Ada yang menjelaskan bahwa Salaf menilai i’tikaf bukan sunnah, karena tidak diamalkan oleh mayoritas shahabat dan tabi’in. Apakah benar demikian?
0812-2081-xxxx
Tidak dinafikan ada sebagian ulama salaf yang menilai bahwa i’tikaf bukan sunnah. Pendapat demikian merupakan bagian dari ikhtilaf dalam fiqih. Ikhtilaf (perbedaan pendapat, fiqih, atau ijtihad) di kalangan para ulama sendiri merupakan sifat yang sudah mendarah daging bagi fiqih, tentunya dalam masalah-masalah yang masuk wilayah ijtihad atau yang al-Qur`an dan Sunnah sendiri tidak memberikan perincian yang detail. Untuk wilayah-wilayah yang pasti seperti jumlah raka’at shalat wajib, kewajiban zakat mal dan fithri, haramnya riba, dan semacamnya, tidak mungkin ditemukan ikhtilaf. Sikap umat Islam dalam menghadapi ikhtilaf hanya dipersilahkan memilih satu pendapat yang dinilainya lebih kuat, seraya tetap menghargai pendapat lainnya yang berbeda tanpa vonis sesat, kafir atau bid’ah. Selama pendapat yang berbeda masih berdasarkan pada al-Qur`an, hadits, atau ijtihad ulama sebelumnya, maka itu termasuk ijtihad yang Nabi saw sendiri pun menjaminnya akan mendapatkan pahala minimal satu (Sunan at-Tirmidzi kitab al-ahkam bab al-qadli yushibu wa yukhthi`u no. 1326).
Pendapat bahwa i’tikaf bukan sunnah disampaikan oleh Imam Malik. Ibn Nafi’ meriwayatkan pernyataan Imam Malik sebagai berikut:
فَكَّرْتُ فِي الِاعْتِكَافِ وَتَرْكِ الصَّحَابَةِ لَهُ مَعَ شِدَّةِ اتِّبَاعِهِمْ لِلْأَثَرِ فَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهُ كَالْوِصَالِ وَأَرَاهُمْ تَرَكُوهُ لِشِدَّتِهِ وَلَمْ يَبْلُغْنِي عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ أَنَّهُ اعْتَكَفَ إِلَّا عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
Saya memikirkan tentang i’tikaf mengapa para shahabat meninggalkannya, padahal mereka selalu mengikuti jejak langkah Nabi saw. Saya menduga bahwa i’tikaf itu seperti shaum wishal (hanya khusus bagi Rasul saw—pen). Saya juga memandang bahwa mereka meninggalkannya saking beratnya i’tikaf. Tidak ada laporan yang sampai kepadaku bahwa ada seorang dari kalangan salaf (generasi awal) yang i’tikaf, selain yang dikemukakan oleh Abu Bakar ibn ‘Abdirrahman (Fathul-Bari bab al-i’tikaf fil-‘asyril-awakhir).
Pernyataan Imam Malik di atas tentu tidak boleh dijadikan dalil, melainkan sebatas pendapat biasa, sehingga tidak dijadikan rujukan amal selama ada dalil yang jelas membantahnya. Imam Malik sendiri diriwayatkan pernah berkata: “Tidak ada seorang pun yang boleh diambil dan ditinggalkan pendapatnya melainkan penghuni kuburan ini,” sambil menunjuk pada makam Nabi saw. Jadi karena pendapat di atas dari Imam Malik, bukan dari Nabi saw, berarti boleh ditinggalkan.
