Allah―’azza wa jalla―membangun agama islam di atas arkân (tiang-tiang) ‘amaliyyah, i’tiqadiyyah, dan khuluqiyyah; yang mana diistilahkan dengan rukun islâm, îmân, dan ihsân sehingga dirumuskan menjadi 3 pokok ajaran islam yang tercantum dalam hadits panjang yang terkenal dengan istilah hadîtsul-Jibrîl dari shahabat ‘Umar ibn al-Khatthâb―radliyal-`Llâhu ‘anhu―[1].
Dahulu, para ulama salaf―khususnya para shahabat radliyal-`Llâhu ‘anhum―mempelajari ilmu agama islam langsung dari al-qur`an dan al-hadits berdasarkan fase atau waktu turunnya ayat al-qur`an maupun al-hadits; mereka belum mengenal adanya kodifikasi ilmu dalam sebuah kitab, apalagi dalam sebuah bab mengenai suatu cabang ilmu.
Seiring berjalannya waktu dan perkembangan khazanah ilmu agama islam, para ulama meletakkan cabang-cabang ilmu guna memudahkan generasi pelajar islam untuk memahami ajaran-ajaran agamanya dengan baik dan efektif. Oleh karenanya, kita mengenal adanya ilmu tauhid/aqidah untuk memahami rukun iman, ilmu fiqih untuk memahami rukun islam, dan ilmu tazkiyatun-nafs/tashawwuf untuk memahami rukun ihsan
Ilmu tauhid adalah cabang ilmu yang paling penting dan utama jika dibandingkan dengan cabang-cabang ilmu yang lain. Para ulama mengatakan bahwa kemuliaan sebuah cabang ilmu, tergantung kemuliaan yang dibahas dalam ilmu tersebut. Dalam ilmu ini dibahas mengenai hak dari Dzat yang Mahabesar dan Mahamulia, yaitu Allah―’azza wa jalla―, dengan demikian ilmu tauhid ini menjadi ilmu yang paling mulia dan paling penting untuk dipelajari oleh setiap muslim.
Namun sebelum kita membahas Ilmu Tauhid lebih dalam, perlu rasanya kita membahas beberapa pengantar (madkhal), dasar-dasar (ushûl), atau pendahuluan (muqaddimah) ilmu tauhid demi mengokohkan pemahaman dalam pembahasan-pembahasan selanjutnya.
Definisi
Tauhid secara etimologi berasal dari kata (وَحَّدَ – يُوَحِّدُ – تَوْحِيْدًا) artinya adalah mengesakan. Sedangkan Tauhid secara terminologi adalah mengesakan Allah dalam haq rubûbiyyah, ulûhiyyah, dan asmâ` was-shifât yang mana merupakan antonim dari syirik.
Aqidah secara etimologi berasal dari kata (عَقَدَ – يَعْقِدُ – عُقْدَة) yang artinya adalah mengikatkan, mengokohkan. Sedangkan secara terminologi adalah keyakinan yang kokoh tanpa ada keraguan terhadap rukun-rukun iman yang enam dan beberapa penyempurnanya yang masih termasuk dalam masalah keyakinan prinsip[2].
Jika ditinjau dari definisi terminologi, sebenarnya aqidah lebih umum daripada tauhid dan ilmu tauhid merupakan salah satu cakupan dari ilmu aqidah.
Istilah-istilah Lainnya
Walaupun ternyata ilmu tauhid merupakan salah satu cakupan ilmu aqidah, namun memang dalam tradisi keilmuan para ulama salaf, di antara mereka ada yang menamai ilmu yang berkaitan dengan keyakinan ini dengan istilah tauhid. Bukan hanya tauhid, namun para ulama menamai cabang ilmu ini dengan beberapa istilah. ‘Abdul-’Aziz ibn Ahmad ibn Muhsin al-Humaidy menyebutkan beberapa istilah lain yang dikenal para ulama mengenai ilmu tauhid ini, di antaranya:
- at-Tauhîd (التوحيد). Dinamakan at-tauhîd karena tentu dalam ilmu ini dibahas mengenai keesaan Allah. Ulama-ulama yang menamai dengan istilah ini di antaranya adalah: Abu Bakr Muhammad ibn Ishaq Ibn Khuzaimah an-Naisaburiy, Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Ishaq Ibn Mandah, dan Syaikh Muhammad ibn ‘Abdul-Wahhab dengan kitab mereka yang berjudul Kitâbut-Tauhîd.
