Akhir-akhir ini viral larangan tulis ucapan Natal di Kue. Tetapi Ketua MUI Non-Aktif menyatakan tidak ada larangan pasti karena MUI juga belum mengeluarkan fatwa. Menurutnya, para ulama juga ada yang membolehkan mengucapkan selamat Natal. Apakah benar demikian?
Dasar pijakan syari’at itu bukan fatwa MUI, melainkan al-Qur`an dan Sunnah, dikuatkan oleh Ijma’ dan Qiyas. Fatwa MUI hanya sekedar penguatan syari’at khusus untuk umat Islam Indonesia. Seandainya tidak ada fatwa MUI pun hukum syari’at tetap ada dan berlaku, termasuk dalam hal larangan mengucapkan selamat Natal.
Akan tetapi jika qiyas hendak diberlakukan dalam kasus fatwa MUI, sebenarnya sudah cukup juga untuk dijadikan dasar pegangan oleh umat Islam Indonesia. Pada tahun 1981 MUI yang dipimpin Buya Hamka sudah mengeluarkan fatwa sebagai berikut:
- Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa AS, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan di atas.
- Mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram.
- Agar umat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.
Ditetapkan di Jakarta, 1 Jumadil Awal 1401 H/7 Maret 1981 M.
Maksud “soal-soal yang diterangkan di atas” adalah yang diuraikan dalam konsiderannya, yakni:
- Bahwa umat Islam tidak boleh mencampuradukkan akidah dan peribadatan agamanya dengan akidah dan peribadatan agama lain berdasarkan: QS. al-Kafirun [109] : 1-6, al-Baqarah [2] : 42
- …
- Bahwa barangsiapa berkeyakinan bahwa Tuhan itu lebih dari satu, Tuhan itu mempunyai anak, Isa al Masih itu anaknya, maka orang itu kafir dan musyrik, berdasarkan atas: QS. al-Ma`idah [5] : 72-73; at-Taubah [9] : 30.
- Bahwa Allah pada hari kiamat nanti akan menanyakan Isa, apakah dia pada waktu di dunia menyuruh kaumnya, agar mereka mengakui Isa dan ibunya (Maryam) sebagai Tuhan. Isa menjawab “tidak”. Hal itu berdasarkan atas: QS. al-Ma`idah [5] : 1-4.
Fatwa lainnya adalah yang dikeluarkan pada Tahun 2016 tentang pemakaian atribut Natal, seperti salib, rosario, topi sinterclas, pohon cemara, gambar atau replika Yesus dan Maria, dan atribut-atribut lainnya. Petikan fatwa tersebut adalah:
Menggunakan atribut keagamaan non-Muslim adalah haram.
Pemerintah wajib mencegah, mengawasi dan menindak pihak-pihak yang membuat peraturan yang sifatnya memaksa dan menekan pegawai Muslim untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama seperti aturan dan pemaksaan penggunaan atribut keagamaan non-Muslim.
Kedua fatwa di atas jelas didasarkan pada ketentuan syari’at bahwa Natal termasuk perayaan keagamaan non-Muslim dan bahwa Natal adalah meyakini kedudukan Nabi Isa sebagai putra Allah. Ini berarti sudah masuk dua ranah sekaligus; aqidah dan ibadah, dimana haram hukumnya mencampuradukkan aqidah dan ibadah Islam dengan aqidah dan ibadah non-Islam.
Dalam konteks ranah aqidah jelas tidak bisa ditolerir jika “Allah punya anak” diberikan selamat, turut dirayakan dengan atribut Natal, atau turut diakui dengan mengikuti perayaan upacara Natalnya. Semua praktik-praktik tersebut juga termasuk ibadah karena salam (mengucapkan selamat) merupakan aspek ibadah yang diatur Islam, demikian halnya merayakan perayaan keagamaan yang otomatis terikat dengan peribadatan.
Jangankan mengucapkan selamat terkait momentum kelahiran Nabi Isa sebagai putra Tuhannya, mengucapkan selamat biasa saja kepada orang kafir tanpa ada kaitan dengan Natal, hukumnya sudah haram. Nabi saw tegas menyatakan:
لاَ تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ فَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِى طَرِيقٍ فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ
Janganlah kalian memulai mengucapkan salam kepada Yahudi dan Kristen. Jika kalian bertemu salah seorang di antara mereka pada satu jalan, seretlah mereka pada tempat yang sempit (Shahih Muslim kitab as-salam bab an-nahy ‘an ibtida`i ahlil-kitab bis-salam no. 5789. Hadits ini juga menjadi ajaran bahwa orang Islam dan orang kafir tidak bisa disamakan dalam hal tempat di jalan ataupun tempat umum lainnya. Orang Islam harus selalu yang paling depan dan menempati tempat yang utama).
