Fatwa MUI Jatim yang membid’ahkan salam semua agama menuai respon pro dan kontra dari masyarakat; mulai dari pejabat hingga masyarakat akar rumput. Sebabnya salam semacam itu sudah jamak dilakukan oleh para pejabat mulai dari Presiden hingga Ketua RT sehingga dianggap hal yang lumrah belaka, tidak ada yang dianggap salah. Kaum yang sering dipanggil ulama pun terbelah dalam menyikapinya. Bagaimana semestinya umat Islam bersikap?
Salam semua agama itu adalah ucapan salam “Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wabarakatuh”, kemudian dilanjutkan dengan salam agama lain yakni; salam sejahtera untuk kita semua (salam kaum Kristiani), “Om Swastyastu” (Salam Kaum Hindu) yang berarti “semoga dalam keadaan selamat atas karunia Hyang Widhi (tuhan kaum Hindu)”, “Namo Buddhaya” (salam kaum Buddha) yang berarti “terpujilah sang Buddha”; dan “Salam Kebajikan” (salam kaum Konghucu) sebagai yang berarti “hanya kebajikan Tuhan berkenan”.
Salam semacam itu dinyatakan oleh MUI Jatim melalui surat edaran bernomor 110/MUI/JTM/2019 yang ditandatangani oleh Ketua MUI Jatim KH. Abdusshomad Buchori dan Sekretaris Umum Ainul Yaqin. Dalam surat edaran tersebut, dijelaskan bahwa jika mengucapkan salam pembuka dengan salam semua agama merupakan perkara yang baru dan termasuk dalam perbuatan bid’ah, atau minimal dikategorikan menjadi syubhat yang patut untuk dihindari. Ketua MUI Jatim KH. Abdusshomad Buchori menyampaikan jika fatwa MUI Jatim ini merupakan tindak lanjut dari rekomendasi Rapat Kerja Nasional (Rakernas) MUI di Nusa Tenggara Barat, 11-13 Oktober 2019 sebelumnya.
Abdusshomad menjelaskan, bahwa salam dalam Islam merupakan bagian dari do’a yang tidak terlepas dari rangkaian ibadah seorang muslim. Pengucapan salam pembuka dalam Islam bukan sekedar basa-basi, tetapi bagian dari saling mendo’akan di antara sesama muslim. “Salam, Assalamualaikum itu do’a, salam itu termasuk do’a dan do’a itu ibadah. Sehingga kalau saya menyebut Assalamualaikum itu do’a semoga Allah SWT memberi keselamatan kepada kamu sekalian dan itu salam umat Islam,” ucapnya.
Senada dengan MUI Jatim, MUI Pusat juga mendukung imbauan yang dikeluarkan tersebut. Sekjen MUI, Anwar Abbas mengatakan “Bagus. Karena di dalam setiap do’a itu dalam Islam ada dimensi teologis dan dimensi ibadahnya. Adanya fatwa dari MUI Jatim ini menjadi penting karena, dengan adanya fatwa tersebut, maka umat tidak bingung sehingga mereka bisa tertuntun secara agama dalam bersikap dan dalam membangun hubungan baik dengan umat dari agama lain”. Anwar menjelaskan jika salam dalam Islam adalah bagian dari ibadah, dimana seorang hamba memohon kepada Rabb-nya. Permohonan ini hanya dan untuk Allah semata, tidak boleh ditujukan kepada selain-Nya.
Toleransi antar umat beragama bukan berarti membenarkan salam semua agama, sebab ibadah satu sama lain tidak dapat saling dicampur adukkan. “Kita tidak boleh memaksakan kepercayaan dan keyakinan suatu agama kepada pengikut agama lain. Untuk itu, dalam hal ini agar tidak terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan, maka masing-masing kita harus bisa dalam kehidupan kita sehari-hari untuk saling menghormati ucapan salam yang disampaikan oleh pemeluk suatu agama dengan mempergunakan salam yang sudah lazim dalam agamanya tanpa harus menambah dan mengucapkan salam yang akan disampaikannya dengan salam dalam agama lain,” jelas Anwar.
Berbeda dengan MUI Jatim, Wakil Ketua Pengurus Wilayah Muhammadiyah Jatim, Nadjib Hamid menyatakan pihaknya tidak masalah dengan ucapan salam lintas agama atau salam semua agama. Sebab menurutnya hal itu bukanlah sesuatu yang mengganggu aqidah, melainkan sekedar sapaan belaka. “Ya, kalau sepanjang seremonial biasa ya ndak apa-apa. Memang hal itu ndak nyaman buat orang-orang tertentu. Tapi anggap saja itu sekedar salam menyapa saja. Tapi ndak ada hubungannya dengan aqidah,” kata Nadjib. Ia juga menyampaikan jika ungkapan salam semua agama adalah upaya untuk saling menghargai. Tidak ada kewajiban untuk mengucapkan salam semua agama, namun jika ada yang melakukannya tidak apa-apa karena tidak ada larangannya.
