Analisis Hadits Larangan Demonstrasi Secara Terang-terangan
Demonstrasi disebut dengan istilah Muzhaharah, yaitu sebuah media dan sarana penyampaian gagasan atau ide-ide yang dianggap benar dan berupaya mensyiarkannya dalam bentuk pengerahan masa.
Demonstrasi menjadi lokomotif rakyat umum untuk dijadikannya sarana protes (amar makruf nahi munkar) terhadap berbagai problematika publik. Dalam aksinya, banyak hal yang menjadi polemik dalam demonstrasi itu sendiri. Kerusuhan, anarkis, arogan, perusakan transportasi umum dan hal-hal negatif sering dikaitkan dengan aksi demonstrasi, namun disisi lain ada beberapa problematika rakyat yang bisa terselesaikan lebih cepat dengan cara berunjuk rasa (demontrasi damai).[1] Terkait perbedaan praktek inilah hukumpun tidak lepas dari berbagi pendapat, terjadi pro-kontra antar ulama terkait hukum yang membolehkannya[2] dan atau mengharamkannya.[3]
Terdapat suatu Hadis yang dijadikan pegangan pokok terkait haramnya demontrasi, dengan alasan semua urusan bisa diselesaikan hanya dengan kelemah-lembutan dan menggandeng pemimpin dengan berdialog secara individu, bukan berunjuk rasa dengan terang-terangan. Hadis yang di maksud adalah:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ، فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ، فَيَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ “، وَإِنَّكَ يَا هِشَامُ لَأَنْتَ الْجَرِيءُ، إِذْ تَجْتَرِئُ عَلَى سُلْطَانِ اللهِ، فَهَلَّا خَشِيتَ أَنْ يَقْتُلَكَ السُّلْطَانُ، فَتَكُونَ قَتِيلَ سُلْطَانِ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
“Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa dengan suatu perkara, maka jangan dilakukan dengan terang-terangan, tapi gandenglah tangannya dan menyepilah berdua. Jika diterima memang begitu, jika tidak maka dia telah melaksakan kewajibannya”, kamu Wahai Hisyam, kamu sungguh orang yang berani, jika kamu berani kepada penguasa Allah, kenapa kamu tidak takut dibunuh penguasa dan kau menjadi korban penguasa Allah subhanahu wata’ala”.
KLASIFIKASI SANAD
Hadits ini memiliki 3 jalur sanad pokok yang bermuara kepada Iyadh bin Ghanam dan Hisyam bin Hakim.
- Jalur Shafwan ibn Amr as Saksaki dari Suraih ibn Ubaid al-Hadhrami
حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ، حَدَّثَنَا صَفْوَانُ، حَدَّثَنِي شُرَيْحُ بْنُ عُبَيْدٍ الْحَضْرَمِيُّ، وَغَيْرُهُ، قَالَ: جَلَدَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ صَاحِبَ دَارَا حِينَ فُتِحَتْ، فَأَغْلَظَ لَهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ الْقَوْلَ حَتَّى غَضِبَ عِيَاضٌ، ثُمَّ مَكَثَ لَيَالِيَ، فَأَتَاهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ فَاعْتَذَرَ إِلَيْهِ، ثُمَّ قَالَ هِشَامٌ لِعِيَاضٍ: أَلَمْ تَسْمَعِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا، أَشَدَّهُمْ عَذَابًا فِي الدُّنْيَا لِلنَّاسِ “؟ فَقَالَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ: يَا هِشَامُ بْنَ حَكِيمٍ، قَدْ سَمِعْنَا مَا سَمِعْتَ، وَرَأَيْنَا مَا رَأَيْتَ، أَوَلَمْ تَسْمَعْ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ، فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ، فَيَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ “، وَإِنَّكَ يَا هِشَامُ لَأَنْتَ الْجَرِيءُ، إِذْ تَجْتَرِئُ عَلَى سُلْطَانِ اللهِ، فَهَلَّا خَشِيتَ أَنْ يَقْتُلَكَ السُّلْطَانُ، فَتَكُونَ قَتِيلَ سُلْطَانِ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
Musnad Ahmad 15333: Telah menceritakan kepada kami Abu Al Mughiroh telah menceritakan kepada kami Shafwan telah menceritakan kepadaku Syuraih bin ‘Ubaid Al Hadlromi dan yang lainnya berkata: ‘Iyadl bin Ghonim mencambuk orang Dariya ketika ditaklukkan. Hisyam bin Hakim meninggikan suaranya kepadanya untuk menegur sehingga ‘Iyadl marah. (‘Iyadl Radliyallahu’anhu) tinggal beberapa hari, lalu Hisyam bin Hakim mendatanginya, memberikan alasan. Hisyam berkata kepada ‘Iyadl, tidakkah kau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ” Orang yang paling keras siksaannya adalah orang-orang yang paling keras menyiksa manusia di dunia?.” ‘Iyadl bin ghanim berkata: Wahai Hisyam bin Hakim, kami pernah mendengar apa yang kau dengar dan kami juga melihat apa yang kau lihat, namun tidakkah kau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa dengan suatu perkara, maka jangan dilakukan dengan terang-terangan, tapi gandenglah tangannya dan menyepilah berdua. Jika diterima memang begitu, jika tidak maka dia telah melaksakan kewajibannya”, kamu Wahai Hisyam, kamu sungguh orang yang berani, jika kamu berani kepada penguasa Allah, kenapa kamu tidak takut dibunuh penguasa dan kau menjadi korban penguasa Allah subhanahu wata’ala?.
