Selepas bab adab qadla hajat, al-Hafizh Ibn Hajar melanjutkan pembahasan hadits dalam Bulughul-Maram dengan babul-ghusli wa hukmil-junub; bab mandi dan hukum junub. Penamaan judul bab yang memisahkan antara “mandi” dan “junub”, mengisyaratkan bahwa mandi tidak hanya mandi junub, tetapi ada juga mandi Jum’at, mandi bekam, mandi sesudah memandikan jenazah, dan mandi ketika masuk Islam. Mandi-mandi tersebut hukumnya ada yang wajib, sunat, dan ada yang mubah. Mandi-mandi yang wajib dan sunat—yang menimbulkan konsekuensi hukum saja—itu yang akan dibahas dalam bab fiqih di kitab Bulughul-Maram ini. Sedangkan junub, di samping ada hukum wajib mandi sebelum shalat dan atau masuk masjid, terdapat juga hukum-hukum lainnya yang akan dijelaskan dalam bab “hukum junub” ini, di antaranya kebolehan membaca al-Qur`an.
Junub merupakan istilah yang digunakan al-Qur`an untuk menunjuk satu keadaan tidak suci yang mewajibkan bersuci dengan cara mandi. Arti asal junub itu sendiri adalah jauh. Maksudnya menjauh dari masjid atau shalat sampai mandi terlebih dahulu. Allah swt menjelaskan:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka bersucilah (mandi)… (QS. al-Ma`idah [5] : 6)
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكَارٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ وَلَا جُنُبًا اِلَّا عَابِرِيْ سَبِيْلٍ حَتّٰى تَغْتَسِلُوْا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi (QS. an-Nisa` [4] : 43).
-
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ : الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ. وَأَصْلُهُ فِي الْبُخَارِيِّ.
Dari Abu Sa’id al-Khudri—semoga Allah meridlainya—ia berkata: Rasulullah—shalawat dan salam untuknya—bersabda: “Air (kewajiban mandi) itu dari (sebab) air (keluarnya air mani).” Muslim meriwayatkannya dan ashalnya dalam al-Bukhari.
Dalam Shahih Muslim dijelaskan sababul-wurud dari sabda Nabi saw tersebut:
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ إِلَى قُبَاءٍ حَتَّى إِذَا كُنَّا فِى بَنِى سَالِمٍ وَقَفَ رَسُولُ اللهِ عَلَى بَابِ عِتْبَانَ فَصَرَخَ بِهِ فَخَرَجَ يَجُرُّ إِزَارَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ أَعْجَلْنَا الرَّجُلَ. فَقَالَ عِتْبَانُ يَا رَسُولَ اللهِ أَرَأَيْتَ الرَّجُلَ يُعْجَلُ عَنِ امْرَأَتِهِ وَلَمْ يُمْنِ مَاذَا عَلَيْهِ قَالَ رَسُولُ اللهِ إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ.
Dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata: Aku keluar bersama Nabi saw pada hari Senin ke Quba. Ketika kami sampai di daerah Bani Salim, Rasulullah saw berdiri di depan pintu rumah ‘Itban. Beliau berteriak memanggilnya dan ‘Itban pun keluar sambil menarik sarungnya. Rasulullah saw saat itu bersabda: “Ternyata kita telah menyebabkan orang ini tergesa-gesa (dari jima’).” ‘Itban saat itu bertanya: “Wahai Rasulullah, menurut anda seseorang yang dibuat tergesa-gesa dari istrinya (dari jima’) dan ia tidak mengeluarkan mani, harus melakukan apa?” Rasulullah saw bersabda: “Air (kewajiban mandi) itu dari (sebab) air (keluarnya air mani).” (Shahih Muslim kitab al-haidl bab innamal-ma`u minal-ma`i no. 801)
Sementara riwayat yang disebutkan sebagai ashalnya oleh al-Hafizh di atas, ditunjukkan sendiri olehnya dalam kitab at-Talkhishul-Habir yakni hadits riwayat al-Bukhari yang memerintahkan berwudlu. Hadits yang dimaksud adalah:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ أَرْسَلَ إِلَى رَجُلٍ مِنْ الْأَنْصَارِ فَجَاءَ وَرَأْسُهُ يَقْطُرُ فَقَالَ النَّبِيُّ لَعَلَّنَا أَعْجَلْنَاكَ فَقَالَ نَعَمْ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ إِذَا أُعْجِلْتَ أَوْ قُحِطْتَ فَعَلَيْكَ الْوُضُوءُ
Dari Abu Sa’id al-Khudri sesungguhnya Rasulullah saw memanggil seorang Anshar. Ia lalu datang dan kepalanya meneteskan beberapa tetes air (tanda baru selesai mandi). Nabi saw lalu bertanya: “Mungkin kami sudah membuat anda tergesa-gesa (dari jima’)?” Ia menjawab: “Ya.” Rasulullah saw lalu bersabda: “Jika kamu dibuat tergesa-gesa atau tertahan air (mani), maka kamu cukup berwudlu.” (Shahih al-Bukhari kitab al-wudlu bab man lam yara al-wudlu illa minal-makhrajain; minal-qubul wad-dubur no. 180).
