Minggu pagi di tahun 2000-an adalah hari spesial bagi anak-anak di Indonesia untuk duduk manis di depan sebuah tabung bergambar (TV) yang menyajikan film kartun atau animasi (anime, kebanyakan dari Jepang) sampai menjelang siang, setidaknya, sebelum teman-teman datang ke rumah untuk mengajak bermain (biasanya bermain playstation 1/2). Keesokan harinya di sekolah mereka akan berbincang seputar tokoh-tokoh kesayangan yang mereka tonton tempo hari. Ada yang berebut ingin jadi ranger merah, tapi kalo sudah muncul ranger putih atau abu-abu, ranger merah ditinggalkan. Ada yang bercerita bahwa tokoh utama akan hidup kembali dengan dibangkitkan lewat tujuh bola naga. Dan masih banyak lainnya tergantung referensi tontonan dan durasi duduk di depan layar. Semua itu terjadi sebelum kanal berbagi video, media sosial, aplikasi joget-joget, dan drama Korea menyerang.
Hari ini ratusan atau ribuan kartun bisa dengan begitu mudahnya diakses oleh anak-anak lewat gawai (gadget) yang diberikan orang tua mereka. Bahkan kartun yang masih on going (sedang berlangsung) di negara asal pembuatnya. Mengingat banyaknya kartun-kartun impor dari luar negeri, maka bermunculan lah para kreator animasi dalam negeri untuk ikut bersaing dalam memperebutkan perhatian anak-anak. Salah satunya yang terpopuler adalah Nussa dan Rara.
Kemunculan film animasi sejak November 2018 di akun Youtube Nussa Official disambut hangat oleh sebagian orangtua, diproduksi oleh studio animasi The Little Giantz dan 4 Stripe, akhirnya Indonesia memiliki animasi yang menampilkan anak kecil laki-laki bernama Nussa (kisaran umur 9 tahunan) dengan ciri khasnya memakai peci putih dan busana muslim ditemani adik kecilnya, Rara (umurnya kisaran 5 tahun) yang imut dengan menutup auratnya. Film animasi ini pada bulan Ramadhan sempat tayang di televisi, Trans TV 24 April 2020 saat sahur, dan sebelumnya 2019 pernah muncul juga di Net dan Indosiar. Film ini mendapat jutaan viewers. Namun kabar kurang menyenangkan muncul dari Felix Siauw di akun Instagramnya, bahwa Jumat (1/1/2021) menjadi tayangan episode terakhir dari film Animasi Nussa dan Rara. Di mana salah satu penyebabnya karena dampak covid-19.
Selain itu film animasi yang disutradarai oleh Angga Sasongko ini dilontari cibiran oleh Denny Siregar di akun twitternya. Tentang model berpakaian Nussa dan Rara, yang menurutnya, tidak menggambarkan muslim di Indonesia. Seharusnya modelnya sarungan dan berkopeah. Layaknya Denny, Aminah Sri Prabasari dalam tulisannya di mojok.co, menyebut bahwa karakter Nussa terlalu memaksakan dengan role model seorang anak yang tak pernah melakukan kesalahan, dan tidak mewakili keragaman muslim di Indonesia.
Cibiran ini ditanggapi, salah satunya, oleh Tiar Anwar Bactiar dalam wawancara di Republika.co.id. Menurutnya, Denny Siregar terlalu berlebihan dan salah alamat. Film animasi bertemakan keagamaan tidak serta-merta mengubah tradisi anak-anak di Indonesia. Sama halnya dengan film animasi Little Krishna. Menurut Tiar,
“Misalnya anak-anak kita nonton Little Khrisna kan tidak ujug-ujug mereka berubah jadi Hindu atau berkultur India, tidak demikian. Begitu pun Nusa Rara, ada pengaruhnya pada budaya, tetapi tidak akan sepenuhnya mengubah orang-orang.”
Busana dalam film Nussa dan Rara adalah simbolisasi budaya yang memberikan suatu pesan bahwa Nussa dan Rara adalah seorang muslim. Tiar menilai bahwa Denny siregar terlalu phobia (parno).
Berbeda dengan Denny dan Aminah, menurut Monetta B. Syahara dalam skripsinya di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga yang berjudul, “Analisis dan Strategi Dakwah Berbusana Muslim dan Muslimah di Dalam Film Nussa Pada Akun Youtube Nussa Official”, bahwa film animasi tersebut mengandung pesan dakwah, baik yang terang-terangan mendidik anak dengan pendidikan Islam yang baik, seperti mengajarkan adab berdoa; makan; dan lain-lainya. Namun juga, menyiratkan pesan dakwah tidak langsung yaitu menutup aurat dan beradab ketika berbusana. Selain itu menurut Monetta, sosok Nussa menampilkan a symbol of hope yaitu simbol sebuah harapan. Nussa yang tidak sempurna kaki kirinya mengunakan kaki palsu. Bahkan menurut Adittoro, dalam wawancaranya di sebuah acara televisi, bahwa sosok Nussa dapat mengubah cara pandang orang-orang pada penyandang disabilitas.
