وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (155) الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (156) أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ (157)
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar; (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raji’un“. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-Baqarah [2]: 155-157)
Jatuhnya kapal Sriwijaya yang menyebabkan seluruh penumpangnya tewas; longsornya di daerah Sumedang yang menyebabkan rumah dan harta mereka tertimbun tanah; dan meninggalnya ulama dan da’i asal Madinah, Syeikh Ali Jaber, yang menyebabkan seluruh masyarakat Indonesia berduka cita, ketiga musibah itu terjadi di Indonesia pada bulan yang sama, Februari lalu. Adalah menyadarkan kepada kita semua bahwa musibah –apapun bentuknya- adalah sebuah keniscayaan yang akan menimpa siapa saja. Dan al-Qur’an telah mengingatkan hal ini. Bahwa antara bentuk musibah yang Allah sebutkan dalam al-Qur’an adalah ketakutan, kelaparan, kefaqir-miskinanan, dan kehilangan harta dan jiwa, semuanya akan menimpa kita semua. Serta tidak ada cara lain untuk menghindari semua itu kecuali tabah dalam menghadapinya. Karena tabah adalah salah satu bentuk sabar yang Allah janjikan kebahagiaan bagi pelakunya.
Ujian Hidup
Tidak ada seorang manusia pun yang lahir ke dunia ini tanpa ujian. Ia terlahir dan hidup dengan berlumuran ujian. Apapun yang menimpa manusia; baik suka cita maupun duka cita; kebahagiaan maupun kesedihan; kelapangan maupun kesempitan; sehat maupun sakit, semuanya adalah ujian yang diperuntukan khusus bagi manusia yang masih hidup. Selama manusia hidup, ujian-ujian itu pasti akan menimpanya. Dan itulah yang dinamakan ujian hidup.
Namun kebanyakan manusia, termasuk saya, akan lebih memilih suka cita daripada duka cita; akan lebih memilih kebahagiaan daripada kesedihan; akan lebih memilih kelapangan daripada kesempitan; dan akan lebih memilih sehat daripada sakit, tanpa menyadari bahwa itu semua pun adalah ujian. Kita baru menganggap itu ujian jika yang menimpa kita itu berbentuk duka cita, kesedihan, kesempitan, dan sakit. Padahal kedua-duanya pun merupakan ujian.
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ (35)
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.(QS. Al-Anbiya [21]: 35)
Berkenaan dengan ayat di atas, Ibnu Katsir menjelaskannya sebagai berikut:
وقوله تعالى: {وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً} أَيْ نَخْتَبِرُكُمْ بِالْمَصَائِبِ تارة، وبالنعم أخرى، فننظر من يشكرومن يكفر، ومن يصبر ومن يقنط، قال ابْنِ عَبَّاسٍ: {وَنَبْلُوكُمْ} يَقُولُ: نَبْتَلِيكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً، بِالشِّدَّةِ وَالرَّخَاءِ، وَالصِّحَّةِ والسَّقَم، وَالْغِنَى وَالْفَقْرِ، وَالْحَلَالِ وَالْحَرَامِ، وَالطَّاعَةِ وَالْمَعْصِيَةِ، وَالْهُدَى وَالضَّلَالِ
Dan firmannya Ta’ala: “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan”. Yaitu sesekali Kami akan mengujimu dengan musibah dan sesekali Kami akan mengujimu dengan kenikmatan-kenikmatan; lalu Kami akan melihat siapa yang bersyukur siapa yang kufur; siapa yang sabar siapa yang putus asa. Ibnu Abbas berkata, “Kami menguji kamu”. Yaitu Kami akan menguji kepada kamu dengan kaburukan dan kebaikan; kesusahan dan kesejahteraan; sehat dan sakit; kaya dan fakir; halal dan haram; taat dan maksiat; serta petunjuk dan kesesatan, semua itu adalah sebagai ujian bagi manusia”. (Tafsir Ibn Katsir)
Oleh karenanya, sebagai manusia kita tidak mungkin terlepas dari yang namanya ujian; dan bahkan lari darinya pun kita tidak akan mampu. Satu-satunya cara adalah dengan menghadapinya. Dan cara menghadapinya hanyalah dengan bersyukur tatkala musibah itu dalam bentuk suka cita dan seterusnya; dan dengan bersabar tatkala musibah itu dalam bentuk duka cita dan seterusnya.
