وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. (QS. An-Nisa [4]: 101)
Tafsir Mufradat
Rukhshah diambil dari kata rakhusha – yarkhushu – rukhshan yang berarti murah, lembut, lembek, lunak. Harga suatu barang yang murah disebut juga rakhis. Dalam konteks ushul fiqih, rukhsah ialah sebuah dispensasi dari Allah azza wa jalla untuk seorang mukallaf ketika adanya darurat, agar terhindar dari kesalahan atau dosa. (Al-Wajiz fi Ushul Fiqh, 2014: 46)
Abdul Karim Zaidan mengklasifikasikan jenis rukhshah kepada tiga macam. Pertama, bolehnya melakukan yang haram karena ada darurat, seperti melafazkan kalimat kufur ketika mendapatkan ancaman pembunuhan. Kedua, bolehnya meninggalkan kewajiban, seperti berbuka puasa pada bulan Ramadlan ketika sakit atau safar, karena merasa berat dalam pelaksanaannya. Ketiga, sahnya sebagian akad jual beli yang diperlukan masyarakat, meski tidak dibangun berdasarkan kaidah umum transaksi jual beli, seperti bai’ salam, yaitu jual beli barang pesanan, sedangkan transaksi dengan barang yang belum ada barangnya adalah batal. Akan tetapi syariat membolehkannya sebagai pengecualian dari kaidah-kaidah umum jual beli, karena adanya unsur mempermudah dan meringankan mukallaf. (Al-Wajiz fi Ushul Fiqh, 2014: 48)
Tafsir ‘Am
Berdasarkan riwayat Ibnu Jarir ath-Thabari, asbabun nuzul ayat ini berkaitan dengan pertanyaan dari kaum Najar kepada Nabi –shallaLlaahu ‘alaihi wa sallam– tentang bagaimana pelaksanaan shalat saat mereka berpergian ke suatu tempat dan dalam saat kondisi berperang. Lalu kemudian turunlah ayat ini. (Tafsir ath-Thabari, 2003: 407)
Menurut jumhur ulama, bahwa ayat ini berbicara tentang mengqashar shalat saat sedang safar. Namun mereka berselisih pendapat mengenai jenis safarnya. Ada yang menetapkan bahwa jenis safarnya harus berbentuk ketaatan, seperti safar untuk berjihad, haji, thalabul ‘ilmi, ziarah, dan lain sebagainya. Namun, ada juga yang tidak mensyaratkan safar dalam bentuk ketaatan (qurbah). Pendapat ini dipegang oleh imam Syafi’i dan imam Ahmad. Ada juga hanya yang berpendapat bahwa cukup sebatas safar saja, baik itu safarnya dalam bentuk mubah atau terlarang, selama dia merasa tidak aman dan semisalnya, maka boleh mengambil rukhshah. Pendapat ini dipegang oleh Abu Hanifah, ats-Tsauri, dan Dawud. (‘Umdatut Tafsir, 2005: 563)
Adapun kalimat “jika kamu takut diserang orang-orang kafir” menurut Ibnu Katsir menunjukan bahwa kondisi di awal-awal penyebaran Islam setelah peristiwa hijrah, sangat genting dan penuh dengan peperangan. Sehingga bagi mereka merasa tidak aman untuk berpergian ke suatu tempat. Maka hadirlah rukhshah dalam shalat.
Namun juga tidak berarti mesti dipahami dengan logika terbalik (mafhum mukhalafah), yaitu jika kondisinya aman, maka tidak terdapat qashar dalam melaksanakan shalat. Hal ini disebabkan beberapa dalil yang menegaskan bahwa qashar masih berlaku walau kondisi saat safar sudah kondusif aman, sebagaimana yang tercantum dalam riwayat imam Ahmad berikut ini:
عَنْ يَعْلَى بْنِ أُمية قَالَ: سَأَلْتُ عُمَرَ بن الخطاب قلت له قوله تعالى: {لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا} وَقَدْ أمن الناس فقال لي عمر رضي الله عنه: عجبتُ مما عجبتَ منه فسلأت رسول الله عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ: «صَدَقَةٌ تَصْدَّقَ اللَّهُ بِهَا عليكم فاقبلوا صدقته
Dari Ya’la bin Umayyah ia berkata, “Aku bertanya kepada Umar bin Khatab, lalu aku katakana kepadanya firman-Nya “maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir” sedangkan masyarakat sudah merasa aman.” Umar pun berkata kepadaku, “Aku pun heran sebagaimana kamu heran, lalu aku bertanya kepada Rasulullah –shallaLlahu ‘alaihi wa sallam- mengenai hal itu. Nabi pun bersabda, “Itu adalah shadaqah yang Allah berikan untuk kamu, maka terimalah shadaqah-Nya.”
عَنْ أَبِي حَنْظَلَةَ الْحَذَّاءِ قَالَ: سَأَلْتُ ابْنَ عُمَرَ عَنْ صَلَاةِ السَّفَرِ فَقَالَ: رَكْعَتَانِ فَقُلْتُ أَيْنَ يقوله: {إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا} وَنَحْنُ آمِنُونَ فَقَالَ: سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Abu Hanzhalah al-Hadzdza ia berkata, “Aku bertanya kepada Ibnu Umar tentang shalat saat safar, maka ia menjawab, “Dua rakaat.” Aku bertanya lagi, “Lalu dimana (mengamalkan) firman-Nya “Jika kamu takut diserang orang-orang kafir” padahal kami sudah merasa aman.” Umar menjawab, “Itu adalah sunnah dari Rasulullah –shallaLlaahu ‘alaihi wa sallam.”
