Malik bin Dinar rahimahullah mengisahkan bahwa dahulu di zaman Bani Israil terdapat seorang ulama yang bernama Bal’am bin Baura. Ia terkenal saat itu do’anya selalu dikabulkan. Setiap kali masyarakat Bani Israil kesulitan mereka akan mendatangi Bal’am dan meminta do’a. Sehingga sampai suatu waktu, Allah ‘Azza wa Jalla mengutus Nabi Musa ‘Alaihis Salam untuk berdakwah kepada Raja Madyan agar sang raja menyembah Allah swt. Sang raja ketika itu, akhirnya memberi sebagian wilayah kekuasaan madyan kepada Bal’am dan memberinya banyak hadiah. Sehingga Bal’am meninggalkan agama Nabi Musa dan lebih memilih agama sang raja. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir : 503 : 3).
Al-Qur’an kemudian mengabadikan penyimpangan yang dilakukan oleh Bal’am ini dalam ayat berikut.
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ (175)
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. “” (Q.S al- A’raf : 175)
Bal’am menjadi salah satu misal ulama perusak, yang mengorbankan agamanya demi kenikmatan dunia yang sedikit dan fana. Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya ‘Ulumiddin menyajikan beberapa riwayat tentang ancaman kepada ulama semodel dengan Bal’am ini di antaranya,
” إِنَ أَشَدَّ النَّاسَ عَذَاباً يَوْمَ القِيَامَةِ عَالِمٌ لَمْ يَنْفَعْهُ اللهُ بِعِلْمِهِ “
”Sesungguhnya Manusia yang paling keras siksanya di hari kiamat adalah seorang Ulama yang Allah tidak menjadikan ilmunya bermanfaat bagi dirinya” (HR. Ibnu Hibban dalam Kitab Raudhatul ‘Uqala. Hadis ini Mauquf menurut Imam al-‘Iraqi)
قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: إِنَ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى هَذِهِ الأُمَةِ المُنَافِقُ العَلِيْمُ. قَالُوْا: وَكَيْفَ يَكُوْنُ مُنَافِقاً عَلِيْماً قَالَ: عَلِيْمُ اللِسَانِ جَاهِلُ القَلْبَ وَالعَمَلِ.
“Umar semoga Allah meridhainya berkata ’Sungguh sesuatu yang paling aku takutkan terhadap umat ini adalah seorang ulama yang munafik. Kemudian ia pun ditanya, ’Bagaimana bisa ada seorang munafik menjadi ulama?. Umar Menjawab, ’Yaitu seorang yang ‘Alim dalam lisan namun bodoh dalam hati dan amal” (Ihya ‘Ulumiddin : 148 : 1)
Imam al-Ghazali kemudian menyebutkan beberada adab ulama yang dikategorikan sebagai ulama akhirat.
Pertama, tidak mencari dunia dengan ilmunya.
“Tidak Mencari dunia dengan ilmunya” (Ihya ‘Ulumiddin : 64 : 1)
Barang siapa yang berilmu kemudian ia tidak mendahulukan akhirat daripada dunia maka ia adalah tawanan setan. Syahwatnya telah membinasakannya dan kesesatan telah menguasainya maka bagaimana mungkin ia dianggap sebagai Ulama” (Ihya ‘Ulumiddin : 64 : 1). Malik bin Dinar mengatakan, “Aku Membaca di dalam sebagian kitab-kitab salaf sungguh Allah berfirman: Sungguh siksa teringan yang aku berikan kepada seorang ulama apabila ia lebih mencintai dunia dari cintaku maka aku akan haramkan ia merasakan lezatnya bermunajat kepada-Ku di dalam hatinya”. (Ihya ‘Ulumiddin : 64 : 1)
Kedua, Menguatkan Ilmu yang Bermanfaat untuk Akhirat
Seorang Ulama perhatian besarnya adalah memperoleh ilmu yang bermanfaat untuk akhirat. Orang yang cinta kepada akhirat maka ia akan menjauhi ilmu yang sedikit manfaatnya atau ilmu yang hanya diisi oleh perdebatan dan perselisihan. (Ihya ‘Ulumiddin : 65 : 1)
Ketiga, Sesuai Antara Ucapan dan Perbuatan
Perbuatannya tidak bertentangan dengan perkataannya bahkan ia tidak menyuruh sesuatu yang tidak ada padanya. Dia orang yang pertama mengamalkannya, Allah berfirman, “Apakah kalian menyuruh manusia sedangkan kalian lupa terhadap diri kalian sendiri. Dan firman Allah ta’ala: Besar murka Allah jika kalian mengatakan apa yang kalian tidak lakukan”. (Ihya ‘Ulumiddin : 63 : 1)
