بَابُ اَلْمَسْحِ عَلَى اَلْخُفَّيْنِ
Bab Mengusap Bagian Atas Sepatu
-
عَنْ اَلْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ: كُنْتُ مَعَ اَلنَّبِيِّ فَتَوَضَّأَ فَأَهْوَيْتُ لِأَنْزِعَ خُفَّيْهِ فَقَالَ: دَعْهُمَا فَإِنِّي أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ فَمَسَحَ عَلَيْهِمَا. مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Dari al-Mughirah ibn Syu’bah ra, ia berkata: Aku pernah bersama Nabi saw. Ketika beliau hendak berwudlu aku bermaksud melepaskan dua sepatunya, tapi beliau bersabda: “Biarkanlah, sungguh aku telah memasukkannya dalam keadaan bersih, lalu beliau mengusap bagian atas keduanya.” Disepakati shahihnya (oleh al-Bukhari dan Muslim).
-
وَلِلْأَرْبَعَةِ عَنْهُ إِلَّا النَّسَائِيَّ: أَنَّ اَلنَّبِيَّ مَسَحَ أَعْلَى اَلْخُفِّ وَأَسْفَلَهُ. وَفِي إِسْنَادِهِ ضَعْف
Dalam riwayat Empat Imam, kecuali an-Nasa`i, darinya (al-Mughirah): “Sesungguhnya Nabi saw mengusap bagian atas dan bawah sepatunya.” Tapi dalam sanadnya ada kedla’ifan.
-
وَعَنْ عَلِيٍّ قَالَ: لَوْ كَانَ اَلدِّينُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ اَلْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ, وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اَللَّهِ يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ. أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ حَسَن ٍ
Dari ‘Ali ra, ia berkata: “Seandainya agama itu berdasarkan pikiran pasti bagian bawah sepatu lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya. Tetapi sungguh aku melihat Rasulullah saw mengusap bagian atas dua sepatunya. Abu Dawud meriwayatkannya dengan sanad hasan.
-
وَعَنْ صَفْوَانَ بْنِ عَسَّالٍ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا سَفْرًا أَنْ لَا نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ, إِلَّا مِنْ جَنَابَةٍ وَلَكِنْ مِنْ غَائِطٍ, وَبَوْلٍ, وَنَوْمٍ. أَخْرَجَهُ النَّسَائِيُّ وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَاللَّفْظُ لَهُ, وَابْنُ خُزَيْمَةَ وَصَحَّحَاه
Dari Shafwan ibn ‘Assal ra, ia berkata: “Rasulullah saw memerintahkan kami apabila kami safar untuk tidak melepaskan sepatu-sepatu kami selama tiga hari tiga malam, kecuali jika junub. Tetapi kalau sebatas buang air, kencing, dan tidur (tidak perlu dilepas).” An-Nasa`i dan at-Tirmidzi mengeluarkannya. Tetapi lafazh hadits ini riwayat at-Tirmidzi. At-Tirmidzi dan Ibn Khuzaimah menshahihkannya.
-
وَعَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ: جَعَلَ اَلنَّبِيُّ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ, وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ. يَعْنِي فِي اَلْمَسْحِ عَلَى اَلْخُفَّيْنِ. أَخْرَجَهُ مُسْلِم
Dari ‘Ali ibn Abi Thalib ra, ia berkata: “Nabi saw menjadikan tiga hari tiga malam untuk musafir, dan satu hari satu malam untuk muqim.” Yakni dalam hal mengusap bagian atas sepatu. Muslim mengeluarkannya.
-
وَعَنْ ثَوْبَانَ قَالَ: بَعَثَ رَسُولُ اللهِ سَرِيَّةً, فَأَمَرَهُمْ أَنْ يَمْسَحُوا عَلَى اَلْعَصَائِبِ يَعْنِي اَلْعَمَائِمَ وَالتَّسَاخِينِ يَعْنِي اَلْخِفَافَ. رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِم
Dari Tsauban ra, ia berkata: “Rasulullah saw mengutus sebuah pasukan. Beliau memerintah mereka untuk mengusap pada ‘asha`ib—yakni sorban—dan tasakhin—yakni sepatu.” Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkannya. Al-Hakim menshahihkannya.
-
وَعَنْ عُمَرَ مَوْقُوفًا وعَنْ أَنَسٍ مَرْفُوعًا: إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ وَلَبِسَ خُفَّيْهِ فَلْيَمْسَحْ عَلَيْهِمَا وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا وَلَا يَخْلَعْهُمَا إِنْ شَاءَ إِلَّا مِنْ جَنَابَةٍ. أَخْرَجَهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَه
Dari ‘Umar mauquf dan dari Anas marfu’: “Apabila salah seorang di antara kalian berwudlu dan ia sedang memakai sepatunya, maka hendaklah ia mengusap bagian atasnya, lalu shalatlah dengan memakainya, dan tidak perlu melepaskannya jika ia mau, kecuali jika junub.” Ad-Daraquthni dan al-Hakim mengeluarkannya, dan al-Hakim menshahihkannya.
