapan apalagi tuntutan untuk diberi upah.
‘Utsman ibn Abil-‘Ash ini merupakan seseorang dari rombongan Bani Tsaqif, Tha`if, yang datang kepada Nabi saw masuk Islam. Mereka ditempatkan oleh Nabi saw di masjid agar bisa belajar al-Qur`an dan shalat secara langsung. ‘Utsman ini orang yang paling muda, berusia 27 tahun, dan paling rajin belajar, sehingga menjadi yang paling mahir dalam al-Qur`an. Permintaannya kepada Nabi saw untuk diangkat jadi imam karena ia ingin pahala besar dan ia memang merasa layak untuk itu (Subulus-Salam, Taudlihul-Ahkam).
Hadits ini menunjukkan bahwa memohon jabatan keagamaan diperbolehkan jika memang merasa diri layak memperolehnya dan karena niatannya ibadah untuk memperbanyak pahala. Jika niatannya riya atau ingin bagian duniawi, maka ini jelas haram sebagaimana sudah menjadi ajaran pokok dalam Islam.