- Ushûlud-Dîn (أصول الدين). Dinamakan ushûlud-dîn yang artinya pokok-pokok/pondasi-pondasi agama islam, karena agama islam dibangun di atas pondasi yang kuat, yaitu tauhid. Ulama yang menamai dengan istilah ini di antaranya adalah Hibatullah ibn al-Hasan al-Lâlikâ`iy dengan kitabnya Syarh Ushûlil-I’tiqâd Ahlis-Sunnah wal-Jamâ’ah.
- as-Sunnah (السنة). Dinamakan as-sunnah yang artinya tuntunan beragama, karena ilmu tauhid merupakan ajaran yang dituntunkan oleh Nabi Muhammad―shallal-`Llâhu ‘alaihi wa sallam―dan paling utama. Ajaran terus diwariskan oleh para shahabat, kemudian tabi’in, kemudian para ulama sampai saat ini tanpa melalui proses ijtihad apalagi qiyas, tapi benar-benar murni dari sunnah nabawiyyah. Istilah ini merupakan istilah yang paling populer di kalangan para ulama salaf. Ulama-ulama yang menamai dengan istilah ini di antaranya adalah Abu ‘Abdillah Ahmad ibn Hanbal dengan kitabnya Ushûlus-Sunnah dan ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal dengan kitabnya as-Sunnah.
- as-Syarî’ah (الشريعة). Dinamakan as-syarî’ah yang artinya adalah ketetapan/peraturan/hukum, karena tauhid merupakan salah satu hukum islam yang paling utama. Ulama yang menamai dengan istilah ini di antaranya adalah Abu Bakr Muhammad ibn al-Hasan al-Ajurry dengan kitabnya as-Syarî’ah.[3]
Selain 4 nama tersebut, ada lagi nama lain yang tidak disebutkan oleh Syaikh ‘Abdul-’Aziz, yaitu:
- al-Aqîdah (العقيدة). Dinamakan al-’aqîdah yang artinya keyakinan, karena yang dibahas dalam ilmu tauhid merupakan permasalahan agama yang berkaitan dengan keyakinan, bukan amalan zhahir. Ulama-ulama yang menamai dengan istilah ini di antaranya adalah: Abul-’Abbâs Ahmad ibn ‘Abdul-Halîm Ibn Taimiyyah al-Harâniy dengan kitabnya al-Aqîdah al-Washîthiyyah, Abu Ja’far Muhamma ibn Salamah at-Thahawi dengan kitabnya al-’Aqîdah at-Thahâwiyyah, dan Isma’il ibn ‘Abdurrahman as-Shabuni dengan kitabnya ‘Aqîdatus-Salaf wa Ashhâbil-Hadîts.
- al-Fiqhul-Akbar (الفقه الأكبر). Ulama yang menamai dengan istilah ini di antaranya adalah Abu Muthi’ al-Hakam ibn Abdullah al-Balkhi dengan kitabnya al-Fiqhul-Akbar.
Ruang Lingkup
Dalam kajian ilmu tauhid, yang dibahas adalah permasalahan-permasalahan agama yang berkaitan dengan keyakinan, yaitu rukun iman yang enam dan beberapa karakteristik aqidah ahlus-sunnah wal-jamâ’ah yang membedakannya dengan ahlul-bid’ah wal-furqah.
Untuk membahas definisi dari ahlus-sunnah wal-jamâ’ah dan ahlul-bid’ah wal-furqah tentu perlu pembahasan tersendiri, dikarenakan keterbatasan ruang. Sederhananya, ahlus-sunnah wal-jamâ’ah merupakan kelompok umat islam yang lurus dan dipastikan selamat di akhirat karena berpegangteguh pada as-sunnah sebagai rujukan dalam beragama, sedangkan ahlul-bid’ah wal-furqah adalah kebalikannya, yaitu kelompok umat islam yang sesat dan dipastikan celaka di akhirat karena tidak berpegang teguh pada as-sunnah, tapi semata-mata menjadikan ra`yu (logika) dan ahwa (hawa nafsunya) dalam memahami agama.
