-
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: جَاءَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبِي حُبَيْشٍ إِلَى اَلنَّبِيِّ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي امْرَأَةٌ أُسْتَحَاضُ فَلَا أَطْهُرُ أَفَأَدَعُ اَلصَّلاَةَ؟ قَالَ: لاَ إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِحَيْضٍ فَإِذَا أَقْبَلَتْ حَيْضَتُكِ فَدَعِي الصَّلاَةَ, وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِيْ عَنْكِ الدَّمَ ثُمَّ صَلِّي. مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Dari ‘Aisyah —semoga Allah meridlainya—ia berkata: Fathimah binti Abi Hubaisy datang kepada Nabi—shalawat dan salam untuknya—, lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, sungguh saya seorang wanita yang istihadlah (mengeluarkan banyak darah karena luka dinding rahim) dan tidak bersih, apakah saya harus meninggalkan shalat?” Beliau menjawab: “Tidak, itu hanya luka, bukan haidl. Apabila haidlmu tiba tinggalkan shalat, apabila haidlmu selesai cucilah darahnya, kemudian shalatlah.” Disepakati shahihnya.
-
وَلِلْبُخَارِيِّ: ثُمَّ تَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلاَةٍ وَأَشَارَ مُسْلِمٌ إِلَى أَنَّهُ حَذَفَهَا عَمْدًا
Dalam riwayat al-Bukhari: “Kemudian berwudlulah kamu pada setiap shalat.” Sementara Imam Muslim berisyarat bahwasanya ia sengaja mencoret kalimat tersebut.
Takhrij Hadits
Dalam Shahih al-Bukhari hadits ini ditulis dalam kitab al-wudlu bab ghaslid-dam no. 228. Sementara dalam Shahih Muslim hadits ini ditulis dalam kitab al-haidl bab al-mustahadlah wa ghusliha wa shalatiha no. 779-780.
Dalam dua hadits di atas yang dicantumkannya di kitab Bulughul-Maram, al-Hafizh Ibn Hajar tampak sengaja membedakan antara riwayat yang disepakati oleh al-Bukhari-Muslim (no. 73) dengan riwayat yang disetujui shahihnya oleh al-Bukhari saja, tetapi Imam Muslim tidak menyetujui keshahihannya (no. 74). Yakni bahwa Imam Muslim tidak menyetujui jika perintah Nabi saw untuk berwudlu di setiap shalat bagi yang istihadlah itu sebagai shahih dari Nabi saw, meski Imam al-Bukhari menshahihkannya. Redaksi riwayat al-Bukhari yang tidak disetujui oleh Imam Muslim keshahihannya adalah sebagai berikut:
قَالَ وَقَالَ أَبِي ثُمَّ تَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلَاةٍ حَتَّى يَجِيءَ ذَلِكَ الْوَقْتُ
Hisyam berkata: Ayahku (‘Urwah ibn az-Zubair [tabi’in yang menerima riwayat ini dari ‘Aisyah]) berkata (bahwa Nabi saw kemudian bersabda): “Kemudian berwudlulah setiap kali shalat sampai datang waktu itu (haidl)”
Sementara Imam Muslim sengaja membuang kalimat di atas. Penuturannya:
وَفِى حَدِيثِ حَمَّادِ بْنِ زَيْدٍ زِيَادَةُ حَرْفٍ تَرَكْنَا ذِكْرَهُ
Dalam hadits Hammad ibn Zaid ada tambahan kalimat yang kami sengaja tidak menyebutkannya (Shahih Muslim no. 780).
Tambahan kalimat yang dimaksud yakni “perintah wudlu untuk setiap shalat”. Imam Muslim sengaja membuangnya karena diduga kuat tambahan itu dari Hammad ibn Zaid, bukan dari Nabi saw. Sebab guru Hammad, yakni Hisyam ibn ‘Urwah, meriwayatkan hadits ini tidak hanya ke Hammad, tetapi juga ke ‘Abdul-‘Aziz ibn Muhammad, Abu Mu’awiyah, Jarir, Numair dan Waki’. Tetapi yang menyatakan adanya “perintah wudlu untuk setiap shalat” hanya Hammad saja, sementara yang lain tidak. Imam an-Nasa`i juga menyatakan hal yang sama. Sementara Abu Dawud yang juga menghimpun periwayatan tentang cara bersuci wanita istihadlah dengan mengharuskan wudlu ini dari berbagai sanad lain selain Hammad menemukan fakta bahwa kesemua sanad tersebut dla’if (Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim mengutip pernyataan al-Qadli ‘Iyadl).
Perbedaan tersebut menimbulkan konsekuensi hukum yang berbeda, yakni apakah wanita istihadlah bersuci dengan mandi ataukah boleh dengan wudlu? Imam Muslim yang hanya mengakomodir riwayat-riwayat yang menyatakan wanita istihadlah harus mandi berarti ada dalam pendapat bahwa wanita istihadlah itu hanya harus mandi, tidak ada pilihan wudlu. Sementara al-Bukhari yang mengakomodir juga riwayat yang membolehkan wanita istihadlah bersuci dengan cara wudlu, berarti berpendapat bahwa wanita istihadlah boleh berwudlu.
