وَكَذَلِكَ نُرِي إِبْرَاهِيمَ مَلَكُوتَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ (75) فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا أُحِبُّ الْآفِلِينَ (76) فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ (77) فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَاقَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ (78)
Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yakin. Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku“, tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.” Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku“. Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat.” Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar“. Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan“. (Q.S: Al-An’am [6]: 75-78)
Ayat di atas dipahami oleh sebagian orang dan bahkan ironinya sebagaian ustadz sebagai ayat yang berbicara tentang Ibrahim mencari tuhan. Padahal Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar (2008: 148) dalam bukunya yang berjudul “ar-Rasulu wa ar-Risalat” menyantumkan bab tentang “Para Rasul Ma’shum” dengan sub judul “[Para Rasul] Ma’shum Dari Syirik, Maksiat dan Dosa”. Ini menjadi kaidah atau semisal rumus bahwa semua para nabi terjaga dari dosa besar terlebih syirik. Seandainya jika kita sedikit menelisik kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dalam kitab Qashashul Anbiyanya Ibnu Katsir, di sana akan terungkap bahwa ayat ini merupakan fase kedua dakwah Nabi Ibrahim yang sebelumnya Nabi Ibrahim berdakwah kepada ayahnya, Azar.
Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam al-Kitab (al-Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi. Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya; “Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun? Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Tuhan yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan yang Maha pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan”. Berkata bapaknya: “Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, Hai Ibrahim? jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama”. Berkata Ibrahim: “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku”. (Q.S: Maryam: 41-48)
Jadi amat sangat heran jika QS. Al-An’am: 75-78 dipahami sebagai kisan pencarian Ibrahim terhadap tuhannya. Sedangkan sebelumnya, Ibrahim menentang keras terhadap ayahnya yang menyembah berhala. Bahkan Ibrahim sampai akan memintakan ampunan kepada Rabb-nya untuk ayahnya yang menyembah berhala.
Oleh kerenanya, baik Ibnu Katsir, al-Maraghi, dan az-Zuhaili menyatakan bahwa konteks ayat ini tidak sedang berbicara tentang kisah Ibrahmi mencari tuhan. Ayat ini hanya menegaskan bahwa Ibrahim bermunādzarah bersama kaumnya (hādza maqāmun munādzaratun li qaumihi) yang saat itu kaumnya melakukan praktik penyembahan terhadap benda-benda langit seperti bintang, bulan, dan matahari. Dengan demikian, justru Ibrahim sedang mendakwahkan tauhid kepada kaumnya dengan menggunakan pendekatan logika. Pendekatan dakwah secara logis ini bukanlah kali pertama yang dilakukan Ibrahim. Kisah Ibrahmi yang menghancurkan patung-patung dan ia sisakan satu patung besar adalah pendekatan dakwah Ibrahim melalui akal sehat (logika)
Bahkan Ar-Razi dalam tafsir Mafatihul Ghaibnya sampai-sampai memberikan sepuluh argumen lebih untuk menolak orang-orang yang meyakini bahwa Ibrahim pernah mencari tuhan. Tiga di antaranya adalah; 1) ucapan pengakuan ketuhanan bintang adalah kufur, sedangkan ijma ulama tidak memperkenankan kekufuran terhadap seorang nabi; 2) Ibrahim sudah mengenali Tuhannya sebelum ayat 75-78 dari surat al-An’am ini turun (lihat ayat ke-74 pada surat yang sama); 3) dan Nabi Ibrahim lebih dulu berdakwah kepada ayahnya untuk bertauhid sebelum berdakwah kepada kaumnya yang menyembah bintang, bulan, dan matahari.
Jadi, meyakini bahwa Ibrahim pernah mencari tuhan sama saja sedang menghukumi Ibrahmi pernah melakukan praktik ateisme; sebuah keyakinan bahwa tidak ada tuhan di dunia ini. WaLlahu A’lam