Sudah maklum bahwa Imam Malik seringkali menjadikan amal penduduk Madinah sebagai rujukan madzhabnya. Maka dari itu tidak heran kalau beliau juga menilai shaum Syawwal makruh dan dikhawatirkan menjadi bid’ah gara-gara beliau tidak melihat ada ulama salaf yang mengamalkannya
وَقَالَ يَحْيَى: سَمِعْتُ مَالِكاً يَقُولُ، فِي صِيَامِ سِتَّةِ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ: إِنَّهُ لَمْ يَرَ أَحَداً مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ وَالْفِقْهِ يَصُومُهَا. وَلَمْ يَبْلُغْنِي ذلِكَ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ. وَإِنَّ أَهْلَ الْعِلْمِ يَكْرَهُونَ ذلِكَ، وَيَخَافُونَ بِدْعَتَهُ. وَأَنْ يُلْحِقَ بِرَمَضَانَ مَا لَيْسَ مِنْهُ، أَهْلُ الْجَهَالَةِ وَالْجَفَاءِ. لَوْ رَأَوْا فِي ذلِكَ رُخْصَةً عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ. وَرَأَوْهُمْ يَعْمَلُونَ ذلِكَ
Yahya berkata: Aku mendengar Malik berkata tentang shaum enam hari sesudah fithri dari Ramadlan bahwasanya ia tidak pernah melihat seorang ahli ilmu dan fiqih mengamalkan shaumnya. Tidak ada yang sampai kepadaku tentang hal itu dari seorang salaf pun. Para ulama membenci hal itu dan mengkhawatirkan bid’ahnya. Juga khawatir orang-orang bodoh dan keras melekatkan pada Ramadlan apa yang bukan bagian dari Ramadlan seandainya mereka melihat ada keringanan dalam hal itu di kalangan ulama atau melihat para ulama mengamalkan hal itu (Muwaththa` Malik kitab as-shiyam bab jami’ as-shiyam).
Akan tetapi Imam as-Syafi’i dan Ahmad membantahnya dengan tegas, karena jelas shaum Syawwal itu ada riwayatnya yang shahih. Ketika suatu hadits shahih, maka meskipun tidak diamalkan oleh mayoritas ulama tidak kemudian menjadikannya makruh dan bid’ah, melainkan tetap sebagai sunnah. Demikian dua imam madzhab itu menegaskannya.
وَدَلِيل الشَّافِعِيّ وَمُوَافِقِيهِ هَذَا الْحَدِيث الصَّحِيح الصَّرِيح، وَإِذَا ثَبَتَتْ السُّنَّة لَا تُتْرَكُ لِتَرْكِ بَعْضِ النَّاسِ أَوْ أَكْثَرِهِمْ أَوْ كُلِّهِمْ لَهَا، وَقَوْلهمْ: قَدْ يُظَنّ وُجُوبهَا، يُنْتَقَض بِصَوْمِ عَرَفَة وَعَاشُورَاء وَغَيْرهمَا مِنْ الصَّوْم الْمَنْدُوب
Dalil Imam as-Syafi’i dan yang sepakat dengannya adalah hadits shahih sharih ini. Jika suatu sunnah sudah tetap, maka tidak boleh ditinggalkan karena sebagian, atau mayoritas, atau bahkan keseluruhannya meninggalkannya. Pendapat mereka tentang dikhawatirkan wajibnya terbantah oleh shaum ‘Arafah dan ‘Asyura juga shaum sunat lainnya (yang tetap saja hukumnya sunat dan tidak berubah jadi wajib hanya karena dirutinkan—pen) (Syarah an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim kitab as-shiyam bab istihbab shaum sittah ayyam min Syawwal ittiba’an li Ramadlan).
Sebagaimana dinyatakan oleh Imam Malik sendiri di atas, kemungkinan besar ulama salaf tidak mengamalkannya karena berat, bukan karena tidak dikategorikan sunnah. Ini berarti sama dengan shalat qabla Maghrib yang jelas ada dalilnya; dianjurkan oleh Nabi saw dan diamalkan shahabat di masanya, tetapi kemudian tidak diamalkan di zaman shahabat karena sibuk.