Di samping hadits ini, ada juga hadits lain yang dicantumkan oleh al-Bukhari terkait tema ini yang memerintahkan mencuci dzakar/kemaluan di samping berwudlu.
عن زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ أَنَّهُ سَأَلَ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ قُلْتُ أَرَأَيْتَ إِذَا جَامَعَ فَلَمْ يُمْنِ قَالَ عُثْمَانُ يَتَوَضَّأُ كَمَا يَتَوَضَّأُ لِلصَّلَاةِ وَيَغْسِلُ ذَكَرَهُ قَالَ عُثْمَانُ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ فَسَأَلْتُ عَنْ ذَلِكَ عَلِيًّا وَالزُّبَيْرَ وَطَلْحَةَ وَأُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ y فَأَمَرُوهُ بِذَلِكَ
Dari Zaid ibn Khalid, bahwasanya ia bertanya kepada ‘Utsman ibn ‘Affan—semoga Allah meridlainya: “Menurut anda harus bagaimana jika seseorang jima’ tetapi tidak mengeluarkan mani.” ‘Utsman menjawab: “Ia harus berwudlu seperti wudlu untuk shalat dan mencuci kemaluannya.” Kata ‘Utsman: “Aku mendengarnya dari Rasulullah saw.” Lalu aku (Zaid) bertanya hal yang sama kepada ‘Ali, az-Zubair, Thalhah dan Ubay ibn Ka’ab—semoga Allah meridlai mereka. Mereka pun ternyata memerintahkan hal yang sama.
Dalam riwayat-riwayat di atas, terdapat lafazh a’jalna, u’jilta, yang makna asalnya “tergesa-gesa”. Menurut al-Hafizh, para ulama pakar bahasa Arab menjelaskan bahwa itu merupakan kiasan dari “tergesa-gesa menghentikan jima’/bersetubuh”. Demikian halnya dengan lafazh quhithta/qahth yang makna asalnya “tertahan air hujan/kemarau”. Dalam sabda Nabi saw di atas digunakan sebagai kiasan dari tertahannya air mani karena tergesa-gesa harus menghentikan jima’ (Fathul-Bari).
Dengan memperhatikan sababul-wurud hadits di atas, tampak jelas bahwa maksud sabda Nabi saw “Air dari air” adalah kewajiban mandi itu hanya berlaku jika keluar air mani. Jadi kalau melakukan jima’ tetapi tiba-tiba harus terhenti dan belum keluar air mani, maka tidak wajib mandi. Sementara itu, hadits yang disebut sebagai ashalnya dalam Shahih al-Bukhari memberikan tuntunan bahwa dalam kasus seperti ini yang diwajibkan hanya berwudlu dan mencuci dzakar, bukan mandi.
Akan tetapi, terkait hadits ini, sebagaimana dijelaskan oleh Imam an-Nawawi, terdapat dua pendapat dalam mengamalkannya. Pertama, jumhur ulama shahabat dan generasi berikutnya mengatakan bahwa hadits ini mansukh (di-nasakh/digugurkan/diamandemen) oleh hadits berikutnya yang menyatakan bahwa siapa saja yang jima’, baik itu mengeluarkan mani atau tidak, maka wajib mandi. Hadits yang dimaksud ditulis oleh al-Hafizh dalam Bulughul-Maram dengan matan sebagai berikut:
- وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ : إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الْأَرْبَعِ, ثُمَّ جَهَدَهَا, فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Dari Abu Hurairah—semoga Allah meridlainya—ia berkata: Rasulullah—shalawat dan salam untuknya—bersabda: “Apabila seseorang duduk di antara anggota badan istrinya yang empat, kemudian melakukannya sampai payah (jima’), maka sungguh telah wajib mandi.” Disepakati keshahihannya.
-
زَادَ مُسْلِمٌ: وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ
Dalam riwayat Muslim ada tambahan: “Meski tidak keluar air (mani).”
