Kepalsuan dalih tidak mungkin mengembangkan usaha tanpa pinjaman riba semakin tersingkap. Alasan yang mengada-ada bahwa memiliki rumah melalui kredit riba adalah kedaruratan semakin terlihat bohongnya. Hawa nafsu yang terlalu besar untuk segera memiliki kendaraan semakin terlihat nyatanya di balik dalih pembenaran kredit kendaraan bermotor ribawi.
Itu semua berkat tampilnya para aktivis anti-riba di berbagai pelosok negeri ini. Mereka rata-rata bukan ulama atau asatidz, melainkan para pengusaha muda atau kalangan menengah ke atas yang berhijrah dari riba menuju syari’ah. Mereka berhasil membuktikan bahwa tanpa riba usaha dan bisnis masih bisa dijalankan, bahkan dengan lebih berkah. Sebab yang menyibukkan mereka bukan lagi membayar cicilan ini dan itu, melainkan shadaqah dan infaq kepada ini dan itu, yang jauh lebih besar daripada cicilan utang yang biasa dibayarkan kalangan menengah atas kepada rentenir berdasi. Masih tidak berminat ikut rombongan muhajirin ‘zaman now’ ini?
Kepada para shahabat yang sudah mengamalkan hijrah dari Makkah ke Madinah, Nabi saw mengingatkan bahwa ada tuntunan hijrah lainnya yang masih harus senantiasa diamalkan sepanjang hayat. Hijrah yang ini bukan sebatas hijrah tempat, melainkan hijrah amal dari semua yang dilarang Allah swt, dan dari semua maksiat dan munkar yang tersembunyi atau terang-terangan.
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ
Orang Muslim itu adalah orang yang muslim-muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya. Sedangkan muhajir (orang yang hijrah) itu adalah orang yang menjauhi apa yang dilarang Allah (Shahih al-Bukhari kitab al-iman bab al-muslim man salima al-muslimun no. 9).
الْمُؤْمِنُ مَنْ أَمِنَهُ النَّاسُ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ الْخَطَايَا وَالذُّنُوبَ
Orang mu`min itu adalah orang yang orang-orang lainnya merasa aman dalam hal harta dan jiwa mereka dari (gangguan)-nya. Sementara muhajir adalah orang yang menjauhi kesalahan dan dosa (Sunan Ibn Majah kitab al-fitan bab hurmah damil-muslimin wa malihi no. 3924).
الْهِجْرَةُ أَنْ تَهْجُرَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ
Hijrah adalah kamu menjauhi perbuatan nista, baik yang tampak atau tersembunyi, mendirikan shalat dan menunaikan zakat (Musnad Ahmad bab musnad ‘Abdillah ibn ‘Amr no. 6798).
Dalam konteks umat Islam Indonesia hari ini yang umumnya secara sadar terlibat dengan riba, hadits-hadits di atas seyogianya mengingatkan diri bahwa hijrah itu tidak hanya untuk masa Nabi saw dan para shahabat ketika mereka dijajah oleh orang kafir Quraisy. Hijrah juga berlaku bagi mereka yang masih berjalin kelindan dengan riba untuk segera melepaskan diri darinya. Alasan-alasan klasik karena terpaksa, belum mampu, dan semacamnya harus segera diakhiri dengan berbagai pertimbangan:
Pertama, alasan terpaksa, hajat (karena kebutuhan), atau bahkan dlarurat, seringkali hanya sebagai kebohongan semata. Sebab jika hanya karena “kebutuhan” pada faktanya masyarakat Jahiliyyah juga berinteraksi dengan riba itu karena mendesak atau terdesak oleh keperluan, dan karena kebutuhan yang harus mereka penuhi sesegera mungkin. Tidak ada seorang pun dari mereka yang hidupnya tertawan oleh riba hanya untuk “gagah-gagahan” seperti halnya masyarakat modern saat ini, mengingat perbankan belum ada pada zaman itu. Mereka umumnya terpaksa meminjam dengan riba karena kebutuhan. Tetapi tetap saja semua itu tidak menjadikan riba halal. Allah swt tetap tegas menyatakannya haram. Maka dari itu alasan hajat sangat tidak relevan untuk dijadikan alasan dalam riba.
