Ibadah dalam syari’at kita bukan hanya dinilai dalam sisi zhahir namun tentu dinilai juga dalam sisi bathin. Ketundukan, kepasrahan diri dan kerendahan diri kepada Allah menjadi bagian yang menyatu dalam diri sebagai timbangan kesempurnaan ibadah kita kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Adapun sisi ibadah bathin yang mengungkapkan sifat kerendahan diri dan ketundukan itu disebut dengan khusyu dalam syari’at. Jika kekhusyuan diperoleh oleh seorang hamba, maka kenikmatan ibadahpun akan ia peroleh juga. Namun sebaliknya, jika seorang tidak memiliki kekhusyuan, maka hilanglah kenikmatan ibadah itu pula.
Kekhusyuan ini diperintahkan secara langsung di dalam al-Qur’an, bahkan Allah Ta’ala dahulu pernah mencela para sahabat yang belum khusyu dalam beribadah kepada-Nya. Sebagaimana disampaikan oleh Abdullah bin mas’ud,
أَنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ قَالَ مَا كَانَ بَيْنَ إِسْلَامِنَا وَبَيْنَ أَنْ عَاتَبَنَا اللَّهُ بِهَذِهِ الْآيَةِ { أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ } إِلَّا أَرْبَعُ سِنِينَ
Bahwasannya Abdullah bin Mas’ud berkata, “Tidaklah antara keislaman kami dan celaan Allah kepada kami dengan ayat ini, “Bukankah sudah waktunya orang-orang beriman khusyu hati mereka mengingat Allah” kecuali hanya empat tahun saja” (HR. Muslim)
Jika para sahabat saja yang telah berislam selama empat tahun saja mendapat teguran dari Allah agar para sahabat segera menguatkan kekhusyuannya dalam mengingat Allah, maka bagaimana dengan diri kita yang sudah berpuluh-puluh tahun bersilam? Sudahkah mendapat kenikmatan khusyu itu dalam ibadah kita?.
‘Abdullah bin Umar seringkali menangis ketika membaca ayat tentang perintah khusyu ini, karena beliau begitu menyadari kekurangan diri nyadalam beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، أَنَّهُ : كَانَ إِذَا أَتَى عَلىَ هَذِهِ الآَيَةِ ) أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِيْنَ آمَنُوْا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوْبُهُمْ لِذِكْرِ اللهِ) بَكَى حَتَّى يَبُلَّ لِحْيَتَهُ البُكَاءُ ، وَيَقُوْلُ : بَلَى يَا رَبِّ
Dari Ibnu Umar, bahwasannya beliau apabila membaca ayat ini, “Bukankah sudah waktunya orang-orang beriman khusyu hati mereka dalam mengingat Allah”. Maka beliau menangis sampai membasahi jenggotnya. Kemudian ia berkata, “Tentu Ya Rab”. (Ar-Riqqah wal Buka: 76)
Pengertian Khusyu
Lantas demikian, apa yang dimaksud khusyu itu?. Secara bahasa khusyu itu bermakna,
التَّوَاضُعُ وَ التَّطَامُنُ وَ قِيْلً المُسْتَكِيْنُ وَ الرَّاكِعُ
Khusyu secara bahasa adalah tawadlu, berserah diri, patuh dan ketundukan (A’malul Qulub: 267)
Imam Ibnu Hajar menjelaskan khusyu itu terkadang digunakan untuk perbuatan hati seperti khasyyah. eTrkadang pula digunakan untuk perbuatan badan seperti diam (Fathul Bari, 2: 264). Dengan demikian pengertian khusyu itu menunjukan makna ketundukan badan dan hati secara bersamaan. Dalam pengertian lain, khusyu itu bermakna,
لَيِّنُ القَلْبِ وَ رِقَتُهُ وَ سُكُوْنُهُ وُ خُضُوْعُهُ وُ انْكِسَارُهُ
“Khusyu itu kelembutan hati, kehalusan, ketenangan, ketundukan, pecahnya hati. Apabila hati khusyu maka seluruh anggota badan pun akan ikut khusyu. (A’malul Qulub: 267)
Ibnu Sirin memberikan amalan praktis mengenai khusyu. Menurutnya khusyu itu adalah terfokusnya pandangan ke tempat shalat kita. Ia mengatakan,
كَانُوْا يَقُوْلُوْنَ لَا يُجَاوِزُ بَصَرُهُ مُصَلَّاهُ
“Ibnu Sirin berkata, “Orang-orang shalih dahulu mengatakan khusyu itu ketika pandangan tidak memandang lebih daripada tempat shalatnya” (H.R Ibnu Jarir, dalam A’malul Qulub : 268).
Kedudukan Khusyu dalam Syari’at
Khusyu menempati kedudukan penting dalam ibadah kita. Ketika seorang melaksanakan ibadah namun tidak dibarengi dengan kekhusyuan itu ibarat jasad tanpa ruh. Seringkali seseorang melaksanakan shalat di masjid, namun hatinya berada di luar masjid. Kelalaian ini terjadi karena hilang kekhusyuan dalam ibadah. Dengan demikian, wajar kiranya jika syari’at ini memberikan perhatian besar kepada kekhusyuan dalam ibadah. Berikut beberapa kedudukan khusyu dalam syari’at kita.
