Salah satu defenisi yang mendekati dengan definisi agama, khususnya yang didefinisikan oleh orang-orang Islam, adalah definisi agama yang dikemukakan oleh Ogburn dan Nimhoff dari The Florida States University, yang kemudian dikemukakan kembali oleh Prof. Dr. HM Rasyidi, yakni: “Religion is a system of beliefs, emotional attitudes and practices by means of which a group of people attempt to cope with ultimate problem of human life.”
Agama adalah suatu pola akidah-akidah (kepercayaan-kepercayaan), sikap-sikap emeosionil dan praktek-praktek yang dipakai oleh sekelompok manusia untuk mencoba memecahkan soal-soal “attitude” dalam kehidupan manusia. Definisi ini mengandung unsu-unsur kepercayaan, emosi, sosial, dan unsur yang terkandung dalam perkataan attitude yang berarti “yang sangat penting”, “yang tak ada yang lebih penting” dari padanya (Empat Kuliah Agama Islam pada Perguruan Tinggi, 1977: 50).
Kecenderungan manusia untuk meyakini adanya suatu kekuatan di atas kekuatan-kekuatan di alam semesta merupakan sebuah keniscayaan. Sebab, manusia diberikan akal untuk berfikir. Kecenderungan tersebut membuat manusia sebenarnya tidak dapat lepas dari agama. Sekalipun orang menyatakan bahwa dirinya tidak beragama, keyakinannya memilih untuk tidak beragama, adalah agama itu sendiri. Agama sering menjadi motif dalam mengambil keputusan-keputusan politik; peraturan-peraturan ekonomi; dan hubungan sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu, agama merupakan faktor dominan dalam kehidupan manusia. Bahkan pandangan terhadap agama merupakan paradigma untuk memahami perilaku dan reaksi masyarakat suatu bangsa.
Perubahan-perubahan dan modernisasi sistem hukum nasional, khususnya pada hukum pidana, harus diarahkan atas kesadaran hokum; keyakinan hukum masyarakat Indonesia; dan bersumber pada nilai-nilai yang terkandung pada preambule (mukaddimah) UUD tahun 1945 alinea keempat, yang berbunyi:
“kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan bangsa Indonesia itu dalam Undang Undang Dasar Negara Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
Sila pertama seperti termaktub dalam preambule UUD 1945 di atas, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai bagian dari Staat fundamental norm (norma dasar negara). Kemudian dijabarkan kembali dalam Staatverfassung (konstitusi negara), yakni pada BAB XI tentang Agama pasal 29, adalah merupakan suatu sistem yang fundamental yang menunjukkan bahwa pandangan hidup (weltanschauung) bangsa Indonesia adalah pandangan hidup yang religius, bukan pandangan yang materialistik atau pun sekuleristik.
Agama dengan kehidupan masyarakat di Indonesia merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan, sebagaimana Negaranya itu sendiri. Indonesia memang bukan Negara Islam; ataupun Negara Kristen; Hindu; Budha, dsb. Namun peran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sampai kapan pun melekat dan tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, sebagai bentuk wujud perlindungan negara terhadap agama pada tahun 1965, lahirlah Undang Undang No 1 Pnps tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama. Sedangkan agama yang diakui di Negara Indonesia jika merujuk pada penjelasan UU No 1/Pnps/1965 adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu (confusius).
Pengaruh-pengaruh agama telah masuk ke dalam sisteme pemerintahan dan hukum kita di Indonesia. Salah satu hukum yang berkaitan dengan agama adalah Pasal 156a KUHP tentang tindak pidana penistaan terhadap agama. Sejarah lahirnya pasal 156a KUHP sangat erat kaitannya dengan sejarah hukum pidana itu sendiri. Pasal 156a merupakan sisipan dalam pasal 156 KUHP yang diamanatkan oleh UU No 1/Pnps/1965. Pasal 156 KUHP memuat perbuatan pidana di antaranya mengeluarkan pernyataan permusuhan, benci atau merendah (uiting gaven van gevoelens van wijandschap, haat of minatching), yang ditujukan kepada Pemerintahan Indonesia (tegen de regering van Indonesia). Pada era pra kemerdekaan pasal ini dimaksudkan untuk memberantas gerakan kebangsaan dan kemerdekaan kita (Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, 1976: 77), yang dipidanakan oleh pasal ini adalah golongan penduduk. Pasal ini sendiri dalam wetboek van straftrech di Belanda mengalami penolakan.
