Bismillah. Ustadz, izin bertanya. Apa yang dimaksud dengan Wahabi yang sebenarnya? Kenapa Syaikh al-Albani dan Ibnul-Qayyim dituduh sebagai Wahabi? Mereka bilang wahabi tidak boleh dipakai hujjahnya. 0898-7933-xxx
Sejarah Wahabi itu bagaimana sih sebenarnya Ustadz? Soalnya ada yang bilang Wahabi itu tidak baik dan ada juga yang bilang Wahabi itu baik. Mohon penjelasannya. 0819-7759-xxxx
Wahabi (wahhabiyyah) merujuk gerakan dakwah yang dijalankan oleh Syaikh Muhammad ibn ‘Abdil-Wahhab dan para pengikutnya. Bagi para pengikutnya sendiri istilah Wahabi itu sendiri tidak tepat, karena jika hendak dinisbatkan ke nama Syaikh penggagasnya seharusnya Muhammadi atau Muhammadiyyah, bukan Wahhabiyyah (Wahabi). Para pengikutnya sendiri lebih memilih nama untuk kelompok mereka dengan Salafi, bukan Wahabi. Uraian lebih lengkap tentang sejarahnya bisa dirujuk ke Wikipedia dalam halaman “Wahhabisme”. Setelah kami telaah ulasan Wahabi dalam Wikipedia tersebut in sya`al-‘Llah tulisannya memenuhi unsur ilmiah sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab mu’tabar yang sudah kami baca.
Siradjuddin Abbas—pendiri Persatuan Tarbiyah Islamiah (Perti), Sumatra, yang sealiran dengan NU di Jawa, yang salah satu kadernya akhir-akhir ini terkenal di dunia maya, yakni Ustadz Abdul Somad—menjelaskan dalam bukunya, I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah bahwa Wahabi adalah paham sesat yang melanjutkan paham Ibnu Taimiyah dan pemuka-pemuka lainnya yang tersesat. Bahkan menurutnya Wahabi lebih fanatik dan lebih radikal dari Ibnu Taimiyah.
Istilah Wahabi menurutnya diakui di kalangan ulama karena merujuk dua kitab yang ditulis pada zaman Syaikh Muhammad ibn Abdul-Wahhab hidup yakni as-Shawa’iqul-Ilahiyyah fir-Raddi ‘alal-Wahhabiyyah (Petir Tuhan untuk Menolak Paham Wahabi) yang ditulis Sulaiman ibn Abdul-Wahhab saudara kandung Muhammad ibn Abdul-Wahhab dan kitab as-Durarus-Saniyyah fir-Raddi ‘alal-Wahhabiyyah (Permata Yang Bertatah untuk Menolak Paham Wahabi) yang ditulis Mufti Makkah, Syaikh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Menurut KH. Siradjuddin Abbas dua kitab itu membuktikan bahwa istilah Wahabi diakui di kalangan para ulama dan bahwa paham tersebut ditolak oleh para ulama.
Siradjuddin Abbas membahas satu bab khusus pada bab 21 tentang Fatwa-fatwa Ibnu Taimiyah Yang Bertentangan dengan Fatwa Kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah. Menurutnya, setidaknya ada enam fatwa Ibn Taimiyyah yang menyimpang, yaitu:
Pertama, Tuhan duduk di atas ‘Arasy serupa duduknya. Menurutnya, faham ini beberapa kali diulang Ibn Taimiyyah di atas mimbar Masjid Bani Umayyah di Damsyik Syria dan di Mesir, sehingga kemudian ditolak oleh kaum Ahlussunah wal Jama’ah. Bukan saja ditolak dengan lisan dan tulisan, tetapi juga sampai dibawa ke muka pengadilan dan akhirnya dihukum sampai mati dalam penjara.