TAKHRIJ HADIS
Jalur ini terdapat dalam kitab musnad ahmad 24/15333, al-Thabrani dalam musnad syamiyyin 978, al Qasim bin Salam dalam al Amwal 113, Ibnu Abi ‘Ashim dalam as Sunnah 1096, Ibnu Asakir dalam tarikh Dimasyqo 47/265-266, al-Musnad al-Maudhu’iy al-Jami’ lilkutub al-‘Asyrah 5/1.
ANALISIS SANAD
Semua rawinya tsiqat hanya saja SYURAIJ BIN UBAID AL HADLRAMI diklarifikasi ulama tidak bertemu dengan Iyadl bin Ghanam maupun Hisyam bin Hakim. Sehingga hadits ini munqathi’ (terputus sanadnya)
Dalam kitab tahdzibul Kamal disebutkan:
وسئل محمد بن عوف: هل سمع شريح بن عبيد من أبي الدرداء؟ فقال: لا. قيل له: فسمع من أحد من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم؟ قال: ما أظن ذلك، وذلك أنه لا يقول في شيء من ذلك سمعت وهو ثقة
Muhammad bin Auf ditanya: Apakah Syuraih mendengar dari Abu Darda? Beliau menjawab: Tidak. Ditanyakan lagi: Apakah Ia mendengar dari para shahabat Nabi saw? Beliau menjawab: Aku tidak menduga demikian, hal itu dikarenakan tak pernah beliau mengatakan “Aku mendengar (dari mereka)” dan beliau tsiqat. (Tahdzib al kamal No. 2726)
Abu Hatim berkata:
لم يدرك أبا أمامة ولا الحارث بن الحارث ولا المقدام , وأن روايته عن أبي مالك الأشعري مرسلة
Dia tidak berjumpa Abu umamah, Harits bin al Harits dan Miqdam. Riwayatnya dari Abi Malik al Asy’ari mursal. (Tahdzib at Tahdzib 575)
Abu Umamah meninggal th 86 H, dan Miqdam wafat th 87 H. Apabila Syuraij tidak bertemu shahabat yang meninggal th 86/87 H tentu apa lagi bertemu shahabat yang meninggal tahun 20 H yaitu Iyadl bin Ghanam.
Dari seluruh ahl Nuqad, al-Hafizh ibn Hajar menyimpulkan dalam Taqribnya: Syuraih ibn Abdillah adalah Tsiqah, namun ia banyak sekali memursalkan hadis. (Tahrir Tahdzib Taqrib, Juz II hal. 111 no. 2775, cet Mausu’ah al-Risalah Bairut – Libanon1417 H)
Dengan demikian sanad hadits ini tidak shahih karena munqathi’ antara Syuraih dan Iyadh serta Hisyam.