Pandangan yang berbeda diberikan oleh Katib Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim, KH Syafruddin Syarif, ia menyampaikan jika imbauan MUI Jatim itu adalah hal yang tepat. “Islam cukup dengan cara Islam, agama lain juga begitu, tanpa harus diganggu. Yang Islam pakai salamnya Islam. Budha, Kristen, Hindu dan sebagainya juga gunakan salam masing-masing. Menurut saya itu surat MUI Jatim sudah pas,” ujarnya, Senin (11/11).
Imbauan MUI Jatim ini, menurut Syafruddin sudah sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai pedoman dalam Islam. Berkaitan dengan toleransi, menurutnya toleransi bukanlah mencampuradukkan seluruh agama yang ada, tetapi adalah saling menghargai dan menghormati satu-sama lain tanpa memaksakan agama masing-masing. Namun, sikapnya ini adalah sikap atau pendapat individu, tidak mewakili PWNU Jatim.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sendiri menilai jika ucapan salam semua agama oleh pejabat muslim dalam sebuah pidato resmi kenegaraan sebagai sebuah budaya. Budaya ini merupakan wujud dari ukhuwah wasathaniyyah atau persaudaraan. Hal ini disampaikan oleh Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini dalam merespon fatwa MUI Jatim. “Sebagai salam kebangsaan yang tentu semua para tokoh atau pemimpin bermaksud untuk mempersatukan, sepanjang yang saya lihat dari berbagai forum tidak ada satu pun yang berniat menistakan, melecehkan, atau menodai,” ungkap Helmy.
Sementara itu, Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi menilai jika apa yang disampaikan MUI Jatim ini adalah produk imbauan, bukan fatwa. Zainut meminta semua pihak untuk tidak memperdebatkan persoalan salam semua agama ini, sebab permasalahan ini sedang dikaji oleh Komisi Fatwa MUI Pusat. Menurutnya, permasalahan salam semua agama ini adalah persoalan furu’iyyah atau perbedaan pendapat. “Saya kira kita semuanya harus memahami konteks masalahnya. Sehingga kita tidak perlu memperdebatkan, tidak perlu kita mempermasalahkan ya,” Ungkap Zainut Tauhid, Selasa (12/11/2019).
Respon berbeda tak hanya ditujukan di antara berbagai ormas Islam saja, tetapi juga di kalangan pejabat. Imbauan MUI Jatim ini mendapatkan respon yang berbeda-beda. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, merasa berat dengan imbauan yang dikeluarkan oleh MUI Jatim. Menurutnya, salam semua agama adalah bentuk penghormatan kepada semua pemeluk agama. Risma mengatakan jika sebagai Kepala Daerah, ia memiliki masyarakat dengan berbagai latar belakang yang berbeda, termasuk urusan agama. Sebab itu, ia perlu menghormati seluruh masyarakatnya salah satunya dengan salam semua agama tanpa membedakan satu sama lain.
Sementara itu, Ketua MPR Bambang Soesatyo merespon imbauan MUI Jatim tersebut dengan menegaskan bahwa sikap toleransi harus dikedepankan. Menurutnya, salam semua agama ini menunjukkan sikap toleransi dan tidak berpengaruh pada keyakinan seseorang. “Yang terpenting tidak mempengaruhi keyakinan kita masing-masing terhadap agama kita masing-masing. Salam agama itu penting menunjukkan bahwa kita memiliki sikap toleransi yang tinggi oleh pemeluk agama di Indonesia,” kata Bamsoet, Senin (11/11).
Pejabat Negara lainnya, memberikan respon yang senada tentang imbauan MUI Jatim berkaitan salam semua agama. Sebut saja Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Gubernur Bali Wayan Koster, Gubernur NTT Viktor Laiskodat, dan sederet pejabat lainnya menganggap jika salam semua Agama adalah bagian dari sikap toleransi yang tidak perlu dipermasalahkan. Salam semua agama ini juga dianggapnya sebagai sesuatu hal yang dapat menjaga keharmonisan dan kerukunan di antara umat beragama.
Imbauan MUI Jatim yang menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat, juga berbagai respon yang berbeda diberikan oleh masyarakat ataupun pejabat, tentu semakin menyadarkan kita untuk terus mengkaji dan menggali berbagai persoalan yang hadir di tengah-tengah kehidupan. Menyikapi berbagai perbedaan yang ada, kita perlu mengembalikan berbagai permasalahan pada ahlinya. Mengkaji kembali makna salam, memahami kembali makna ibadah, meresapi kembali dengan benar makna toleransi, sehingga keputusan yang diambil menjadi lebih menenangkan. Saat timbul berbagai pertanyaan, maka kembalikan pada al-Qur’an dan as-Sunnah, dan sebaik-baik penerjemah dan pembimbing dari pedoman kehidupan tersebut ialah para Ulama pewaris para nabi.
Penulis : Elfa Muhammad Ihsan Al Aufa, Staff Pengajar Pesantren PERSIS 27 Situ Aksan Bandung
Dari berbagai sumber