Al-Hafizh sendiri sebagaimana terbaca dari hadits dalam Bulughul-Maram di atas menyetujui keshahihan hadits “perintah wudlu untuk setiap shalat bagi wanita istihadlah”. Dalam Fathul-Bari, al-Hafizh membantah pendapat yang menyatakan bahwa hadits di atas mudraj (sebagai tambahan kalimat dari Hammad), sebab faktanya Hammad tidak sendiri meriwayatkan adanya “perintah berwudlu” tersebut dari Hisyam. Terdapat juga rawi lain yang sama meriwayatkan dari Hisyam dengan menyebut “perintah berwudlu”, yakni Abu Mu’awiyah (yang haditsnya dimuat al-Bukhari dalam kitab Shahihnya), Hammad ibn Salamah dan Yahya ibn Sulaim (yang haditsnya dimuat ad-Darami dalam Sunannya). Pernyataan yang memerintahkan wudlu tersebut juga bukan dari ‘Urwah, sebab kalimatnya perintah: “Kemudian berwudlulah kamu pada setiap shalat,” sama seperti perintah mandi kepada wanita yang haidl: “Cucilah darahnya, kemudian shalatlah,” yang berarti sama dari Nabi saw. Jika itu adalah perkataan ‘Urwah, pasti pernyataannya: “Kemudian hendaknya ia berwudlu di setiap shalat,” karena sedang bercerita atau berfatwa. Sementara dalam hadits di atas redaksinya perintah kepada “kamu”, berarti itu perintah dari Nabi saw kepada Fathimah, shahabat perempuan yang bertanya istihadlah (Fathul-Bari kitab al-haidl bab al-istihadlah).
Syarah Mufradat
Istihadlah menurut al-Hafizh Ibn Hajar adalah darah yang keluar terus menerus sesudah habis masa haidl yang biasa:
يُقَالُ اُسْتُحِيضَتْ الْمَرْأَة إِذَا اِسْتَمَرَّ بِهَا الدَّمُ بَعْدَ أَيَّامِهَا الْمُعْتَادَةِ فَهِيَ مُسْتَحَاضَة وَالِاسْتِحَاضَة جَرَيَان الدَّمِ مِنْ فَرْجِ الْمَرْأَةِ فِي غَيْرِ أَوَانِهِ
Jika ada pernyataan: “Perempuan itu terkena istihadlah” maksudnya apabila darah terus-menerus keluar sesudah hari-hari yang biasa (haidl). Maka perempuan itu disebut mustahadlah. Dan istihadlah adalah keluarnya darah dari farji perempuan di luar waktu kebiasaannya (Fathul-Bari kitab al-wudlu bab ghaslid-dam).
Dalam hadits lain, masih di Bulughul-Maram, ketika Rasul saw ditanya tentang istihadlah, Rasul saw menjawab dengan membandingkannya pada darah haidl:
إِنَّ دَمَ اَلْحَيْضِ دَمٌ أَسْوَدُ يُعْرَفُ, فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ فَأَمْسِكِي مِنَ اَلصَّلَاةِ, فَإِذَا كَانَ اَلْآخَرُ فَتَوَضَّئِي, وَصَلِّي
“Sesungguhnya darah haidl itu darah agak hitam yang mudah dikenali. Maka jika itu ada, berhentilah dari shalat. Jika darah selain itu, wudlulah dan shalatlah.” (Abu Dawud. Bulughul-Maram no. 149).