Kedua, Tuhan turun dari langit tiap-tiap malam serupa turunnya Ibnu Taimiyyah dari mimbar. Menurut Siradjuddin Abbas, maksud hadits ini menurut Ahlussunnah adalah pintu rahmat Tuhan terbuka malam hari seluas-luasnya, khusus pada akhir-akhir malam. Sekalian do’a dan permohonan diterima ketika itu.
Ketiga, bepergian ziarah ke makam Nabi di Madinah haram. Menurut Siradjuddin Abbas, fatwa Ibnu Taimiyyah ini ditentang dalam praktek oleh umat Islam, khususnya oleh kaum Ahlussunnah wal Jama’ah, sebab sudah 14 abad umat Islam berbondong-bondong datang menziarahi makam Nabi Muhammad saw terutama sesudah mengerjakan haji di Makkah.
Keempat, mendo’a dengan bertawassul hukumnya kafir atau syirik. Padahal, menurut Siradjuddin Abbas, mendo’a dengan bertawassul itu sudah dikerjakan oleh dunia Islam sedari abad-abad permulaan Islam, sedari zaman Nabi, zaman sahabat dan zaman tabi’in. Siradjuddin Abbas pun kemudian menyajikan kajian dari para ulama Ahlus-Sunnah yang membenarkan tawassul.
Kelima, lekas-lekas menghukum kafir. Khususnya kepada mereka yang mendo’a bertawassul dengan Nabi atau wali-wali, yang mengucapkan “dengan berkat Nabi Muhammad” atau “dengan jah Nabi Muhammad”, atau orang yang beristigatsah. Ayat-ayat yang khusus turun untuk mencela orang-orang kafir, menurut Siradjuddin Abbas, dipasangkan oleh Ibnu Taimiyyah untuk orang Islam yang menziarahi kubur, berdo’a dengan tawassul, menyebut “ya Rasulullah”, untuk orang-orang Islam yang bepergian ziarah kubur. Inilah sikap dan paham yang radikal dari Ibn Taimiyyah, menurut Siradjuddin Abbas.
Keenam, tariqat-tariqat sufiyah haram. Padahal, jelas Siradjuddin Abbas, tariqat-taqriqat itu mendasarkan amalannya pada ayat-ayat al-Qur`an yang memerintahkan menyebut nama Allah sebanyak-banyaknya dan juga hadits-hadits yang memerintahkan membuat majelis-majelis dzikir. Orang-orang tasawuf thariqat membiarkan diri untuk duduk berkumpul-kumpul membaca dzikir memenuhi seruan Tuhan dan seruan Nabi Muhammad saw, akan tetapi Ibnu Taimiyyah mengharamkan semuanya itu. Inilah fatwa Ibnu Taimiyyah yang sangat tersesat. Demikian tegas Siradjuddin Abbas (I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah, hlm. 306-350).
Terkait paham Muhammad ibn ‘Abdul-Wahhab secara khusus yang dinilainya sesat dibahas oleh KH. Siradjuddin Abbas pada bab 23 buku I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah, yaitu paham-paham yang diajarkan Ibnu Taimiyah di atas ditambah dua paham berikut:
Pertama, istighatsah syirik. Dalam kitab karangan ulama Wahabi, al-Hidayatus-Saniyyah wat-Tuhfatul-Wahhabiyyah, disebutkan bahwa siapa yang menjadikan malaikat, nabi-nabi, Ibn ‘Abbas atau Ibn Abi Thalib atau Mahjub perantara antara mereka dengan Allah karena mereka dekat kepada Allah, maka orang itu kafir, musyrik, walaupun ia mengucapkan dua kalimah syahadat. Artinya, menurut Siradjuddin Abbas, kaum Wahhabi berani mengkafirkan orang Islam yang sudah membaca syahadat hanya karena istighatsah.