Ibnu Samak Berkata, “Berapa banyak orang yang mengingatkan kepada Allah namun ia lupa kepada Allah. Berapa banyak orang yang menginatkan untuktakut kepada Allah namun ia justru berani kepada Allah. Berapa banyak orang yang menyuruh untuk dekat dengan Allah namun ia jauh dari Allah berapa banyak orang yang mengajak kepada Allah namun ia lari dari Allah. Berapa banyak orang yang membaca kitab Allah namun justru ia menyimpang dari ayat-ayat Allah” (Ihya ‘Ulumiddin : 63 : 1)
Keempat, Tidak Senang Memperindah Diri dengan Kenikmatan dunia
Hendaknya seorang ulama Tidak senang menghibur diri dengan makanan, minuman, pakaian, berhias dalam perabotan dan tempat tinggal akan tetapi lebih mendahulukan kesederhanaan dalam segala hal dan mengikuti para salaf rahimahumullah dan merasa cukup dengan yang sedikit dalam semua itu” (Ihya ‘Ulumiddin : 66 : 1)
Kelima, Menjauhi Kekuasaan
Hendaknya seorang ulama menjauh dari kekuasaan. Ia jangan memasukinya sama sekali. Ia harus senantiasa bersungguh-sungguh untuk lari dari para penguasa bahkan ia mesti menjaga diri dari bersama-sama mereka meskipun mereka yang mendatanginya karena dunia itu manis hijau dan kendalinya berada di tangan-tangan para penguasa. Bersama para penguasa tidak akan bisa lepas dari sifat berpura-pura untuk mencari keridhaan mereka dan menjilat hati-hati mereka padahal mereka berbuat zhalim” (Ihya ‘Ulumudiin : 68 : 1)
Keenam, Tidak Tergesa-gesa dalam Berfatwa
“Hendaknya ia tidak tergesa-gesa dalam berfatwa bahkan ia diam dan berhati-hati dalam menyelesaikan permasalahannya” (Ihya ‘Ulumiddin : 69 : 1)
Inilah enam tanda di antara dua belas adab ulama akhirat yang disebutkan oleh Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya ‘Ulumiddin. Sebagai penutup tulisan, semua adab itu terhimpun dalam perkataan imam al-Ghazali berikut,
علامات علماء الآخرة مفهومة من خمس آيات من كتاب الله عز وجل: الخشية والخشوع والتواضع وحسن الخلق وإيثار الآخرة على الدنيا وهو الزهد فأما الخشية فمن قوله تعالى ” إنما يخشى الله من عباده العلماء ” وأما الخشوع فمن قوله تعالى ” خاشعين لله لا يشترون بآيات الله ثمناً قليلاً ” وأما التواضع فمن قوله تعالى ” واخفض جناحك للمؤمنين ” وأما حسن الخلق فمن قوله تعالى ” فبما رحمة من الله لنت لهم ” وأما الزهد فمن قوله تعالى ” وقال الذين أوتوا العلم ويلكم ثواب الله خير لمن آمن وعمل صالحاً “ (إحياء علوم الدين : 175 : 1(
“Ulama Akhirat itu dapat dipahami dari lima ayat dalam kitab Allah, yaitu Khasyyah, Khusyu, Tawadlu, baik Akhlak, mengutamakan dunia dan akhirat yaitu zuhud. Adapun khasyyah dipahami dari ayat, “Hanyasannya di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada ulama hanyalah para ulama” (QS. Fathir: 28). Adapun Khusyu’ dipahami dari ayat, “Mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak memperjualbelikan ayat-ayat Allah dengan harga yang murah” (Q.S Ali Imran : 199). Adapun Tawadlu dipahami dari ayat, “Berendah hatilah engkau kepada orang-orang yang beriman” (QS. al-Hijr : 88). Adapun kebaikan akhlak dipahami dari ayat, “Karena rahmat dari Allah engkau bersikap lembut kepada mereka” (QS. Ali Imran : 159). Adapun sikap zuhud dipahami dari ayat berikut, “Celakalah kamu, ketahuilah pahala Allah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan bermal shalih”. (QS. al-Qashash : 80) (Ihya ‘Ulumiddin : 175 : 1)
Wallaahu A’lam bish-Shawaab.