Jika istilah taqlid umumnya dikaitkan dengan keyakinan orang-orang dahulu (nenek moyang) atau pendapat para ulama, maka di masa modern yang khas dengan civil society (masyarakat sipil)-nya seperti saat ini ada satu varian baru taqlid yakni taqlid organisasi.
Dalam kaidah yang sudah berlaku di civil society, sebuah organisasi masyarakat atau politik didirikan untuk ditaati oleh anggotanya tanpa terkecuali. Sanksi organisasi menanti siapa saja yang berani menyalahi aturan organisasi. Mereka yang sudah tidak siap menaati organisasi dipersilahkan untuk meninggalkan organisasi yang dihuninya sebelum sanksi organisasi jatuh kepadanya.
Jika aturan ketat organisasi tersebut berlaku dalam hal keorganisasian maka sebenarnya tidak ada masalah. Akan tetapi jadi masalah jika aturan ketat tersebut diberlakukan dalam fiqih, khususnya fiqih ibadah. Ketika aturan organisasi tersebut diberlakukan maka akan muncul satu varian taqlid baru yakni taqlid organisasi. Taqlid yang ini lebih kejam dan sadis daripada taqlid madzhab fiqih itu sendiri. Jika dalam madzhab fiqih taqlid berjalan secara alami tanpa paksaan, melainkan didasarkan pada kepercayaan sepenuhnya pada keilmuan seorang ulama madzhab, maka dalam taqlid organisasi wujudnya lebih kasar karena taqlidnya dipaksakan dan disertai ancaman akan diberi sanksi organisatoris jika berani menyalahinya.
Hal inilah yang dirasakan anggota Muhammadiyah, PKS, HTI, atau Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia ketika organisasi mereka menetapkan hari raya Idul-Adlha berbeda dengan yang ditetapkan oleh Pemerintah melalui siding itsbat. Di satu sisi banyak yang meyakini berdasarkan ilmu bahwa penetapan hari raya adalah wilayah kewenangan Ulil-Amri yang dalam hal ini Pemerintah RI melalui siding itsbat, dan organisasi-organisasi di Indonesia wajib menaatinya, tetapi di sisi lain organisasi-organisasi yang mereka huni malah menetapkan keputusan yang berbeda dengan Pemerintah RI. Ilmu mereka menyatakan harus ikut Pemerintah RI tetapi ketakutan mereka akan sanksi organisasi memaksa mereka untuk ikut keputusan organisasi. Jadinya warga organisasi dipaksa untuk mengkhianati ilmu mereka sendiri. Ini jelas berbahaya untuk keselamatan aqidah dan ibadah umat Islam.
Hal yang tidak jauh berbeda pasti dirasakan oleh warga Muhammadiyah dalam hal penetapan waktu shubuh ditambah 8 menit. Di satu sisi ada di antara mereka yang lebih mempercayai otoritas peneliti LAPAN, Bosscha ITB, dan pakar astronomi lainnya, tetapi di sisi lain mereka dipaksa untuk ikut keputusan organisasi mereka. Maka terjadilah taqlid organisasi yang berbahaya terhadap aqidah dan ibadah mereka sendiri. Padahal aqidah dan ibadah harus didasarkan pada ilmu, bukan pada ketakutan sanksi organisasi.
Dalam hal ini semua organisasi Islam dituntut untuk bijak dengan tidak mencipatakan aturan bid’ah wajib mengikuti fiqih organisasi. Ironinya beberapa organisasi tersebut malah menyatakan tidak mengikatkan diri pada madzhab apapun. Akan tetapi nyatanya mereka melepaskan diri dari ikatan madzhab dan malah masuk pada ikatan organisasi yang lebih mengekang, kaku, dan kasar. Tetapkanlah fiqih pada habitatnya sesuai syari’at. Boleh dijadikan pilihan oleh umat mana pun berdasarkan ilmu mereka. Ketika umat memilih salah satu fiqih, termasuk fiqih yang berbeda dengan organisasi yang dihuninya, tidak perlu ada sanksi organisasi, melainkan harus disuburkan budaya toleransi sebagaimana sudah menjadi tabi’at fiqih dari sejak era salaf.