Dalam riwayat lain, yang kali ini kasusnya dialami oleh Hamnah binti Jahsy, ketika Nabi saw ditanya tentang istihadlah, beliau menjawab:
إِنَّمَا هِيَ رَكْضَةٌ مِنَ اَلشَّيْطَانِ, فَتَحَيَّضِي سِتَّةَ أَيَّامٍ, أَوْ سَبْعَةً, ثُمَّ اِغْتَسِلِي, فَإِذَا اسْتَنْقَأْتِ فَصَلِّي أَرْبَعَةً وَعِشْرِينَ, أَوْ ثَلَاثَةً وَعِشْرِينَ, وَصُومِي وَصَلِّي, فَإِنَّ ذَلِكَ يُجْزِئُكَ, وَكَذَلِكَ فَافْعَلِي كَمَا تَحِيضُ اَلنِّسَاءُ, فَإِنْ قَوِيتِ عَلَى أَنْ تُؤَخِّرِي اَلظُّهْرَ وَتُعَجِّلِي اَلْعَصْرَ, ثُمَّ تَغْتَسِلِي حِينَ تَطْهُرِينَ وَتُصَلِّينَ اَلظُّهْرَ وَالْعَصْرِ جَمِيعًا, ثُمَّ تُؤَخِّرِينَ اَلْمَغْرِبَ وَتُعَجِّلِينَ اَلْعِشَاءِ, ثُمَّ تَغْتَسِلِينَ وَتَجْمَعِينَ بَيْنَ اَلصَّلَاتَيْنِ, فَافْعَلِي. وَتَغْتَسِلِينَ مَعَ اَلصُّبْحِ وَتُصَلِّينَ. قَالَ: وَهُوَ أَعْجَبُ اَلْأَمْرَيْنِ إِلَيَّ
Hanyasanya itu gangguan dari setan. Maka hitunglah haidlmu enam atau tujuh hari. Kemudian mandilah. Apabila selesai shalatlah selama 24 atau 23 hari (tergantung hitungan haidl; 6 atau 7 hari). Shaumlah dan shalatlah, itu cukup untukmu. Demikian juga lakukanlah olehmu sebagaimana yang dilakukan wanita-wanita yang haidl (hukum seputar haidl diberlakukan ketika hitungan haidl yang 6 atau 7 hari). Jika kamu kuat untuk mengakhirkan zhuhur dan mengawalkan ashar, kemudian kamu mandi ketika suci (dari hitungan haidl), dan kamu shalat zhuhur dan ‘ashar dijama’; demikian juga jika kamu mampu mengakhirkan maghrib dan mengawalkan ‘Isya, kemudian kamu mandi dan menjama’ dua shalat tersebut, lakukanlah. Dan kamu juga mandi di waktu shubuh dan shalat shubuh. Itu adalah yang paling aku senangi dari dua perkara. (Bulughul-Maram no. 151).
Dua jawaban Nabi saw di atas mengindikasikan dua hal: Pertama, jika mungkin dikenali, maka kenalilah darahnya. Jika itu darah haidl, pasti mudah dikenal. Kaum perempuan lebih tahu dalam hal ini. Kedua, jika pendarahannya banyak dan terus-terusan sehingga susah untuk dikenali, maka berlakukanlah haidl dalam siklus yang normal biasanya haidl; enam atau tujuh hari. Selebihnya dari itu, masuk kategori istihadlah.
Berdasarkan sabda Nabi saw di atas, maka pendarahan yang terus-menerus keluar akibat dari mengkonsumsi pil KB, misalnya, maka masuk kategori istihadlah. Sebab darah keluar di luar siklus yang normal.
Syarah Ijmali
Berdasarkan hadits di atas, wanita yang istihadlah wajib berwudlu pada setiap kali shalat. Itu artinya istihadlah termasuk hadats kecil. Dalam konteks inilah al-Hafizh Ibn Hajar memasukkan hadits ini dalam “bab pembatal wudlu”.
Meski demikian, ada pilihan lain selain wudlu sebagaimana yang tertulis dalam Bulughul-Maram no. 151 di atas, yakni mandi sehari tiga kali; 1 kali untuk shalat Zhuhur dan ‘Ashar dengan cara Zhuhur diakhirkan dan ‘Ashar diawalkan sehingga shalatnya dijama’, 1 kali untuk shalat Maghrib dan ‘Isya dengan cara Maghrib diakhirkan dan ‘Isya diawalkan sehingga shalatnya dijama’, dan 1 kali lagi untuk shalat Shubuh. Cara ini menurut beliau lebih dianjurkan daripada wudlu di setiap waktu shalat.
Berdasarkan hadits ini sebagian ulama memahami bahwa darah itu najis, kotor dan tidak bersih/suci. Sebagaimana juga telah difirmankan Allah swt dalam al-Qur`an:
قُلْ لَّآ اَجِدُ فِيْ مَآ اُوْحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلٰى طَاعِمٍ يَّطْعَمُهٗٓ اِلَّآ اَنْ يَّكُوْنَ مَيْتَةً اَوْ دَمًا مَّسْفُوْحًا اَوْ لَحْمَ خِنْزِيْرٍ فَاِنَّهٗ رِجْسٌ اَوْ فِسْقًا اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖۚ
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. al-An’am [6] : 145)
Akan tetapi tidak berarti bahwa orang yang keluar darah terus menerus dari tubuhnya harus selalu bersih sebelum shalat, jika tidak berhenti pendarahannya berarti shalatnya tidak sah. Berdasarkan hadits di atas, meskipun darah terus keluar, shalat tetap wajib dan wudlu di setiap kali shalat, minimalnya. Darah yang keluar cukup ditahan, misalnya dengan perban atau semacamnya. Selebihnya masuk kategori darurat untuk dihilangkan. Yang jelas shalat tetap wajib dilaksanakan.
Diqiyaskan pada hadits ini orang yang selalu keluar air kencing/wadi, air madzi, atau sering kentut, mereka semua tetap harus shalat dan wudlu di setiap shalat.
Hadits ini juga membolehkan lelaki dan perempuan yang sudah menikah berbincang-bincang dengan lawan jenisnya jika yang diperbincangkan itu urusan agama. Sebagaimana halnya Nabi saw yang berbincang-bincang dengan Fathimah binti Abi Hubaisy dan Hamnah binti Jahsy yang disaksikan istrinya, ‘Aisyah, tentang darah istihadlah ini.