Pertanyaan :
Saat ini masyarakat hampir bisa dipastikan tidak bisa melepaskan diri dari transaksi online di dunia maya, baik secara langsung antara penjual dan pembeli, ataupun melalui situs e-commerce seperti tokopedia, bukalapak, dan sebagainya. Sebagian Ustadz ada yang mengharamkannya atau menyatakannya syubhat. Bagaimana kedudukan hukum yang sebenarnya?
Santri Pesantren Persis 27 Situaksan Bandung
Jawaban :
Secara pokok jual beli di dalam syari’at Islam itu diperbolehkan, sebagaimana firman Allah swt:
..وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ..
“Allah telah menghalalkan jual beli.” (Q.S. al-Baqarah [2] : 275)
Begitu pula jual beli secara online, hal ini berdasarkan keputusan Majma’ al-Fiqh al-Islami (Divisi Fiqih Organisasi Kerjasama Islam) tahun 1990 edisi keenam jilid dua hal. 1267, disebutkan sebagai berikut.
أولاً : إذا تم التعاقد بين غائبين لا يجمعهما مكان واحد ولا يرى أحدهما الآخر معاينة، ولا يسمع كلامه وكانت وسيلة الاتصال بينهما الكتابة أو الرسالة أو السفارة (الرسول)، وينطبق ذلك على البرق والتلكس والفاكس وشاشات الحاسب الآلي (الحاسوب)، ففي هذه الحالة ينعقد العقد عند وصول الإيجاب إلي الموجه إليه وقبوله
Pertama, apabila akad terjadi antara dua orang yang berjauhan tidak berada dalam satu tempat dan pelaku transaksi, satu dengan yang lainnya tidak saling melihat, tidak saling mendengar rekan transaksinya, dan media antara mereka adalah tulisan atau surat atau orang suruhan, hal ini dapat diterapkan pada faksimili, telegram, dan layar komputer (internet), maka akad langsung dengan sampainya ijab dan qabul kepada masing-masing pihak yang bertransaksi.
.ثانياً : إذا تم التعاقد بين طرفين في وقت واحد وهما في مكانين متباعدين، وينطبق هذا على الهاتف واللاسلكي، فإن التعاقد بينهما يعتبر تعاقداً بين حاضرين، وتطبق على هذه الحالة الأحكام الأصلية المقررة لدى الفقهاء المشار إليها في الديباجة.
Kedua, bila transaksi berlangsung dalam satu waktu sedangkan kedua belah pihak berada di tempat yang berjauhan, hal ini dapat diterapkan pada transaksi melalui telepon ataupun telepon seluler, maka ijab dan qabul yang terjadi adalah langsung seolah-olah keduanya berada dalam satu tempat.
Keputusan Divisi Fiqih OKI ini menetapkan bahwa transaksi jual beli antara penjual dan pembeli baik jual beli secara langsung berhadapan muka ataupun tidak langsung secara online, keduanya diperbolehkan.
Internet, handphone, surat menyurat, atau seseorang bertransaksi melalui perantara e–commerce atau marketplace sekalipun semua itu hanya sebagai wasilah (perantara) saja yang diperbolehkan dalam transaksi jual beli di dalam Islam. Terkait hal ini, Nabi saw pernah menjadikan shahabat yang lain sebagai perantara dalam melakukan transaksi jual beli, dan bahkan shahabat tersebut menarik keuntungan dari perannya sebagai wakil Nabi saw tanpa disalahkan oleh beliau, sebagaimana terdapat dalam riwayat berikut.
عَنْ عُرْوَةَ الْبَارِقِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مَعَهُ بِدِينَارٍ يَشْتَرِي لَهُ أُضْحِيَّةً، وَقَالَ مَرَّةً: أَوْ شَاةً، فَاشْتَرَى لَهُ اثْنَتَيْنِ، فَبَاعَ وَاحِدَةً بِدِينَارٍ، وَأَتَاهُ بِالْأُخْرَى، فَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ فِي بَيْعِهِ, فَكَانَ لَوْ اشْتَرَى التُّرَابَ لَرَبِحَ فِيهِ،
Dari Urwah al-Bariqi: “Rasulullah saw telah menitipkan kepadanya berupa satu dinar agar dibelikan satu hewan qurban dan sekali waktu ia mengatakan atau kambing. Ia pun membelikannya dua ekor kambing kemudian yang satu ia jual dengan satu harga dinar dan yang satu lagi ia serahkan kepada beliau. Maka Rasulullah saw mendo’akannya agar mendapat keberkahan dalam jual belinya. Dan sekiranya ia membeli tanah (pekarangan), niscaya ia akan mendapat keuntungan.” (H.R Ahmad, bab hadits Urwah bin Abu al Ja’d al-Bariqi ‘anin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, no. 19356)
Namun demikian, setiap muslim harus tetap berhati-hati dalam jual beli online dengan memperhatikan prinsip-prinsip jual beli yang memang diperbolehkan di dalam syari’at Islam. Rambu-rambu yang mesti diperhatikan dalam jual beli online adalah:
Pertama, barang atau jasa mesti halal. Tentu tidak diperkenankan barang haram diperjualbelikan oleh seorang muslim baik secara online ataupun offline. Termasuk yang haram secara fisik seperti minuman keras ataupun non fisik seperti mainan yang merusak moral anak-anak.