- Jalur Dhamdham ibn Zur’ah dari Syuraij ibn ‘Ubaid dari Jubair ibn Nufair
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَوْفٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ، ثنا أَبِي، عَنْ ضَمْضَمِ بْنِ زُرْعَةَ، عَنْ شُرَيْحِ بْنِ عُبَيْدٍ، قَالَ: قَالَ جُبَيْرُ بْنُ نُفَيْرٍ، قَالَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ لِهِشَامِ بْنِ حَكِيمٍ: أَوَ لَمْ تَسْمَعْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فِي أَمْرٍ فَلَا يُبْدِهِ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ، فَيَخْلُو بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ»
Telah menceriterakan kepada kami Muhammad bin Auf, telah menceriterakan kepada kami Muhammad bin Ismail, telah menceriterakan kepada kami Ayahku (Ismail bin Ayyasy), dari Dlomdlom bin Zur’ah dari Syuraij bin Ubaid dia berkata: Telah berkata Jubair bin Nufair: Iyadl bin Ghonam berkata kepada Hisyam bin Hakim: tidakkah kau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa dengan suatu perkara, maka jangan dilakukan dengan terang-terangan, tapi gandenglah tangannya dan menyepilah berdua. Jika diterima memang begitu, jika tidak maka dia telah melaksakan kewajibannya”. (As sunnah, Ibnu Abi ‘Ashim juz II hal. 522 no. 1097)
JARH TA’DIL
Sanad hadits ini berbeda dengan sanad jalur satu, antara Syuraih dan ‘Iyadl bin Ghanm ternyata disini disambungkan melalui Jubair bin Nufair. Namun dalam sanad ini telah terjadi kekeliruan dimana jalur sanad ini diceritakan Muhammad ibn Ismail dari Bapaknya yaitu Ismail ibn Ayyasy dan Dhamdham ibn Zur’ah, sedangkan Muhammad bin Ismail disamping tidak ada ulama hadits yang menilai tsqat, dia tidak tahu soal hadits dan tidak sempat bertemu dengan bapaknya Ismail bin Ayyasy. Para ulama menempatkan Muhammad ibn Ismail pada derajat Dhaiful Hadits. Diantara ulama ahl naqd berkata:
Imam Abu Hatim berkata:
لم يسمع من أبيه شيئا
Dia tidak mendengar dari bapaknya sedikitpun dari hadits. (al-Jarh wa al-Ta’dil juz 7/8107)
Abu Zur’ah berkata:
لا يدري أمر الحديث
Dia tidak tahu urusan hadits
Al Hafidz Ibnu Hajar al Asqalani berkata:
عابوا عليه أنه حدث عن أبيه بغير سماع
Para ulama kritikus hadis telah mencelanya, bahwa dia menerima hadits dari bapaknya tanpa pernah didengarnya. (Tahrir Taqrib al-Tahdzib Juz 3 hal 214 no. 2735, cet Mausu’ah al-Risalah Bairut – Libanon1417 H)
Dengan demikian jalur ini pun sama dengan jalur sebelumnya berstatus dhaif dan munqathi’ yaitu antara Muhammad bin Ismail dan Ismail bin Ayyasy.
Jika kita terus melakukan pentakhrijan, di jalur lain akan menemukan syahid bagi Muhammad ibn Ismail dalam riwayat Abu Nu’aim al Ashbahani yaitu rawi yang menjadi muttabi’nya yang bernama Abdul Wahhab ibn Dhahak yang menerima sama dari Ismail bin Ayyasy. Namun ternyata mutaba’ah ini tidak bisa menjadi penguat terhadap Ibn Ismail, disebabkan Abdul Wahhab ibn Dhahak telah di jarh oleh para ahl nuqad sebagai pembuat hadis palsu. Hadisnya terdpat dalam kitab Ma’rifah al-Shahabah li Abi Nu’aim 4/2162 no. 5425 sebagai berikut:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ، ثنا الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَمَّادٍ، ثنا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ الضَّحَّاكِ، ثنا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ، عَنْ ضَمْضَمِ بْنِ زُرْعَةَ، عَنْ شُرَيْحِ بْنِ عُبَيْدٍ، قَالَ: قَالَ جُبَيْرُ بْنُ نُفَيْرٍ: أَخَذَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ صَاحِبَهُ دَارًا حِينَ فُتِحَتْ فَوَقَفَ عَلَيْهِ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ، فَأَغْلَظَ لَهُ الْقَوْلَ حَتَّى غَضِبَ، ثُمَّ مَكَثَ لَيَالٍ فَأَتَاهُ هِشَامٌ فَاعْتَذَرَ إِلَيْهِ، قَالَ هِشَامٌ لِعِيَاضٍ: إِنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا أَشَدُّهُمْ عَلَى النَّاسِ» ، فَقَالَ عِيَاضٌ لِهِشَامٍ: قَدْ سَمِعْنَا مَا سَمِعْتَ، وَرَأَيْنَا مَا رَأَيْتَ، أَوَلَمْ تَسْمَعْ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِهِ لَهُ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُو بِهِ، فَإِنْ كَانَ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا قَدْ كَانَ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ» ، إِنَّكَ يَا هِشَامُ لَأَنْتَ الْجَرِيءُ الَّذِي يَجْتَرِئُ عَلَى سُلْطَانٍ، فَهَلَّا خَشِيتَ أَنْ يَقْتُلَكَ السُّلْطَانُ، فَتَكُونَ قَتِيلَ سُلْطَانِ اللهِ؟
JARH TA’DIL
Mengenai Abdul Wahhab bin adl Dhahak, Imam Abu Dawud dan Abu Zur’ah berkata:
كان يضع الحديث
Dia membuat hadits palsu
Imam Abu Nuaem dan al Hakim berkata:
أحاديثه موضوعة
Hadits-haditsnya palsu
Berdasarkan uraian diatas, sanad hadits ini tidak shahih dan tidak bisa saling menguatkan dengan jalur pertama karena sama-sama munqathi’ dan hakikatnya merupakan satu jalur karena berpusar pada Syuraih ibn Ubaid.