Paling yang masih relevan adalah alasan dlarurat karena memang disebutkan dalam al-Qur`an. Tetapi makna dlarurat-nya jangan disesuaikan dengan hawa nafsu, melainkan ditempatkan berdasarkan syari’at. Dlarurat itu berlaku ketika dipaksa, sebab al-Qur`an menyebutnya ghaira baghin; bukan karena ingin. Jika alasannya “terpaksa”, ini selalu bias, karena di baliknya selalu saja ada motif “ingin”; ingin segera mengembangkan usaha, ingin segera memiliki rumah, ingin segera memiliki mobil, ingin segera mengganti sepeda motor dengan yang baru, dan ingin-ingin lainnya. Dlarurat juga berlaku wa la ‘adin; tidak melebihi batas, seukuran yang “dipaksa”-nya saja. Jika misalkan dipaksa oleh pemerintah harus menerima gaji lewat bank konvensional, maka berlaku daruratnya dalam hal menerima gaji saja. Tidak perlu sambil menyelam minum air; sekalian menabung yang notabene dijadikan modal oleh bank riba dalam menjalankan ribanya, atau menggadaikan SK di bank untuk beli rumah, mobil, dan sebagainya.
Kedua, alasan terpaksa oleh sistem ekonomi yang riba seperti berlaku di negeri ini juga harus segera ditanggalkan, sebab jalan hijrah pada faktanya ada. Tengok kanan dan kiri, banyak pengusaha muslim yang hari ini membuktikan dirinya bisa tetap berusaha dengan tidak menempuh riba. Alhamdulil-‘Llah, sudah mulai banyak asosiasi-asosiasi pengusaha muslim yang mendeklarasikan diri bersih dari riba dan siap melawan riba yang sekaligus jadi bukti bahwa riba bisa dan harus dilawan. Artinya jalan untuk melepaskan diri dari riba itu ada. Jalan untuk hijrah melepaskan diri dari sistem yang mengekang masih ada. Maka alasan terpaksa karena sistem yang mengekang tidak bisa berlaku lagi sebab bisa hijrah.
Allah swt dalam al-Qur`an menyalahkan orang-orang Islam yang dipaksa ikut berperang oleh orang-orang kafir dalam barisan orang-orang kafir melawan pasukan kaum muslimin dan kemudian mati, dengan mempertanyakan mengapa mereka tidak hijrah padahal peluang hijrah ada dan bumi Allah swt itu luas:
اِنَّ الَّذِيْنَ تَوَفّٰىهُمُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ ظَالِمِيْٓ اَنْفُسِهِمْ قَالُوْا فِيْمَ كُنْتُمْ ۗ قَالُوْا كُنَّا مُسْتَضْعَفِيْنَ فِى الْاَرْضِۗ قَالُوْٓا اَلَمْ تَكُنْ اَرْضُ اللّٰهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوْا فِيْهَا ۗ فَاُولٰۤىِٕكَ مَأْوٰىهُمْ جَهَنَّمُ ۗ وَسَاۤءَتْ مَصِيْرًاۙ (97)
اِلَّا الْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاۤءِ وَالْوِلْدَانِ لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ حِيْلَةً وَّلَا يَهْتَدُوْنَ سَبِيْلًاۙ(98)
فَاُولٰۤىِٕكَ عَسَى اللّٰهُ اَنْ يَّعْفُوَ عَنْهُمْ ۗ وَكَانَ اللّٰهُ عَفُوًّا غَفُوْرًا (99)
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri (orang yang tidak mau hijrah), (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas (mustadl’afin) di negeri (Makkah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali (97). Kecuali mereka yang tertindas (mustadl’afin) baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah) (98). Mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun (QS. An-Nisa` [4] : 97-99).