Pro kontra yang terjadi terkait Nussa dan Rara tiada lain adalah permainan –untuk tidak menyebut pertarungan- tanda. Menurut Sebeok dalam bukunya, An Introduction to Semiotic, kehidupan intelektual dan sosial manusia didasarkan pada produksi, penggunaan, dan pertukaran tanda dan representasi. Saat kita memberi isyarat, berbicara, menulis, membaca, menonton acara TV, mendengarkan musik, melihat sebuah lukisan, dll. kita terlibat dalam perilaku representatif berbasis tanda (2001: 8). Menurut Ratna, kehidupan manusia dipenuhi oleh tanda, dengan perantaraan tanda-tanda proses kehidupan menjadi lebih efisien, dengan perantaraan tanda-tanda manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya, sekaligus mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia, dengan demikian manusia adalah homo semioticus, makhluk tanda (2015: 97). Tapi di sisi lain, sebab tanda pula manusia kemudian bersilang pendapat dan berselisih paham.
Dalam konteks kebudayaan, tentu saja tidak hanya tanda yang menyebabkan manusia berbeda pendapat. Faktor lainnya yang membuat perbedaan itu adalah arena (lé champ) tanda yang mengitarinya, seperti diungkapkan oleh Pierre Bourdieu dalam field theory miliknya. Arena (le champ) yang dimaksud adalah akumulasi modal (capital) yang dimiliki oleh komunitas epistemik dalam masyarakat. Modal itu mencakup ekonomi; kultural; sosial; dan simbolisasi atau penandaan (Grenfell, Pierre Bourdieu: Key Concepts, 2014: 67).
Terkait yang disebut terakhir, simbolisasi atau penandaan, Bourdieu menyebut bahwa ia memiliki “kekuatan” yang disebut dengan symbolic power (kekuatan penandaan). Di mana hal itu berpengaruh pada bagaimana masyarakat memandang kebudayaan itu sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat. Seperti halnya kita menyebut sesuatu hal menjadi melekat dengan identitas tertentu. Tentu beserta penilaian baik dan buruknya.
Kekuatan penandaan adalah kekuatan untuk membangun realitas, dan yang cenderung membentuk tatanan gnoseologis: makna langsung dunia (dan khususnya dunia sosial) bergantung pada apa yang disebut Durkheim sebagai konformisme logis, yaitu, ‘konsepsi homogen waktu, ruang, jumlah dan sebab, yang memungkinkan berbagai intelek mencapai kesepakatan’ (Bourdieu, Language and Symbolic Power, 1991: 166).
Nussa dan Rara dalam tampilan animasinya sudah bagus, setara dengan animasi yang populer dari negeri jiran sana, maka perlu diapresiasi. Terlebih konten-konten yang dihadir-kan tidak sedikit yang membantu para orang tua atau guru ngaji untuk menjadikannya media pendamping anak untuk mempelajari nilai-nilai agama. Soal pakaian atau pun karakter yang dianggap tidak mencerminkan muslim di Indonesia tentu ini hanya sekedar permainan tanda yang sengaja dimainkan untuk membuat citra animasi bernuansa dakwah ini menjadi buruk. Perlu usaha lebih untuk kemudian membuat kesepakatan penandaan bahwa pakaian tertentu dapat disebut radikal. Toh, yang menuduh radikal pun dirinya sendiri pada akhirnya radikal dengan tidak bisa menerima perbedaan. Sungguh kekanak-kanakkan.
Isu murahan seperti tidak mencerminkan ke-Indonesiaan tentu saja tertolak dengan sendirinya lewat dua hal. Pertama, Nussa dan Rara menggunakan bahasa Indonesia yang baik serta ada pada ruang lingkup budaya Indonesia yang kental. Kedua, masih banyak kartun atau animasi di Indonesia yang justru tidak mencerminkan karakter muslim atau Indonesia sama sekali, bahkan cenderung mempengaruhi anak-anak melakukan kekerasan dan acuh dengan dunia sekitarnya. Adapun soal role model yang memaksakan dengan tak pernah melakukan kesalahan tentu perlu menonton lagi animasinya dan perbanyak membaca buku-buku tentang fiksi dan apresiasi sastra.
Setelah Nussa dan Rara mungkin bisa kita tunggu nanti akan ada animasi dakwah yang dapat mencerminkan karakter muslim ‘khas’ Indonesia. Mungkin bisa kita tunggu dari Denny dan konco-konconya. Terlepas dari pandangan boleh tidaknya menjadikan gambar hidup sebagai media dakwah, tentu saja yang paling utama bagi pendidikan anak adalah bimbingan orang tua.
Muhammad Akmal Firmansyah dan Hayatul Fauji