- Jalur Fudhail ibn Fadhalah dari Jubair ibn Nufair
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَوْفٍ، ثنا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَالِمٍ، عَنِ الزُّبَيْدِيِّ، عَنِ الْفُضَيْلِ بْنِ فَضَالَةَ، يَرُدُّهُ إِلَى ابْنِ عَائِذٍ، يَرُدُّهُ ابْنُ عَائِذٍ إِلَى جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ، عَنْ عِيَاضِ بْنِ غَنْمٍ، قَالَ لِهِشَامِ بْنِ حَكِيمٍ: أَلَمْ تَسْمَعْ يَا هِشَامُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ يَقُولُ : «مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ نَصِيحَةٌ لِذِي سُلْطَانٍ، فَلْيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَلْيَخْلُو بِهِ، فَإِنْ قَبِلَهَا قَبِلَهَا، وَإِنْ رَدَّهَا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ»
As sunnah, Ibnu Abi ‘Ashim (1098): Telah menceriterakan kepada kami Muhammad bin Auf, telah menceriterakan kepada kami ABDUL HAMID BIN IBRAHIM, dari Abdillah bin Salim dari Al Zubaidi dari Fudloil bin Fadlolah, beliau mengembalikannya kepada Ibnu A’id, dan Ibnu A’id mengembalikannya kepada Jubair bin Nufair dari Iyadl bin Ghonam berkata kepada Hisyam bin Hakim: tidakkah kau mendengar wahai Hisyam (bahwa) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang memiliki nasehat bagi penguasa, maka gandenglah tangannya dan menyepilah berdua. Jika diterima memang begitu, jika tidak maka dia telah melaksakan kewajibannya”. (al-Sunnah, Ibn Abiy ‘Aash 2/522 no. 1098)
JARH TA’DIL
Hadis inipun dhaif, karena terdapat rawi bernama Abdul Hamid bin Ibrahim, dinilai bukan apa-apa/tidak tsiqat oleh Imam Nasa’i. Muhammad ibn Auf (murid Abdul Hamid) berkata: Abdul Hamid adalah seorang syaikh yang buta, dia tidak hapal hadits, kami menulis dari catatan miliknya yang berada pada Ishaq bin Zabriq untuk Ibnu Salim. Maka kami membawa catatan itu kepadanya dan mendiktekan/membacakannya, beliau tidak hapal sanad dan hapal sebagian matan lalu kami terima hadits darinya, kami terpaksa bawa catatan kepadanya karena ingin mengetahui hadits. (Mizan al-I’tidal juz 2 hal. 537 no. 4762, cet. Dar al-Ma’rifah lithaba’ah wa al-Nasyr Bairut – Libanon 1382 H)
Ibnu Abi Hatim menuturkan: Aku dengar ayahku menyebutkan bahwa Abdul hamid tinggal di perkampungan Himsho dan disebut-sebut mendengar kitab periwayatan Abdullah bin Salim dari al Zubaidi, hanya saja kitabnya hilang. Lalu dia berkata: “Aku tidak hapal kitab tersebut”, sekalipun orang-orang mau meng-imla-kan padanya, beliau tetap bilang tidak hapal. Hingga ayahku datang lagi ke Himsha setelah 30 tahun lebih, tiba-tiba sekelompok orang meriwayatkan darinya isi kitab tersebut dan mereka berkata: Disodorkan kepadanya kitab Ibnu Zabriq dan dibacakan lalu beliau menyampaikan hadits dari kitab tersebut. Bagiku ini bukan sesuatu apa-apa. Dia orang yang yang tidak hapal dan tidak memiliki kitab. (al Jarh watta’dil 6/8)
Dari keterangan diatas ternyata hadits yang disampaikan Abdul Hamid ini berkorelasi langsung dengan catatan Ibnu Zabriq, dari kitab tersebutlah Abdul Hamid menyampaikan riwayatnya. Lalu Siapa Ibnu Zabriq ini?