Kedua, ajaran tauhid rububiyyah dan uluhiyyah. Menurut Siradjuddin Abbas, ini adalah ajaran tauhid baru yang tidak ada dari dulu, baik pada zaman Nabi Muhammad atau pada zaman sahabat-sahabat beliau. Kaum Wahhabi sangat keliru ketika mengajarkan tauhid rububiyyah adalah tauhidnya orang musyrik yang menyembah berhala, sebab mereka juga meyakini Allah swt sebagai pencipta langit dan bumi. Sedangkan tauhid uluhiyyah adalah tauhid sebenarnya yang menyembah hanya kepada Allah. Siradjuddin menyatakan: “Heran kita melihat falsafahnya. Orang kafir yang mempersekutukan Tuhan dinamainya kaum tauhid. Adakah sahabat-sahabat Nabi sedari dahulu menamai orang musyrik dengan umat tauhid? Tidak ada. Syirik dan tauhid tidak bisa bersatu. Hal itu dua yang berlawanan.” (I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah, hlm. 306-350).
Penilaian sesat dari KH. Siradjuddin Abbas dan yang semadzhab kepada Wahabi atau Salafi adalah penilaian yang bias dan jauh dari adab ilmiah. Tentunya tidak berarti sebaliknya bahwa KH. Siradjuddin Abbas dan yang semadzhab dari Perti dan NU berarti sebagai aliran sesat. Sebagaimana sudah dibahas dalam majalah Tafaqquh edisi 8 September 2020 bahwa akar pertentangan dua kelompok tersebut berakar dari perbedaan madzhab/manhaj yang dipilih. Jika Wahabi memilih madzhab Salaf, sementara Perti, NU, dan yang sealiran memilih madzhab Khalaf. Perbedaannya cukup mencolok dalam hal rincian syirik, kufur, dan bid’ah (https://tafaqquh.net/2020/08/31/kemuliaan-salaf-dan-khalaf/). Akan tetapi perbedaan seperti ini masih dalam koridor ilmu yang diwariskan oleh para ulama. Maka sudah seharusnya KH. Siradjuddin Abbas dan yang semadzhab dari Perti dan NU menilai Wahabi (atau Salafi) sebagai salah satu madzhab dalam Islam, demikian juga sebaliknya Salafi menilai Perti, NU, dan yang sealiran sebagai madzhab dalam Islam. Sesama madzhab dalam Islam sudah seharusnya menjunjung tinggi adab ilmiah untuk hanya berdebat berdasarkan ilmu tanpa saling menyesatkan. Teladan yang tidak baik dari para ulama dahulu (atau mungkin masih ada sampai sekarang) yang saling menyesatkan di antara sesama madzhab dalam Islam harus segera diakhiri oleh generasi muda hari ini. Harus sampai kapan perpecahan dan ketidakrukunan di antara sesama umat Islam akibat saling menyesatkan akan dilanggengkan? Apakah sampai hari kiamat nanti di saat manusia tidak bisa lagi mengelak atas akhlaq-akhlaqnya yang buruk kepada sesama muslim? (rujuk juga tulisan kami: https://tafaqquh.net/2020/10/08/mendudukkan-aswaja-dengan-adil/)
Kami sendiri dalam posisi tidak sepenuhnya membenarkan penilaian sesat KH. Siradjuddin Abbas di atas, meski tentunya ada beberapa kritik kami untuk madzhab Salafi yang ada hari ini (https://tafaqquh.net/2020/08/31/kritik-untuk-madzhab-salafi/). Ini juga tidak berarti bahwa madzhab Khalaf yang dianut NU semuanya benar. Ada banyak kritik kami terhadap paham yang diajarkan mereka khususnya dalam hal syirik dan bid’ah (https://tafaqquh.net/2020/10/08/aswaja-bukan-hanya-nu/). Akan tetapi kritik-kritik kami untuk setiap aliran ini selalu didasarkan pada adab ilmiah yang semulia-mulianya. Kami tidak menilai NU sesat, ataupun Salafi sesat. Kedua-duanya adalah madzhab yang harus diakui sebagai bagian dari Islam.
Wal-‘Llahu a’lam