أَنَّ عُقْبَةَ بْنَ عَامِرٍ سُئِلَ عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ فَقَالَ كُنَّا نَفْعَلُهُمَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ قِيلَ لَهُ فَمَا يَمْنَعُكَ الْآنَ قَالَ الشُّغْلُ فَلَعَلَّ غَيْرَهُ أَيْضًا مَنَعَهُ الشُّغْلُ
Bahwasanya ‘Uqbah ibn ‘Amir ditanya tentang dua raka’at sebelum Maghrib. Ia menjawab: “Kami biasa mengerjakannya pada zaman Nabi saw.” Ia lalu ditanya lagi: “Lalu apa yang menyebabkanmu sekarang tidak mengerjakannya?” Ia menjawab: “Sibuk.” (al-Hafizh Ibn Hajar berkata:) “Maka bisa jadi shahabat lainnya juga tidak mengerjakannya karena sibuk.” (Fathul-Bari bab kam bainal-adzan wal-iqamah).
Jadi, shahabat yang tidak mengamalkannya karena kesibukan dan berat mengamalkannya tidak menjadi dalil bahwa i’tikaf bukan sunnah, sebab faktanya i’tikaf berbeda dengan shaum wishal (terus-menerus tanpa buka dan sahur) yang Nabi saw sendiri menyatakan itu khusus bagi beliau. Sementara i’tikaf, Nabi saw menganjurkannya, pada zaman Nabi saw banyak shahabat yang mengamalkannya, demikian pula istri-istri Nabi saw mengamalkannya sepeninggal beliau saw.
فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ. فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ
“Maka siapa di antara kalian yang ingin beri’tikaf (bersamaku), maka i’tikaflah.” (Abu Sa’id berkata:) Orang-orang pun beri’tikaf bersama beliau (Shahih Muslim kitab as-shaum bab fadlli lailatil-qadri no. 2828).
كَانَ النَّبِيُّ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Nabi saw beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadlan sampai Allah mewafatkannya. Kemudian setelah itu istri-istri Nabi beri’tikaf. (Shahih al-Bukhari kitab al-i’tikaf bab al-i’tikaf fil-‘asyril-awakhir no. 1922).
Maka dari itu, Ibnul-‘Arabi mengatakan: “Innahu sunnah muakkadah; i’tikaf itu sunnah muakkadah (yang sangat dianjurkan).”
Ibn Bathal berkata:
فِي مُوَاظَبَة النَّبِيّ مَا يَدُلُّ عَلَى تَأْكِيدِهِ
“Rutinnya Nabi saw i’tikaf menjadi dalil bahwa i’tikaf itu muakkad (sangat dianjurkan).”
Imam Ahmad berkata:
لَا أَعْلَمُ عَنْ أَحَد مِنْ الْعُلَمَاءِ خِلَافًا أَنَّهُ مَسْنُونٌ
“Saya tidak tahu ada seorang ulama pun yang menyatakan berbeda bahwa i’tikaf adalah sunnah.” (Fathul-Bari bab al-i’tikaf fil-‘asyril-awakhir).
Sementara itu az-Zuhri, seorang ulama Tabi’in berkata:
عَجَباً مِنَ النَّاسِ، كَيْفَ تَرَكُوا الْاِعْتِكَافَ وَرَسُوْلُ اللهِ كَانَ يَفْعَلُ الشَّيْءَ وَيَتْرُكُهُ، وَمَا تَرَكَ الْاِعْتِكَافَ حَتَّى قُبِضَ
“Sungguh aneh orang-orang ini, bagaimana mungkin mereka meninggalkan i’tikaf. Padahal untuk amal sunat yang lain Rasul saw adakalanya mengamalkannya dan meninggalkannya. Tetapi untuk i’tikaf, Rasul saw tidak pernah meninggalkannya sampai wafatnya.” (al-Fiqhul-Islami wa Adillatuhu 2 : 611 mabhats: ta’rif al-i’tikaf wa masyru’iyyatuhu).
Wal-‘Llahu a’lam.