Dalam merumuskan suatu tindak pidana kejahatan (delict) maka kita harus memperhatikan asas legalitas sebagaimana diatur dalam pasal 1 KUHP yang berbunyi “suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada” (nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali). Dalam pembaharuan hukum pidana melalui RUU KUHP asas legalitas tidak hanya menyangkut aturan pidana yang diatur dalam undang-undang, melainkan juga memperhatikan rasa hukum yang hidup di kalangan masyarakat. Hal ini didasarkan pada pendapat R. Soesilo yang dikutip dalam naskah akademik RUU KUHP bahwa suatu perbuatan dapat disebut sebagai tindak pidana jika perbuatan itu bertentangan dengan asas-asas hukum positif yang hidup dalam rasa hukum di kalangan rakyat. Terlepas dari pada hal apakah asas-asas tersebut tercantum dalam undang-undang atau tidak.
Doktrin asas legalitas yang dikaitkan dengan norma hidup masyarakat Indonesia melahirkan suatu kondisi dimana asas legalitas tidak lagi terpaku pada aturan hukum yang baku, melainkan juga memperhatikan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat Indonesia. Kondisi tersebut sangat memungkinkan untuk melahirkan suatu delik baru dalam KUHP di Indonesia, yakni delik agama. Pasal-pasal yang berkaitan dengan agama dalam KUHP saat ini diposisikan pada BAB V Kejahatan terhadap Ketertiban Umum, yang seharusnya pasal-pasal kejahatan terhadap agama diposisikan pada posisi yang khusus, yakni delik agama. Konsekuensi ditempatkannya pasal-pasal yang berkaitan dengan agama pada kejahatan terhadap ketertiban umum adalah perbuatan tersebut harus lebih dahulu memenuhi unsur mengganggu ketertiban umum, sehingga penodaan terhadap agama selama tidak menganggu ketertiban umum tidak dapat dipidana. Sehingga timbul pertanyaan manakah sebetulnya yang lebih dihormati oleh hukum pidana kita, ketertiban umum atau kepentingan agama?
Semangat pembaharuan hukum pidana di Indonesia untuk melepaskan diri dari sistem pidana Belanda (dekolonialisasi) harus didukung dengan menempatkan norma-norma agama pada peranannya, sebab kehidupan bangsa ini tidak dapat dilepaskan dari kehidupan beragama. Hal demikian adalah salah satu konsekuensi logis dari sila pertama dalam Pancasila. Delik-delik agama yang telah dirumuskan dalam RUU KUHP harus tetap dipertahankan, bahkan saat ini muncul usulan RUU Perlindungan Tokoh Agama dan Simbol Agama.
Kejahatan terhadap agama tidak dapat dipisahkan dengan kejahatan terhadap simbol agama itu sendiri. Sebab perlindungan terhadap agama termasuk pula perlindungan terhadap segala unsur-unsurnya. Seperti halnya perlindungan terhadap negara tidak dapat dipisahkan dengan perlindungan terhadap simbol Negara. Sebab simbol negara adalah bagian dari negara itu sendiri. Oleh sebab itu, kasus percobaan pembunuhan terhadap ulama, misalnya, Syekh Ali Jaber beberapa waktu yang lalu, merupakan tindak pindana kejahatan terhadap simbol agama dan agama itu sendiri. Sehingga pada pemidanaannya perlu menjadi suatu hal yang memberatkan, sebagaimana halnya tindak pidana yang ditujukan pada simbol negara dan pemerintahan. Di mana bisa menjadi alasan pemberat untuk seorang hakim dalam menentukan vonis pidana bagi pelakunya.