وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا
Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros (Q.S. al-Isra’ [17]: 26).
Hak kerabat adalah mendapatkan santunan dari harta yang lebih dari keperluan. Mereka berhak mendapatkan hak santunan itu sebagai orang pertama sebelum orang miskin lainnya. Baik dalam ayat di atas ataupun ayat 38 surat ar-Rum, kerabat selalu disebut yang paling awal. Nabi saw kemudian menguatkan dalam hadits shahih: “Sebaik-baiknya shadaqah yang lebih dari keperluan, dan mulailah kepada kerabat.” (Shahih al-Bukhari bab la shadaqah illa ‘an zhahri ghinan no. 1426). Maka siapa pun yang memiliki harta berlebih tetapi tidak pernah menyantuni kerabatnya berarti telah berlaku boros (tabdzir), dan para pelaku tabdzir itu adalah kawan-kawan setan (Q.S. al-Isra’ [17]: 27).
Orang miskin dan ibnus-sabil (yang habis bekal di perjalanan) sebenarnya sama sebagai orang-orang yang membutuhkan santunan. Bedanya orang miskin itu warga pribumi, sementara ibnus-sabil sedang dalam perantauan. Orang miskin itu yang memang sehari-harinya hidup miskin, sementara ibnus-sabil tidak mustahil sebenarnya orang kaya hanya pada saat merantau ia membutuhkan santunan karena kekayaannya tidak sedang dibawa olehnya.
Hak untuk kaum miskin dan ibnus-sabil yang paling utama adalah mendapatkan santunan makanan. Bahkan meski tetangga-tetangga di dekatnya bukan sebagai orang kaya sekalipun. Jika ia masih memiliki makanan, sementara tetangganya yang miskin tidak punya makanan, maka ia harus berbagi makanan dengan tetangganya yang miskin tersebut. Nabi saw bersabda: Makanan untuk dua orang harus cukup untuk tiga orang. Makanan untuk tiga orang harus cukup untuk empat orang (Shahih al-Bukhari bab tha’amul-wahid yakfil-itsnain no. 5392; Shahih Muslim bab fadllil-muwasah fit-tha’amil-qalil no. 5488).
Bagi ibnus-sabil pun demikian. Nabi saw dalam salah satu safarnya menegaskan:
“Siapa yang punya kelebihan tunggangan hendaklah membawa orang yang tidak punya tunggangan. Siapa yang punya kelebihan bekal hendaklah berbagi kepada orang yang kehabisan bekal.” Kata Abu Sa’id al-Khudri: “Nabi saw kemudian merinci harta-harta secara detail (makanan, minuman, pakaian dan sebagainya—pen) sehingga kami mengerti bahwa kami tidak berhak memiliki kelebihan (ketika orang lain membutuhkan).” (Shahih Muslim bab istihbabil-muwasah bi fudlulil-mal no. 4614).
Satu hal yang perlu diingat, Allah swt mempertentangkan perhatian memberikan santunan ini dengan tabdzir. Sebuah isyarat bahwa amal mulia ini akan selalu terhalang oleh pola hidup yang masih hedonis. Jika seseorang selalu beralasan ketika tidak bisa memberikan hak kepada kerabat dan kaum miskin itu pertanda hidupnya masih tabdzir dan ia masih setia menjadi kawan setan.
Demikian halnya jika dikaitkan dengan ayat 38-39 surat ar-Rum dimana Allah swt mempertentangkan kewajiban memberi santunan ini dengan semangat seseorang untuk memperkaya diri lewat riba. Maka orang yang selalu banyak alasan tidak memberi santunan salah satunya pasti karena hidupnya masih bergelimang riba. Kepada mereka Allah swt menyebutnya sebagai orang-orang yang kesurupan setan dalam QS. al-Baqarah [2] : 275. Na’udzu bil-‘Llah min dzalik.