Pendapat kedua, shahabat Ibn ‘Abbas menyatakan bahwa hadits “air dari air” itu tidak mansukh. Hadits ini tetap berlaku bagi suami istri yang baru sebatas bercumbu atau siapa pun yang ihtilam (mimpi erotis) dan tidak sampai keluar mani. Sabda Nabi saw: “Air dari air” menegaskan ketidakwajiban mandi dalam dua hal tersebut kecuali jika sudah keluar mani.
Hemat penulis, kedua pendapat tentang mansukh-nya hadits ini sejatinya tidak bertentangan. Sebab kedua-duanya pada intinya sepakat bahwa orang yang melakukan jima’—jika itu benar-benar sudah jima’ (terlihat dari lafazh jahadaha; melakukan sesuatu sampai payah dalam hadits Abu Hurairah di atas)—meski belum mengeluarkan mani, maka hukumnya wajib mandi berdasarkan hadits Abu Hurairah di atas. Pendapat Ibn ‘Abbas yang menyatakan bahwa hadits “Air dari air” tidak mansukh juga tidak menyebabkannya berpendapat bahwa jika jima’ sudah dilakukan dan meski tidak keluar mani maka tidak wajib mandi. Sebab Ibn ‘Abbas dengan menerima hadits “Air dari air” tidak kemudian menyebabkannya menolak hadits Abu Hurairah di atas. Maka dari itu, pendapat Ibn ‘Abbas hanya membatasinya pada bercumbu dan ihtilam, tidak pada jima’ yang benar-benar jima’. Sebab jima’ jika sudah jahadaha meski tidak mengeluarkan mani—berdasarkan hadits Abu Hurairah di atas—hukumnya wajib mandi.
Sementara yang sebatas bercumbu ataupun sebatas mimpi erotis dan tidak mengeluarkan mani, maka kedua madzhab di atas sepakat hanya wajib wudlu dan mencuci dzakarnya, meskipun hadits “Air dari air” dinyatakan gugur (mansukh) oleh jumhur ulama. Itu karena ada hadits lain yang menyatakan bahwa jika air madzi sudah keluar maka wajib berwudlu dan mencuci dzakarnya (sudah dibahas dalam bab “pembatal wudlu”). Sementara itu bisa dipastikan bahwa orang yang bercumbu atau ihtilam mengeluarkan madzi.
Dalam at-Talkhishul-Habir, al-Hafizh Ibn Hajar juga mengutip pernyataan beberapa shahabat yang menyatakan bahwa hadits “Air dari air” itu hanya berlaku pada masa awal Islam saja sebagai rukhshah (keringanan untuk tidak mandi). Di masa selanjutnya mandi diwajibkan bagi yang jima’ meski tidak keluar mani. Akan tetapi menurut Ibn Hajar, sanad dari atsar-atsar tersebut tidak ada satu pun yang luput dari kelemahan. Satu-satunya yang menyebabkan atsar-atsar tersebut bisa diterima adalah adanya ijma’ (kesepakatan shahabat) yang otomatis melahirkan kesimpulan bahwa siapa yang jima’ meski tidak keluar mani sudah wajib mandi. Meski demikian, ulama-ulama kontemporer seperti Syu’aib al-Arnauth dan al-Albani justru menilai atsar-atsar tersebut shahih. Atsar-atsar yang dimaksud adalah:
قَالَ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ: أَنَّ الْفُتْيَا الَّتِي كَانُوا يَقُولُونَ الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ رُخْصَةٌ كَانَ رَسُولُ اللهِ رَخَّصَ بِهَا فِي أَوَّلِ الْإِسْلَامِ ثُمَّ أَمَرَنَا بِالِاغْتِسَالِ بَعْدَهَا
Ubay ibn Ka’ab berkata: “Fatwa yang menyatakan ‘Air dari air’ itu adalah rukhshah yang diberlakukan Rasulullah saw pada awal Islam. Sesudah itu Rasulullah saw memerintahkan kami untuk mandi.” (Musnad Ahmad bab hadits Ubay ibn Ka’ab no. 21100. Syu’aib al-Arnauth menilai atsar ini shahih).
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ: إِنَّمَا كَانَ المَاءُ مِنَ المَاءِ رُخْصَةً فِي أَوَّلِ الإِسْلَامِ ثُمَّ نُهِيَ عَنْهَا
Dari Ubay ibn Ka’ab, ia berkata: “Air dari air itu hanya sebagai rukhshah saja di awal Islam, tapi kemudian itu (tidak mandi) dilarang.” (Sunan at-Tirmidzi kitab abwab at-thaharah bab annal-ma`a minal-ma`i no. 110)