Dalam ayat-ayat di atas Allah swt menyebutkan dua jenis mustadl’afin yang kedua-duanya wajib berhijrah: (1) Mustadl’afin yang mampu berhijrah tetapi enggan berhijrah sehingga mati dalam kelompok orang-orang kafir, dan (2) mustadl’afin yang tidak mampu berhijrah karena memang tidak mempunyai bekal dan tidak tahu jalan. Mustadl’afin yang pertama dihukumi neraka, sementara mustadl’afin yang kedua diampuni kesalahannya.
Maka pertanyaannya, apakah orang Islam yang beriteraksi dengan riba dan umumnya mereka dari kalangan mapan termasuk mustadl’afin yang memang tidak mampu hijrah ataukah mustadl’afin yang sebenarnya bisa hijrah? Setiap muslim dituntut untuk jujur menjawabnya. Sebab di alam kematian nanti mulut tidak bisa berdalih sebagaimana halnya di dunia. Seribu dalih untuk membenarkan riba di dunia akan dibungkam nanti di alam kematian, sebagaimana diancamkan ayat di atas.
Ketiga, alasan tidak bisa hidup cukup dan mapan jika tidak berinteraksi dengan riba juga harus segera ditanggalkan, sebab memang Allah swt sudah menggariskan taqdir bahwa hijrah itu akan terasa pedih dan susah di awalnya, tetapi kelak akan terasa manis dan senang di kemudian harinya.
وَمَنْ يُّهَاجِرْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ يَجِدْ فِى الْاَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيْرًا وَّسَعَةً ۗوَمَنْ يَّخْرُجْ مِنْۢ بَيْتِهٖ مُهَاجِرًا اِلَى اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ اَجْرُهٗ عَلَى اللّٰهِ ۗوَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا
Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. an-Nisa` [4] : 100).
Ayat ini mengingatkan bahwa tidak mustahil ada yang hijrah tetapi belum sempat mendapatkan janji kesenangan di dunia karena dijemput kematian. Ini merupakan isyarat bahwa hijrah pada awalnya akan berat dan susah. Sirah Nabi saw dan para shahabat adalah buktinya. Meski demikian, pada intinya Allah swt tetap menjanjikan kesenangan di dunia bagi siapa yang berani hijrah. Maka permasalahannya apakah umat Islam masih yakin dengan janji-janji Allah swt? Ataukah mereka hendak pasrah menikmati hidup saat ini dengan bergelimang riba?
Keempat, alasan karena tidak tahu hukum menabung di bank “rentenir” haram; tidak tahu kalau kredit rumah, kredit modal usaha, kredit mobil, kredit sepeda motor, dan kredit-kredit lainnya yang berbunga hukumnya haram, maka pertanyaannya: “Ke mana saja selama ini?” Bukankah ketika fatwa MUI tentang haramnya bunga bank dikeluarkan pada tahun 2000 dan 2004 disiarkan secara nasional di seluruh media nasional; cetak dan elektronik? Apakah informasi yang tidak sampai ataukah mata batin yang sudah kadung tertutup sehingga tidak mampu menerimanya? Bukankah banyak kajian dari para ulama (bukan “muballigh-muballigh” pasaran yang “cadel” dan banyak berdalih) yang mengajarkan bahwa semua yang disebut di atas itu haram? Apakah para ulama yang tidak tepat sasaran menyampaikan ke umat ataukah memang umatnya yang tidak mau mendengar kajian fiqh riba dari para ulama? Apakah itu karena para ulama yang sudah tidak “ngaji” ataukah umat yang sudah jauh dari “ngaji”?
Sudah bukan zamannya lagi banyak berdalih sebagaimana dalih orang-orang calon penghuni neraka yang enggan hijrah dalam QS. An-Nisa` [4] : 97. Sudah terlalu banyak bukti bahwa hijrah dari riba itu bisa dan mungkin. Banyak bukti pula, sebagaimana dijanjikan Allah swt, hijrah akan mendatangkan berkah. Hanya masalahnya mau atau tidak? Kalau enggan sekarang, mau kapan lagi?