Terkait klaim adanya ulama yang membolehkan, Imam an-Nawawi menjelaskan seperti berikut ini dalam kitab Syarah Shahih Muslim terkait hadits di atas:
وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاء فِي رَدّ السَّلَام عَلَى الْكُفَّار وَابْتِدَائِهِمْ بِهِ، فَمَذْهَبنَا تَحْرِيم اِبْتِدَائِهِمْ بِهِ وَوُجُوب رَدّه عَلَيْهِمْ بِأَنْ يَقُول: وَعَلَيْكُمْ أَوْ عَلَيْكُمْ فَقَطْ، وَدَلِيلنَا فِي الِابْتِدَاء قَوْله (لَا تَبْدَءُوا الْيَهُود وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ) وَفِي الرَّدّ قَوْله (فَقُولُوا : وَعَلَيْكُمْ) وَبِهَذَا الَّذِي ذَكَرْنَاهُ عَنْ مَذْهَبنَا قَالَ أَكْثَر الْعُلَمَاء وَعَامَّة السَّلَف
Para ulama berbeda pendapat tentang menjawab dan memulai salam kepada orang kafir. Madzhab kami: Haram memulai salam kepada mereka dan wajib menjawabnya dengan mengucapkan: wa ‘alaikum atau ‘alaikum saja. Dalil kami tentang haram memulai, sabda Nabi saw: “Janganlah memulai salam kepada Yahudi dan Kristen.” Dalil menjawab salam, sabda Nabi saw: “Jawablah: wa ‘alaikum”. Seperti ini juga madzhab mayoritas ulama dan salaf.
وَذَهَبَتْ طَائِفَة إِلَى جَوَاز اِبْتِدَائِنَا لَهُمْ بِالسَّلَامِ … وَاحْتَجَّ هَؤُلَاءِ بِعُمُومِ الْأَحَادِيث، وَبِإِفْشَاءِ السَّلَام، وَهِيَ حُجَّة بَاطِلَة لِأَنَّهُ عَامّ مَخْصُوص بِحَدِيثِ (لَا تَبْدَءُوا الْيَهُود وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ)
Ada sekelompok ulama yang berpendapat boleh memulai salam kepada mereka… Dalil mereka adalah hadits-hadits yang umum tentang menyebarkan salam. Tetapi itu hujjah yang bathil karena hadits itu umum dan sudah dikhususkan dengan hadits: “Janganlah memulai salam kepada Yahudi dan Kristen.”
وَقَالَ بَعْض أَصْحَابنَا : يُكْرَه اِبْتِدَاؤُهُمْ بِالسَّلَامِ وَلَا يَحْرُم، وَهَذَا ضَعِيف أَيْضًا لِأَنَّ النَّهْي لِلتَّحْرِيمِ. فَالصَّوَاب تَحْرِيم اِبْتِدَائِهِمْ
Sebagian ulama ada yang berpendapat: “Makruh memulai salam kepada mereka, tidak sampai haram.” Ini dla’if juga karena larangan itu maknanya haram. Yang tepat adalah haram memulai salam.
وَحَكَى الْقَاضِي عَنْ جَمَاعَة أَنَّهُ يَجُوز اِبْتِدَاؤُهُمْ بِهِ لِلضَّرُورَةِ وَالْحَاجَة أَوْ سَبَب وَهُوَ قَوْل عَلْقَمَة وَالنَّخَعِيِّ
Al-Qadli menceritakan dari sekelompok ulama bahwasanya boleh memulai salam kepada orang kafir karena dlarurat, hajat (kebutuhan), atau sebab lainnya. Itu adalah pendapat ‘Alqamah dan an-Nakha’i.
وَقَالَ بَعْض أَصْحَابنَا : يَجُوز أَنْ يَقُول فِي الرَّدّ عَلَيْهِمْ : وَعَلَيْكُمْ السَّلَام ، وَلَكِنْ لَا يَقُول : وَرَحْمَة اللَّه . حَكَاهُ الْمَاوَرْدِيّ ، وَهُوَ ضَعِيف مُخَالِف لِلْأَحَادِيثِ وَاللَّه أَعْلَم
Sebagian ulama berpendapat: “Boleh menjawab salam mereka: wa ‘alaikumus salam. Tetapi tidak boleh mengucapkan wa rahmatul-’Llah. Diceritakan oleh al-Mawardi. Pendapat ini dla’if juga karena menyalahi hadits-hadits. Wal-’Llahu a’lam.
Bisa diketahui dengan jelas dari uraian di atas bahwa benar adanya ulama yang memfatwakan boleh atau makruh, tetapi fatwa tersebut bathil karena menyalahi syari’at yang sudah ditetapkan dalam hadits dan menegaskan larangan haram. Kalaupun ada yang membolehkan karena dlarurat atau hajat, itu hanya pendapat dua orang ulama saja yang kedudukannya marjuh (lemah) karena menyalahi fatwa jumhur. Seandainya benar demikian apa dlarurat dan hajatnya bagi umat Islam Indonesia sehingga terpaksa harus mengucapkan selamat Natal? Apakah karena umat Islam sedang dijajah oleh kaum kristiani? Ataukah karena kerukunan terganggu jika tidak mengucapkan selamat Natal? Itu semua hanya dalih. Padahal sudah jelas kerukunan dasarnya toleransi. Dan toleransi itu lakum dinukum wa liya din, bukan malah turut berbahagia atas kelahiran anak bagi Tuhan. Na’udzu bil-‘Llah.
Dewan Kajian Masa`il:
Nashruddin Syarief, Robi Permana, Iwan Abu ‘Ayyasy, Irsyad Taufieq Rahman, Achmad Nurdiyansyah, Oman Warman, Muhammad Atim, Husna Hisaba Kholid, Saeful Japar Sidik, Fauzy Barokah Ramdani, Iwan Ridwan