Pertama; khusyu adalah di antara kewajiban dalam shalat.
وَاسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِ ۗ وَاِنَّهَا لَكَبِيْرَةٌ اِلَّا عَلَى الْخٰشِعِيْنَۙ
Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sesungguhnya (salat) itu benar-benar berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu. (QS. Al-Baqarah: 45)
Imam Ibnu Taimiyah berkata,
وَ هَذَا يَقْتَضِي ذَمَّ غَيْرِ الخَاشِعِيْنَ
“Ini menunjukan Allah mencela orang-orang yang tidak khusyu”. (Majmu al-Fatawa dalam A’mal al-Qulub: 272)
Kedua; orang-orang yang khusyu adalah pewaris surga firdaus.
قَدْ اَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ ۙ الَّذِيْنَ هُمْ فِيْ صَلَاتِهِمْ خٰشِعُوْنَ……ۘ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْوٰرِثُوْنَ ۙ الَّذِيْنَ يَرِثُوْنَ الْفِرْدَوْسَۗ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
Sungguh, beruntunglah orang-orang mukmin. (Yaitu) orang-orang yang khusyu dalam salatnya,……Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi. (Yaitu) orang-orang yang akan mewarisi (surga) Firdaus. Mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Muminun: 1-11)
Imam Ibnu Taimiyah berkata,
ذَالِكَ يَقْتَضِيْ أَنَّهُ لَا يَرِثًهَا غَيْرُهُمْ
“Ini menunjukan bahwa tidak ada yang mewarisi Firdaus kecuali orang-orang yang khusyu”. (Majmu al-Fatawa dalam A’mal al-Qulub : 273)
Ketiga; ibadah yang dibarengi dengan kekhusyuan lebih mulia daripada yang tidak dibarengi kekhusyuan.
قاَلَ حَسَّاُن بْنُ عَطِيَّةَ: إِنَّ الرَّجُلَيْنِ لَيَكَوْنَانِ فِي صَلَاةٍ وَاحِدٍ وَ إِنَّ بَيْنَهُمَا فِي الفَضْلِ لَكَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَ الأَرْضِ
Sesungguhnya dua orang laki-laki berada dalam shalat; keduanya dalam keutamaan; seperti antara langit dan bumi. (Zawaid az-Zuhdi dalam A’malul Qulub: 273)
Keempat; shalat dzuhur diakhirkan untuk menunggu dingin agar mendapat kekhusyuan dalam shalat.
قَالَ ابْنُ القَيِّمُ أَنَّ الصَّلَاةَ فِي شِدَّةِ الحَرَّ تَمْنَعُ صَاحِبَهَا مِنَ الخُشُوْعِ وَ حُضُوْرِ القَلْبِ وَ تَأَثَّرَ بِهَا
Ibnul Qayyim berkata, “Bahwasannya shalat ketika sangat panas menghalangi dari kekhusyuan, dari hadirnya hati, dan dari pangaruh shalat. (al-Wabil as-Shayyib dalam A’malul Qulub: 275).
Padahal kita ketahui bahwa amalan yang paling utama itu adalah shalat di awal waktu, namun jika kekhusyuan itu tidak bisa di dapatkan, Nabi saw membolehkan kita tidak mendapat keutamaan itu dikarenakan kekhusyuan harus lebih diperhatikan sebagai nilai kebaikan shalat seorang hamba.
Kelima; khusyu perkara yang pertama hilang dari umat ini.
رُوِيَ عَنْ حُذَيْفَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : أَوَّلُ مَا تَفْقِدُوْنَ مِنْ دِيْنِكُمْ الخُشُوْعُ وَ أَخِرُ مَاَ تَفْقِدُوْنَ مِنْ دِيْنِكُمْ الصَّلَاةُ
Diriwayatkan dari Hudzaifah, “Perkara yang pertama hilang dari diri kalian adalah kekhusyuan dan perkara yang terakhir akan hilang dari kalian adalah shalat. (Ibnu Abi Syaibah dalam A’malul Qulub: 274).
Khusyu sebagai perkara yang pertama yang hilang dari agama ini bukan berarti bermakna kita menganggap maklum dan mengabaikan kekhusyuan, namun justru riwayat ini mendorong kita agar benar-benar menjaga kekhusyuan. Dikarenakan, khusyu adalah perkara pertama yang hilang dari agama kita maka khusyu harus menjadi hal yang pertama dan utama yang mesti kita dahulukan dalam ibadah kita. Inilah di antara kedudukan khusyu dalam syari’at yang menunjukan bahwa nilai ibadah kita tergantung pada kekhusyuan kita. Maka, sudahkah kita khusyu dalam beribadah?. Wa-‘Llahu A’lam