Bersyukur
Syukur itu menurut ar-Raghib al-Ashfahani adalah mengekspresikan kenikmatan (tashawwur an-ni’mah wa idzharuha). Dan mengekspresikan kenikmatan itu bisa diimplementasikan dengan tiga cara, yaitu syukrul qalbi, syukrul lisan, dan syukrul jawarih. (Mu’jam Mufradat al-Fadzil Qur’an, 2008: 298)
Syukrul qalbi atau bersyukur dengan hati yaitu gambaran kebahagiaan hati ketika mendapatkan sebuah kenikmatan yang Allah berikan kepada kita. Syukrul lisan atau bersyukur dengan lisan yaitu senantiasa memuji Allah ketika mendapatkan sebuah kenikmatan yang Allah berikan kepada kita. Dan syukrul jawarih atau besyukur dengan tubuh yaitu meningkatkan kualitas ibadah badaniyyah sebagai wujud syukur kepada Allah swt. Pada tahap syukrul jawarih inilah Nabi saw mengimplementasikannya. Sampai-sampai kedua kaki Nabi bengkak gara-gara ibadahnya saking lama. Sebagaimana yang digambarkan dalam hadits berikut:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُومُ مِنْ اللَّيْلِ حَتَّى تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُ فَقَالَتْ عَائِشَةُ لِمَ تَصْنَعُ هَذَا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَقَدْ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ قَالَ أَفَلَا أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ عَبْدًا شَكُورًا فَلَمَّا كَثُرَ لَحْمُهُ صَلَّى جَالِسًا فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ قَامَ فَقَرَأَ ثُمَّ رَكَعَ
Dari ‘Aisyah radhiya-‘Llahu ‘anha bahwa Nabi shalla-‘Llahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat malam sampai kedua kakinya bengkak. Lalu ‘Aisyah bertanya, “Kenapa ya Rasulullah, kamu melakukan ibadah seperti ini? Padahal Allah telah mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan datang”. Nabi menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur”. (Shahih al-Bukhari no. 4837)
Nabi saw sebagai suri tauladan kita memberikan teladan baik dalam bersyukur kepada Allah swt secara paripurna. Dikatakan paripurna karena ketiga bentuk syukur di atas diamalkan oleh Nabi secara bersamaan. Hal ini berbeda dengan kita, dimana syukur yang kita implementasikan belum paripurna. Dikatakan belum paripurna karena kita hanya mengamalkannya pada tahap syukrul qalbi dan syukrul lisan, belum dengan syukrul jawarih secara bersamaan. Bahkan jika kita selidiki, syukur versi masyarakat kita biasanya dilakukan dengan cara poya-poya; dalam rangka syukuran maka kita mengadakan tasyakuran dengan cara makan-makan; dalam rangka syukuran maka kita menraktir teman-teman kita untuk makan di restoran yang mahal; dalam rangka syukuran maka kita mengajak keluarga untuk liburan; dan seterusnya. Syukuran seperti ini tentu saja jauh dengan tuntunan al-Qur’an dan al-Hadits. syukuran seperti ini erat dengan hedonisme.
Bersabar
Sabar menurut ar-Raghib al-Ashfahani adalah menahan diri dari kepahitan hidup, kesengsaraan, duka cita, dan kesengsaraan hidup berdasarkan tuntunan akal dan syariat. Sabar juga menurutnya adalah lafadz yang memiliki multi-makna (lafdzun ‘am). Maknanya bisa berubah-rubah berdasarkan situasi dan kondisi lafadz saat ia digunakan. Jika sabar digunakan dalam konteks musibah maka ia dinamakan dengan shabran (sabar) dan kebalikannya adalah al-jaz’u (resah; cemas; gelisah); jika kata sabar digunakan dalam konteks perang maka ia dinamakan dengan syaja’ah (keberanian) dan kebalikannya adalah al-jubnu (penakut); dan jika kata sabar digunakan dalam konteks bencana maka ia dinamakan dengan rahbas-shadri (tabah) dan kebalikannya adalah dhajara (berkeluh kesan). (Mu’jam Mufradat al-Fadzil Qur’an, 2008: 306)
Dengan demikian, jika sabar digunakan dalam konteks musibah bisa dipahami sebagai sikap tabah dalam menghadapi musibah tanpa berkeluh kesah sedikit pun. Dan di antara sikap tabah ialah mampu menerima kondisi yang tidak menyenangkan hati sembari menyadari bahwa apa yang menimpa dirinya berasal dari Allah swt dan meyakini bahwa apa yang menimpa dirinya dan bahkan dirinya sekalipun, akan kembali lagi kepada Allah swt. Inilah makna inna li-‘Llahi wa inna ‘ialahi raji’un. (Tafsir Ibn Katsir)
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (155) الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (156) أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ (157)
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar; (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun“. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-Baqarah [2]: 155-157)
Ayat di atas yang menegaskan bahwa Allah akan menguji manusia, terkhusus orang-orang yang beriman dengan sedikit rasa takut, sedikit rasa lapar, sedikit kekurangan harta, dan seterusnya. Artinya, musibah yang menimpa kita baik dalam bentuk apapun pada hakikatnya adalah sedikit saja jika dibandingkan dengan kenikmatan yang menimpa kita. Maka alangkan kurang ajarnya kita jika kita tidak mampu bersyukur sekaligus tidak mampu bersabar. Oleh karenanya Nabi saw menyatakan bahwa semua urusan orang mukmin itu seluruhnya baik; jika ia mampu bersyukur di saat kenikmatan menimpanya dan jika ia mampu bersabar saat musibah datang kepadanya.
عَنْ صُهَيْبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ ».
Dari Shuhaib ia berkata, “Rasulullah shalla-‘Llahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Begitu menakjubkan urusan orang mukmin itu bahwa seluruh urusannya adalah kebaikan. Dan tidak ada orang pun dapat seperti itu kecuali orang mukmin; jika kebahagiaan menimpanya ia bersyukur dan itu merupakan kebaikan baginya; dan jika kesusahan menimpanya ia bersabar dan itu pun merupakan kebaikan baginya”. (Shahih Muslim no. 7692)
Wa-‘Llahu A’lam