Karena Kita Terbawa Arus Sekularisme - Majalah Islam Digital Tafaqquh

Karena Kita Terbawa Arus Sekularisme

2 years ago
1221

Kebingungan menjalankan pendidikan di masa pandemi ini semestinya tidak ada jika kita semua; para guru dan orangtua, menyadari sepenuhnya hakikat pendidikan dalam Islam. Pendidikan itu adalah usaha untuk melahirkan “manusia yang baik”, bukan “warga Negara yang baik”. Manusia yang baik menurut Allah, bukan warga Negara yang baik menurut Negara. Manusia yang baik pasti bisa menjadi warga Negara yang baik, tetapi tidak berlaku sebaliknya. Sangat banyak orang-orang yang dijadikan pahlawan oleh Negaranya tetapi mereka sebenarnya bukan orang-orang yang baik.

Manusia yang baik itu adalah seorang khalifah di muka bumi. Ia sanggup memegang amanah Allah untuk menegakkan agama-Nya di bumi (QS. 33 : 73) dan mampu memimpin sekaligus menetapkan hukum dengan adil (QS. 38 : 26). Ia mampu menjadi ulama dalam bidang agama (QS. 26 : 197), sekaligus ulama dalam bidang sains yang diperlukannya (QS. 35 : 28). Ia menguasai ilmu-ilmu fardlu ‘ain (syari’ah) sekaligus ilmu-ilmu fardlu kifayah (non-syari’ah; IPA, IPS, Bahasa, Matematika) sesuai kapasitasnya. Maka ilmu sains yang dikuasainya tidak melupakannya dari rutinitas tilawah al-Qur`an, shalat, dan infaq (QS. 35 : 29).

Untuk menghasilkan manusia yang baik tidak wajib menempuh pendidikan formal di sekolah atau perguruan tinggi, meski pendidikan formal itu jalur pendidikan yang sangat penting untuk ditempuh. Manusia yang baik harus bisa dilahirkan juga melalui pendidikan non-formal dan informal. Manusia yang baik tidak ditandakan dengan menguasai satuan kurikulum tertentu di kelas tertentu yang jika itu tidak tercapai dan ujian akhir semester pun hasilnya tidak menggembirakan berarti seseorang sudah dinyatakan gagal sebagai manusia yang baik. Kurikulum formal hanya satu bentuk ikhtiar untuk menghasilkan manusia yang baik, tetapi bukan satu-satunya barometer untuk menilai manusia yang baik.

Sistem pendidikan formal murni produk modernisasi yang lahir dari ideologi sekularisme dan positivisme. Semua praktisi pendidikan muslim (tenaga pendidik dan orangtua) sudah semestinya tidak terbawa arus sekularisme tersebut sepenuhnya. Tidak kaku dengan target kurikulum yang jauh dari nilai-nilai agama, melainkan fleksibel dan tetap mampu membimbing para peserta didik untuk menjadi manusia baik bagaimanapun kurikulumnya. Masa pandemi ini sudah semestinya dijadikan momentum untuk mengingat kembali hakikat pendidikan dalam Islam, sehingga kita semua bisa tetap menjalankan pendidikan sebagaimana diajarkan Islam.

Masjid, kuttab (madrasah/kobong), dan rumah sudah lama diabaikan sebagai pusat pendidikan Islam. Ada baiknya juga ketika kegiatan pendidikan di sekolah dilarang, pusat-pusat pendidikan Islam masa lalu tersebut diaktifkan kembali sebagai pusat pendidikan. Jumlahnya lebih dari cukup untuk menampung semua peserta didik. Bahkan ada nilai plusnya karena guru dan peserta didik bisa lebih didekatkan lagi ke masjid. Rumah-rumah juga tidak hanya menjadi bangunan yang kering dari ruh pendidikan, melainkan hidup dengan kegiatan-kegiatan pendidikan.

Leave a Reply

Your email address will not be published.