-
وَعَنْ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ اَلنَّبِيِّ أَنَّهُ رَخَّصَ لِلْمُسَافِرِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ وَلِلْمُقِيمِ يَوْمًا وَلَيْلَةً, إِذَا تَطَهَّرَ فَلَبِسَ خُفَّيْهِ أَنْ يَمْسَحَ عَلَيْهِمَا. أَخْرَجَهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَة
Dari Abu Bakrah ra, dari Nabi saw, “Sesungguhnya beliau memberi rukhshah bagi musafir tiga hari tiga malam, dan bagi muqim satu hari satu malam; apabila bersuci dan ketika itu ia sedang memakai sepatunya, agar ia mengusap bagian atasnya.” Ad-Daraquthni mengeluarkannya, Ibn Khuzaimah menshahihkannya.
-
وَعَنْ أُبَيِّ بْنِ عِمَارَةَ أَنَّهُ قَالَ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ أَمْسَحُ عَلَى اَلْخُفَّيْنِ؟ قَالَ: نَعَمْ قَالَ: يَوْمًا؟ قَالَ: نَعَمْ قَالَ: وَيَوْمَيْنِ؟ قَالَ: نَعَمْ قَالَ: وَثَلَاثَةً؟ قَالَ: نَعَمْ, وَمَا شِئْتَ. أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ وَقَالَ: لَيْسَ بِالْقَوِيِّ
Dari Ubay ibn ‘Imarah ra, bahwasanya ia berkata: “Wahai Rasulullah, bolehkah aku mengusap bagian atas sepatu?” Beliau menjawab: “Ya.” Ia bertanya: “Dua hari?” Beliau menjawab: “Ya.” Ia bertanya: “Tiga hari?” Beliau menjawab: “Ya, pokoknya semau kamu.” Abu Dawud mengeluarkannya dan ia berkata: “Tidak kuat.”
Takhrij Hadits:
Hadits no. 64 statusnya dla’if disebabkan mursal; sanad hadits tersebut tidak sampai pada al-Mughirah, hanya sampai sekretaris al-Mughirah. Menurut Imam Ahmad, pernyataan hadits di atas dari al-Mughirah adalah tambahan yang dibuat-buat dalam sanad, tidak ada dasarnya (at-Talkhishul-Habir 1 : 417).
Hadits no. 71 juga dla’if. Imam Abu Dawud selaku mukharrij hadits tersebut menyatakan: “Sanadnya diperselisihkan, statusnya tidak kuat.” Imam al-Bukhari menilai hadits ini: “Tidak shahih.” Imam an-Nawawi dalam Syarhul-Muhadzdzab menyatakan bahwa para ulama telah bersepakat atas dla’ifnya (at-Talkhishul-Habir 1 : 421).
Syarah Mufradat
Ada empat istilah terkait alas kaki dalam bahasa Arab, yaitu khuff, jurmuq, jaurab, dan na’l. Imam as-Shan’ani menjelaskannya sebagai berikut:
وَالْخُفُّ: نَعْلٌ مِنْ أَدَمٍ يُغَطِّي الْكَعْبَيْنِ. وَالْجُرْمُوْقُ: خُفٌّ كَبِيْرٌ يُلْبَسُ فَوْقَ خُفٍّ صَغِيْرٍ. وَالْجَوْرَبُ فَوْقَ الْجُرْمُوْقِ يُغَطِّي الْكَعْبَيْنِ بَعْضَ التَّغْطِيَةِ دُوْنَ النَّعْلِ، وَهِيَ تَكُوْنُ دُوْنَ الْكِعَابِ
Khuff: Alas kaki dari kulit yang menutupi dua mata kaki. Jurmuq: Khuff besar yang dipakai lebih tinggi dari khuff kecil. Jaurab: Lebih tinggi lagi dari jurmuq dan menutupi dua mata kaki dengan sempurna, berbeda dengan na’l yang dipakai di bawah mata kaki (dan tidak menutup dengan sempurna).
Artinya khuff itu adalah sepatu yang menutup seluruh bagian atas kaki sampai dua mata kaki. Tidak termasuk pada kategori khuff ini sandal, sepatu sandal yang tidak menutupi seluruh bagian atas kaki, atau sepatu yang umum ada pada zaman ini dimana bagian dua mata kakinya tidak tertutup sepatu.