Kedua istilah ini pertama kali dikemukakan oleh shahabat ‘Abdullah Ibn ‘Abbâs―radliyal-`Llâhu ‘anhumâ―ketika menafsirkan QS Âli ‘Imrân [3] : 106, sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Hâfizh Ibn Katsîr:
قَوْلُهُ تَعَالَى: {ﲦ ﲧ ﲨ ﲩ ﲪﲫ} يَعْنِي: يَوْمَ الْقِيَامَةِ، حِينَ تَبْيَضُّ وُجُوهُ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ، وَتَسْوَدُّ وُجُوهُ أَهْلِ البِدْعَة وَالْفُرْقَةِ، قَالَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
Firman Allah Ta’ala: (pada hari memutihnya wajah orang-orang dan menghitamnya wajah orang-orang) yakni pada hari kiamat ketika memutih wajah ahlus-sunnah wal-jamâ’ah, dan menghitam wajah ahlul-bid’ah wal-furqah. Demikian dikatakan oleh Ibn ‘Abbas―radliyal-`Llâhu ‘anhumâ―.[4]
Rujukan Aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jamâ’ah
Salah satu faktor utama yang membedakan aqidah ahlus-sunnah wal-jamâ’ah dan ahlul-bid’ah wal-furqah adalah rujukan atau sumber pengambilan aqidahnya; jika ahlul-bid’ah merujuk pada akal atau perasaan mereka semata, maka ahlus-sunnah hanya merujuk pada al-qur`an, as-sunnah, dan al-ijma’ tanpa ikut campur akal maupun perasaan. Berbeda dengan masalah fiqih yang perlu menyertakan akal dalam istidlalnya.
Hukum Mempelajari Ilmu Tauhid
Hukum mempelajari tauhid adalah fardlu ‘ain, karena termasuk salah satu pokok ajaran islam yang dapat menentukan surga maupun nerakanya.
Belajar Tauhid Butuh Kesabaran Ekstra
Mempelajari ilmu tauhid agak sedikit berbeda dengan ilmu-ilmu agama lainnya. Dalam belajar tauhid dibutuhkan kesabaran yang lebih, karena belajar tauhid tidak cukup sekali, tapi harus senantiasa diulang-ulang. Contohnya, seseorang mungkin bisa saja mempelajari ilmu fiqih, seperti tata cara shalat, wudlu, haji dalam sekali, dua kali, atau tiga kali belajar saja. Lalu setelah itu ia dapat mengamalkan dengan baik sepanjang hidupnya. Demikian pula ilmu-ilmu alat seperti ushulut-tafsîr, ushûlul-fiqh, mushthalahul-hadîts, dsb.
Berbeda dengan ilmu tauhid. Dalam ilmu tauhid lebih banyak pelajaran yang berkaitan dengan amalan hati. Bisa jadi kita sudah berhasil menamatkan dua atau tiga kitab dalam ilmu tauhid, namun semua itu tidak menjadi jaminan bagi kita dapat mengamalkan tauhid dengan baik. Bisa jadi hari ini kita yakin akan kebaikan yang ada di balik takdir yang Allah tetapkan bagi kita, namun suatu saat bisa jadi kita menjadi ragu saat iman kita sedang menurun.
Oleh karena itu, ilmu tauhid ini―di samping kemuliaannya―perlu terus diulang-ulang berkali-kali, bahkan seumur hidup sehingga menjadikan hati kita selalu terjaga untuk tetap yakin kepada Allah―’azza wa jalla―. Wal-`Llâhu a’lam.
Penulis : Fauzi Barokah Ramadhani, Staf Pengajar Pesantren PERSIS 27 Situ Aksan Bandung
[1] Lihat Shahîh Muslim kitab al-îmân bab ma’rifatil-îmâni wal-islâmi wal-qadari wa ‘alâmâtis-sâ’ati no. 102.
[2] Nukhbah minal-Asâtidzah, Muqarrar al-’Aqidah lid-Daurat Ta’lim al-Lughah al-’Arabiyah wats-Tsaqafat al-Islamiyyah.
[3] ‘Abdul-’Aziz ibn Ahmad ibn Muhsin al-Humaidy,al-Madkhal al-Mufid li ‘Ilmit-Tauhîd hlm. 7-9
[4] Tafsîr Ibn Katsîr QS Âli ‘Imrân [3] : 106.