Perdebatan tentang model Negara ideal untuk konteks modern sudah mengemuka dari sejak sebelum kemerdekaan Indonesia dengan melibatkan tokoh-tokoh Islam dan sekuler. Perdebatan mengerucut pada dua pilihan; teokrasi ataukah demokrasi. Teokrasi artinya kekuasaan didasarkan pada sebuah agama, Islam misalnya, seperti Kesultanan Islam di Nusantara yang banyak di antaranya masih eksis sampai menjelang kemerdekaan. Mayoritas pendiri bangsa ini menolak teokrasi karena dalih bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai agama, terlebih mayoritas rakyat Indonesia tidak siap dengan sistem Negara agama seperti Kesultanan Islam. Mayoritas pendiri bangsa ini menghendaki sistem demokrasi, dimana kekuasaan sepenuhnya berada di tangan rakyat melalui mekanisme pemilihan, perwakilan, dan permusywaratan.
Muhammad Natsir dari kalangan intelektual muda Islam di masa awal kemerdekaan terkenal dengan usulannya teistik demokrasi, yakni Negara demokrasi dengan basis ketuhanan dan agama, dimana yang paling utamanya adalah agama Islam sebagai agama mayoritas. Usulan tersebut didasarkan fakta bahwa demokrasi meski bagaimanapun lahir dari rahim sekularisme yang tidak mengenal agama. Demokrasi lahir sebagai protes atas teokrasi dimana kekuasaan sepenuhnya dipegang oleh para pemuka agama. Maka dari itu demokrasi menghendaki agar kekuasaan sepenuhnya ditentukan oleh rakyat dan bukan pemuka agama. Rakyat yang menghendaki demokrasi dilatari motif ketidaksukaan kepada agama. Maka dari itu jangan heran jika dalam praktiknya demokrasi tidak menghiraukan nilai-nilai agama, melainkan sepenuhnya diserahkan kepada nalar rakyat mayoritas. Dalam hal inilah maka Muhammad Natsir menggagas pentingnya teistik demokrasi.
Ide teistik demokrasi ini sebetulnya sudah diakomodir oleh para perumus Pancasila dengan menjadikan sila Ketuhanan sebagai dasar dari Pancasila. Akan tetapi dalam praktiknya seringkali Ketuhanan dipahami sebagai kepercayaan personal semata tidak sebagai keberagamaan yang harus hadir dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Ini semua berpangkal dari otak-otak manusia Indonesianya sendiri yang sekuler. Jadinya sila Ketuhanan dipahami sebagai kepercayaan yang sifatnya personal, sementara untuk urusan sosial kemasyarakatan dikembalikan kepada nalar mayoritas masyarakat tanpa membawa-bawa agama.
Itulah yang seringkali terjadi dalam perumusan Undang-undang di Negeri yang dasar negaranya Ketuhanan ini. Karena demokrasi yang dipahami dan diamalkannya demokrasi sekuler, bukan yang teistik, maka tema-tema perundang-undangan yang menyerempet agama seperti RUU Larangan Minumal Alkohol, Kekerasan Seksual, Pidana LGBT, Pidana Perzinaan, Kesetaraan Gender, dan lainnya seringkali berbelit-belit karena dibenturkan dengan adat, budaya, pariwisata, dan kepentingan ekonomi. Agama jadi seringkali harus mengalah dan dipaksa untuk masuk ranah kepercayaan personal saja, tidak boleh masuk ranah sosial kemasyarakatan sama sekali, karena Indonesia bukan Negara teokrasi, melainkan demokrasi. Seperti inilah balada Negara demokrasi…