Ibnu Zabriq (disebut juga Ibnu Zuraiq) popular dengan nama Ishaq bin Zabriq al Himsha (w. 238 H), beliaulah sebenarnya rawi hadits pada jalur ini seperti disebutkan dalam sanad imam al Hakim dalam mustadrak 3/329 no. 5269, Imam Thabrani dalam mu’jam kabir 17/367, Sbb:
أَخْبَرَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَغْدَادِيُّ، فِيمَا اتَّفَقَا عَلَيْهِ، ثَنَا أَبُو عَلِيٍّ الْحَافِظُ، ثَنَا عَمْرُو بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْعَلَاءِ بْنِ زُرَيْقٍ الْحِمْصِيُّ، ثَنَا أَبِي، ثَنَا عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَالِمٍ، عَنِ الزُّبَيْدِيِّ، ثَنَا الْفَضْلُ بْنُ فَضَالَةَ، يَرُدُّ إِلَى عَائِذٍ، يَرُدُّهُ عَائِذٌ إِلَى جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ، أَنَّ عِيَاضَ بْنَ غَنْمٍ الْأَشَرِيَ وَقَعَ عَلَى صَاحِبٍ دَارَا حِينَ فُتِحَتْ، فَأَتَاهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ، فَأَغْلَظَ لَهُ الْقَوْلَ، وَمَكَثَ هِشَامٌ لَيَالِيَ، فَأَتَاهُ هِشَامٌ مُعْتَذِرًا، فَقَالَ لِعِيَاضٍ: أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا لِلنَّاسِ فِي الدُّنْيَا» فَقَالَ لَهُ عِيَاضٌ: يَا هِشَامُ إِنَّا قَدْ سَمِعْنَا الَّذِي قَدْ سَمِعْتُ، وَرَأَيْنَا الَّذِي قَدْ رَأَيْتَ، وَصَحِبْنَا مَنْ صَحِبْتَ
Menurut keterangan Muhammad bin Auf, Ibnu Zabriq adalah rawi yang suka berdusta. Beliau berkata:
ما أشك أن إسحاق بن زبريق يكذب
“Aku tidak meragukan bahwa Ishaq bin Zabriq suka berdusta” (tahdzib attahdzib 406)
Imam Dzahabi menilai wahin (sangat lemah) (mustadrak 5269)
Dari uraian diatas diketahui kelemahan pandangan syeikh al Albani yang menganggap jalur Abdul Hamid dan Ibnu Zabriq sbg dua jalur berbeda dan saling menguatkan, padahal tidak sebab Abdul Hamid ternyata menyampaikan riwayat ini dari catatan Ibnu Zabriq. Ibnu Zabriq lah yang jadi madar jalur ini dan dia dituduh suka berdusta.
KESIMPULAN
Dari beberapa hadis dan jalur sanad yang telah dibahas, nampaknya hadis ini tidak ada satupun yang shahih, dan seluruh hadis dengan jalur lainpun terindikasi kecacatan yang sangat parah sehingga tidak bisa saling menguatkan. Dengan demikin, hadis tentang Larangan berdemo secara terang-terangan hadisnya adalah sangat dhaif dan tidak bisa dijadikan hujjah.
Penulis : Robi Permana, Staf Pengajar Pesantren PERSIS 27 Situ Aksan Bandung
[1] Fiqh al-Iihtijaj, Dr. Raisuni, hal. 41
[2] Tahdzir Asy-Syabab min Fitnah al-Khuruj wa al-Mudzaharat wal-Irhab, hal.36
[3] Mudzaharah Sya’biyah, Dr. Hudzaifah Abud Mahdi As-Samirai, hal.34. Tahdzir Asy-Syabab min Fitnah al-Khuruj wa al-Mudzaharat wal-Irhab Muhammad bin Nashir al-Uroini