Meski demikian ada keterangan lain yang menyatakan bahwa Nabi saw pernah mengusap jaurab (semacam kaus kaki)-nya:
عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ تَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى الْجَوْرَبَيْنِ وَالنَّعْلَيْنِ
Dari al-Mughirah ibn Syu’bah ra: “Sesungguhnya Rasulullah saw berwudu dan mengusap bagian atas kedua kaus kakinya dan kedua sandalnya.” (Musnad Ahmad no. 17496; Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab al-mash ‘alal-jaurabain no. 159; Sunan at-Tirmidzi abwab at-thaharah bab al-mash ‘alal-jaurabain wan-na’lain no. 99. Al-Albani: Shahih)
Maka dari itu, sandal, sepatu sandal/sandal sepatu, atau sepatu yang umum ada pada zaman ini dan tidak sampai menutupi dua mata kaki, boleh juga diusap berdasarkan ketentuan hadits-hadits di atas, asal dengan kaus kaki yang menutupi sampai dua mata kakinya. Jika hanya sandal, sepatu sandal/sandal sepatu, atau sepatu yang tidak sampai menutupi dua mata kaki, tanpa kaus kaki yang menutupi sampai dua mata kaki, maka tidak berlaku ketentuan mengusap dalam pembahasan ini, sebab hanya boleh untuk khuff dan jaurab yang menutupi bagian atas kaki sampai dua mata kaki.
Syarah Ijmali
Hadits-hadits di atas mengajarkan rukhshah (keringanan) mengusap bagian atas sepatu dalam berwudlu. Meski al-Qur`an mewajibkan “mencuci” untuk kedua kaki, tetapi hadits membolehkan sebatas “mengusap” bagian atas sepatu, tanpa harus “mencuci” kaki.
Syarat dibolehkannya mengusap bagian atas sepatu ketika berwudlu adalah:
Pertama, kedua kaki tersebut ketika dimasukkan ke dalam sepatu harus dalam keadaan suci (63). Suci yang dimaksud adalah suci secara muthlaq (tanpa batasan) sebab tidak ditemukan keterangan yang membatasinya, yakni suci dari hadats (mempunyai wudlu/sesudah mandi/belum batal) dan suci dari najis (tidak ada najis yang melekat).
Kedua, masa berlaku rukhshah ini adalah satu hari satu malam bagi muqim (penduduk/tidak safar), dan tiga hari tiga malam bagi musafir (orang yang safar) (hadits no. 66, 67, dan 70).
Satu hari satu malam atau tiga hari tiga malam tersebut dihitung dari hari pertama ketika kaki dimasukkan ke dalam sepatu dalam keadaan suci. Hari yang dimaksud adalah hari dalam hitungan Islam, yakni dimulai maghrib sampai maghrib hari berikutnya. Jadi kalau dimulai zhuhur, lalu ashar, maka masuk waktu maghrib, itu sudah hitungan hari kedua. Maka bagi yang muqim, di waktu maghrib itu ia harus melepas sepatunya untuk dicuci kakinya seperti biasa, sebab sudah masuk hitungan hari kedua.
Hadits (no. 71) yang menyatakan bahwa rukhshah ini berlaku selama mungkin sesuai keinginan, statusnya dla’if.
Ketiga, masa berlakunya rukhshah ini gugur jika junub (hadits no. 66 dan 69). Bersuci dari junub, yakni dengan mandi, harus tetap dengan melepaskan sepatu, tanpa terkecuali. Sementara jika sebatas buang air besar dan kencing yang harus disucikan dengan wudlu, masih diperbolehkan tidak melepas sepatu. Demikian juga dari tidur tidak menyebabkannya harus melepas sepatu ketika berwudlu.
Hadits no. 69 tidak berarti bahwa yang mengusap bagian atas sepatu wajib shalat menggunakan sepatu tersebut. Perintah Nabi saw dalam hadits tersebut hanya bersifat membolehkan, tidak mengharuskan, sebab ada keterangan “liman sya`a; bagi siapa yang mau”. Artinya boleh shalat menggunakan sepatu, tetapi tidak wajib, apalagi haram. Kecuali jika ditakutkan mengotori masjid/tempat shalat, maka haram dipakai.
Semua hadits di atas mengajarkan mengusap sepatu bagian atasnya, tidak dengan bagian bawahnya. Hadits (no. 64) yang menyatakan bagian bawah sepatu diusap juga, statusnya dla’if.
Dari hadits no. 63 juga bisa diambil istinbath bahwa hukumnya boleh menghormat orang mulia dengan melepaskan sepatunya, dan ini tidak termasuk penghambaan kepada selain Allah swt.
Dari pernyataan ‘Ali dalam hadits no. 65 juga bisa diambil pelajaran bahwa Islam itu dasarnya bukan ra`yu (akal pikiran) tapi wahyu. Meski demikian bukan berarti Islam menolak peran akal sama sekali. Akal diakui sebagai salah satu sumber kebenaran selama tidak menentang wahyu.