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: صَلَّيْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ مَكَّةَ والمدينة ونحن آمنوا لا نخاف بينهم ركعتين ركعتين.
Dari Ibnu Abbas ia berkata, “Kami pernah shalat bersama Rasulullah –shallaLlaahu ‘alaihi wa sallam- dua rakaat dua rakaat di antara jarak Makkah dan Madinah, sedangkan kami merasa aman dan tiak takut kepada mereka (orang kafir).”
Akan tetapi, para ulama berkesimpulan bahwa dalil-dalil di atas tidak sedang menjelaskan qashar shalat secara jumlah (kammiyyah), akan tetapi sedang menjelaskan qashar shalat secara teknis (kaifiyyah). Karena pada asalnya, shalat dalam kondisi safar itu jumlahnya dua rakaat.
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهَا قَالَتْ فُرِضَتِ الصَّلاَةُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ فِى الْحَضَرِ وَالسَّفَرِ فَأُقِرَّتْ صَلاَةُ السَّفَرِ وَزِيدَ فِى صَلاَةِ الْحَضَرِ.
Dari Aisyah istri Nabi –shallaLLahu ‘alaihi wa sallam- bahwa ia berkata, “Diwajibkan shalat itu dua rakaat dua rakaat baik dalam kondisi muqim maupun safar. Lalu shalat dalaam keadaan safarditetapkan (dua rakaat) dan ditambah (dua rakaat) untuk shalat dalam keadaan muqim.” (Shahih Muslim no. 1602)
عن عمر رضي الله عنه قال : صلاة السفر ركعتان وصلاة الأضحى ركعتان وصلاة الفطر ركعتان وصلاة الجمعة ركعتان تمام غير قصر على لسان محمد صلى الله عليه وسلم
Dari Umar –radhiyaLlahu ‘anhu- ia berkata, “Shalat safar itu dua rakaat, shalat dhuha dua rakaat, shalat ‘idul fithri dua rakaat, shalat jum’at dua rakaat, merupakan tam (rakaat sempurna) bukan qashar berdasar lisan Muhammad –shallaLlahu ‘alaihi wa sallam-.” (Musnad Ahmad no. 257)
Maka dipahami bahwa firman Allah yang berbunyi “Maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat(mu)” adalah berkaitan dengan kaifiyat mengqashar shalat khauf. Oleh sebab itu, pada ayat selanjutnya, yaitu 102 dari surat an-Nisaa berbicara tentang kaifiyat shalat khauf.
Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, Maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata.
Tafsir Ahkam
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan fatwa tentang penyelenggaraan ibadah dalam situasi terjadi wabah. Di dalam fatwanya terdapat poin rukhshah yang berkaitan dengan ibadah shalat. Berikut redaksi fatwa tersebut:
- Orang yang telah terpapar virus Corona, wajib menjaga dan mengisolasi diri agar tidak terjadi penularan kepada orang lain. Baginya shalat Jumat dapat diganti dengan shalat zuhur, karena shalat jumat merupakan ibadah wajib yang melibatkan banyak orang sehingga berpeluang terjadinya penularan virus secara massal. Baginya haram melakukan aktifitas ibadah sunnah yang membuka peluang terjadinya penularan, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan tabligh akbar. (Fatwa MUI no. 14 tahun 2020 tentang Covid-19)
Bila dikaitkan dengan pembahasan ayat ini (An-Nisa: 101), fatwa MUI ini tepat dalam konteks adanya ketakutan masyarakat terhadap penyebaran wabah Covid-19. Artinya ada rukhshah bagi seorang mukallaf untuk tidak mengerjakan shalat jumat misalnya, karena adanya udzur atau alasan yang dapat membahayakan bagi orang lain. Terlebih fatwa tersebut diperkuat dengan hadits riwayat Abu Dawud berikut ini:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ سَمِعَ الْمُنَادِىَ فَلَمْ يَمْنَعْهُ مِنَ اتِّبَاعِهِ عُذْرٌ ». قَالُوا وَمَا الْعُذْرُ قَالَ خَوْفٌ أَوْ مَرَضٌ
Dari Ibnu Abbas ia berkata, “Rasulullah –shallaaLlahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Barangsiapa yang mendengar suara adzan, wajib baginya shalat di masjid kecuali ada udzur.” Para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud udzur?” Nabi menjawab, “Ketakutan dan sakit.” (Sunan Abu Dawud no. 551)
Orang yang terkena Covid-19, setidaknya telah memenuhi dua syarat tersebut, yaitu ketakutan dan sakit. Oleh sebab itu, meninggalkan yang wajib seperti shalat berjamaah di masjid, baginya ada rukhshah disebabkan alasan tersebut. Terlebih, pemerintah setempat telah memerintahkan masyarakatnya agar menerapkan social distancing, menjadi semakin kuat untuk menghindari kerumunan dan kumpulan massa yang diduga kuat potensi penyebarannya akan besar. Maka dalam konteks ibadah shalat yang melibatkan banyak orang, seperti shalat berjamaah lima waktu, shalat jumat, shalat tarawih, dan shalat ‘id, baginya mendapatkan rukhshah untuk tidak mengerjakannya sebagaimana keterangan yang tercantum dalam Fatwa MUI. WaLlaahu A’lam