Kedua, barang yang diperjualbelikan bukan barang yang disyaratkan serah terima tunai dalam jual belinya, yaitu barang-barang ribawi seperti emas/perak dan mata uang. Jual beli barang-barang ribawi meski tunai dan tidak boleh ditangguhkan, berdasarkan hadits Nabi saw:
وَعَنْ عُبَادَةَ بْنِ اَلصَّامِتِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ, وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ, وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ, وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ, وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ, وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ, مِثْلًا بِمِثْلٍ, سَوَاءً بِسَوَاءٍ, يَدًا بِيَدٍ, فَإِذَا اِخْتَلَفَتْ هَذِهِ اَلْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Ubadah ibn as-Shamit bahwa Rasulullah saw bersabda: “(Menjual) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama sebanding, sejenis, dan tunai. Jika berbeda jual beli antar jenis barang ribawi ini, silahkan jual sekehendak kalian, selama tunai.” Riwayat Muslim (Bulughul-Maram bab ar-riba no. 853).
Berdasarkan hadits-hadits tentang larangan ‘riba jual beli’ seperti di atas diketahui bahwa yang termasuk barang-barang ribawi adalah: Emas (dinar), perak (dirham, termasuk uang berdasarkan qiyas sebagai ‘alat tukar’), gandum (termasuk beras berdasarkan qiyas sebagai makanan pokok), kacang sya’ir, kurma, dan garam. Tidak boleh jual beli barter barang ribawi sejenis dengan cara tidak tunai (nasi`ah) dan atau beda nilai (fadll). Jual beli barang ribawi beda jenis diperbolehkan, seperti: membeli kurma dengan uang, gandum dengan emas, dan sebagainya. Untuk konteks hari ini yang umum berlaku adalah jual beli emas, perak, atau mata uang. Ketiganya satu jenis yang sama sebagai “alat tukar”. Maka jual beli uang, emas, atau perak secara online diperbolehkan asal tunai saat itu juga diantarkan dan diterima tidak lama dari waktu transaksi. Adapun jika ditangguhkan sampai esok harinya maka tidak boleh.
Majma’ Fiqh al-Islami (Divisi Fiqih Organisasi Kerjasama Islam) pada tahun 1990 sudah mengeluarkan keputusan dalam edisi keenam jilid dua hal. 1268, sebagai berikut:
رابعاً : إن القواعد السابقة لا تشمل النكاح لا شتراط الإشهاد فيه، ولا الصرف لا شتراط التقابض، ولا السلم لا شتراط تعجيل رأس المال .
Keempat, kaidah-kaidah yang telah disebutkan di atas tidak dapat diterapkan untuk akad nikah karena disyaratkan harus ada saksi, juga tidak dapat diterapkan untuk sharf (tukar menukar mata uang atau jual beli emas dan perak) karena disyaratkan harus serah terima barang dan uang secara tunai.
Ketiga, barang yang dibeli harus jelas kriteria dan spesifikasinya baik melalui gambar, harga, dan ukuran agar terhindar dari praktik jual beli gharar (tidak transparan dan rentan penipuan).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الغَرَرِ، وَبَيْعِ الحَصَاةِ.
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu ia berkata: “Rasulullah saw melarang jual beli yang mengandung unsur penipuan dan jual beli dengan melempar kerikil.” (H.R Muslim, bab ma ja`a fi karahiyati ba’il–gharar, no. 1230)
Keempat, pembeli diberikan hak khiyar (pilihan) untuk membatalkan jual beli atau menerima dengan rela jika barang yang diterima tidak sesuai pesanan. Maka penjual dalam hal ini mesti jujur dan transparan menjelaskan produk yang hendak dijual kepada pembeli sebelum barang sampai di tangan pembeli.
Kelima, jika penjual menjual barangnya kepada pembeli melalui market place maka penjual berhak mendapatkan margin atas produk yang dijualnya sesuai kesepakatan dengan pemilik market place. Ketentuan ini berdasarkan sabda Nabi saw:
وَالمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ، إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً، أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا.
“Dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (H.R at-Tirmidzi. Bab ma dzukira ‘an Rasulillah shalllallahu ‘alaihi wa sallam si sulhi bainan nas, no. 1352).
Dengan ketentuan ini, maka pemilik market place dan penjual harus menyepakati ketentuan yang telah disepakati bersama. Keduanya tidak boleh menzhalimi satu sama lain, misalnya penjual tidak mengirimkan barang yang sesuai dengan spesifikasi sebagaimana yang ditampilkan di dalam market place atau pemilik market place menahan lama keuntungan yang seharusnya segera diberikan kepada penjual.
Khusus terkait uang pembeli yang tidak disalurkan langsung ke pedagang oleh market place, ini bisa termasuk praktik riba di samping zhalim. Akan tetapi berdasarkan pengamatan kami tidak semua market place memperlakukan demikian kepada para pelapaknya. Ada juga yang langsung mentransfer uang dari pembeli kepada penjual sesaat setelah barang sampai di pembeli. Meski demikian, ini sepenuhnya sudah di luar tanggung jawab pembeli. Selama pembeli melaksanakan transaksi berdasarkan syari’at, maka apa yang dilakukan market place itu sudah di luar tanggung jawab pembeli.
Keenam, hendaknya pembeli, perantara atau penjual berniat dalam jual beli untuk beribadah kepada Allah swt sehingga proses jual beli mendapatkan keberkahan dan mendapat perlindungan dari Allah swt.
Dengan demikian, jual beli secara online menurut para ahli fiqih diperbolehkan selama memperhatikan ketentuan-ketentuan yang telah disebutkan di atas. Selama dalam jual beli tidak ada unsur penipuan atau hal yang diharamkan maka jual beli online itu diperbolehkan secara syari’at. Wal-‘Llahu a’lam bis-shawab.
Dewan Kajian Masa`il:
Nashruddin Syarief, Robi Permana, Iwan Abu ‘Ayyasy, Irsyad Taufieq Rahman, Achmad Nurdiyansyah, Oman Warman, Muhammad Atim, Husna Hisaba Kholid, Saeful Japar Sidik, Fauzy Barokah Ramdani, Iwan Ridwan