Menulis adalah salah satu aktivitas intelektual yang mendapatkan perhatian istimewa dalam tradisi keilmuan para ulama Islam. Abu Hurairah ra sahabat yang paling banyak mewariskan wawasan-wawasan hadits kepada umat mengapresiasi ‘Abdullah Ibn ‘Amr Ibn al-‘Ash rekannya yang memiliki kontribusi penting di bidang serupa. Pasalnya, sahabat ini merekam sabda-sabda Nabi saw dalam bentuk tertulis sehingga ilmu dapat terjaga dengan baik. (Shahīh al-Bukhārī, kitab al-‘Ilm, bab Kitābatil-‘Ilm, no. 113) Ibn Syihab az-Zuhri seorang ulama generasi tabiin diunggulkan karena banyak menulis ilmu. Jika beberapa orang mencukupkan diri dengan mendokumentasikan hadits-hadits dari Rasulullah saw saja, az-Zuhri bahkan mencatat juga data-data keilmuan yang diperoleh dalam bentuk atsar para sahabat. (Al-Khathib al-Baghdadi, Taqyīdul-‘Ilm, ed oleh. Sa’id ‘Abdul-Ghaffar, Kairo: Darul-Istiqamah, 2008, hlm. 137) Bahkan Sufyan Ibn ‘Uyainah seorang ahli hadits terkemuka tidak hanya mencatat hadits-hadits shahih yang ia jadikan referensi dalam beramal saja. Ia juga mencatat hadits-hadits dha’if yang perlu untuk diketahui agar dapat dihindari. (Ibn ‘Abdil-Barr, Jāmi’ Bayānil-‘Ilm wa Fadhlih, Beirut: Dar Ibn Hazm, 2022, hlm. 95)
Sosok inspiratif lain yang menjadi teladan dalam produktivitas menulis ilmu adalah Imam Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari. Ulama ini dikenal memiliki pengetahuan luas dan pemahaman mendalam khususnya di bidang ilmu tafsir. Selain dijuluki sebagai seorang yang tsiqah dan hafizh, Imam adz-Dzahabi menyebutnya sebagai seorang pemimpin dalam ilmu tafsir, seorang imam dalam ilmu fiqih, dan seorang pakar dalam ilmu sejarah. Tidak mengheran jika Imam al-Khathib al-Baghdadi menyatakan bahwa Imam ath-Thabari telah menghimpun seluruh ilmu yang sulit ditandingi oleh orang-orang pada masanya. (Syamsuddin adz-Dzahabi, Siyar A’lāmin-Nubalā`, ed. oleh Syu’aib al-Arna`uth et al, Beirut: Mu`assasah ar-Risalah, 1985, vol. 14, hlm. 269-270)
Imam ath-Thabari sudah menekuni bidang keilmuan di usianya yang masih sangat belia. Ia lahir di kota Amol daerah Tabaristan pada tahun 224 H serta tumbuh di bawah asuhan keluarga yang shalih. Ath-Thabari kecil mendapatkan dukungan penuh dari orang tuanya untuk menuntut ilmu. Sang ayah mengarahkannya untuk mempelajari al-Qur`an dan ilmu sejak usia ath-Thabari masih sangat kecil. Meskipun demikian, ath-Thabari menunjukkan keseriusan dan kemampuannya sehingga berhasil menghafal al-Qur`an di usia tujuh tahun, dipercaya menjadi imam shalat untuk orang banyak di usia delapan tahun, dan mulai menulis hadits di usia sembilan tahun. Petualangannya dalam melakukan rihlah ilmiah diawali dengan menjumpai ulama-ulama kota Amol kemudian dan ulama-ulama negeri Tabaristan. Perjalanannya ia lanjutkan ke kota Rayy sebelum nanti menemui ulama-ulama di negeri Irak. Imam ath-Thabari mengunjungi kota-kota yang menjadi pusat keilmuan dan peradaban Islam pada masa itu seperti Bashrah, Kufah, Baghdad, Syam, hingga Mesir. Setelah itu, Imam ath-Thabari memilih untuk menetap di kota Baghdad dan menghabiskan waktunya untuk mengajarkan ilmu dan menulis karya. (Shalah ‘Abdul-Fattah al-Khalidi, Ta’rīfud-Dārisīn bi Manāhijil-Mufassirīn, Damaskus: Darul-Qalam, 2008, hlm. 342-344)
Aktivitas yang tidak dapat dipisahkan dari rutinitas Imam ath-Thabari adalah menulis karya-karya keilmuan. Dari tangannya lahir berbagai kitab yang menjadi rujukan utama para ulama hingga saat ini. Di antara sekian banyak karya-karyanya, kitab tafsir dan tarikhnya dapat dikatakan sebagai dua karya yang paling populer. Kitabnya berjudul Jāmi’ul-Bayān ‘an Ta`wīl Āyil-Qur`ān menjadi referensi utama tafsir bil-ma`tsur yang dirujuk oleh para ulama tafsir. Sedangkan kitabnya yang berjudul Tārīkhul-Umam wal-Mulūk menghimpun data-data sejarah dari zaman Nabi Adam as hingga masa Imam ath-Thabari sehingga menjadi sumber penting bagi para ulama ahli sejarah. Prestasi ini tentunya lahir dari ketekunan dan keikhlasan seorang Imam ath-Thabari dalam menulis. Al-Khathib al-Baghdadi menukil penuturan dari ‘Ali Ibn ‘Ubaidillah al-Lughawi bahwa Imam ath-Thabari menjalani empat puluh tahun dalam hidupnya dengan menulis empat puluh lembar kertas setiap hari. (Al-Khathib al-Baghdadi, Tārīkh Baghdād, ed. oleh Basysyar ‘Awwad Ma’ruf, Beirut: Darul-Gharb al-Islami, 2002, vol. 2, hlm. 550) Data sejarah ini menunjukkan bahwa total tulisan yang berhasil dihasilkan oleh Imam ath-Thabari di usia-usia paling produktif dalam hidupnya dapat mencapai lebih dari lima ratus delapan puluh ribu lembar kertas.
Ditemukan kisah menarik di balik penulisan kitab Tafsīr ath-Thabarī dan Tārīkh ath-Thabarī ini. Qadhi Abu ‘Umar as-Simsar dan Abul-Qasim al-Warraq mengisahkan bahwasanya Imam ath-Thabari menulis dua kitab tentang tafsir al-Qur`an dan sejarah umat manusia sejak zaman Nabi Adam as. Ketika ditanya tentang jumlah kertas yang ia gunakan, sang imam menjawab bahwa masing-masing kitab menghabiskan tiga puluh ribu kertas. Murid-muridnya berkomentar bahwa dua kitab ini akan menghabiskan umur seseorang sebelum ia selesai membacanya. Akhirnya dua kitab itu ia ringkas masing-masing menjadi tiga ribu lembar. (Ibnul-Jauzi, al-Muntazham fī Tārīkhil-Mulūk wal-Umam, ed. oleh Muhammad ‘Atha dan Mushthafa ‘Atha, vol. 13, hlm. 216) Selain dua kitab ini, masih banyak karya Imam ath-Thabari lainnya yang menunjukkan keluasan dan kedalaman ilmunya. Di karya-karya tersebut adalah kitab Ikhtilāf ‘Ulamā`il-Amshār fi Ahkām Syarā`i’il-Islām tentang perbandingan madzhab, kitab Lathīful-Qaul fi Ahkām Syarā`i’il-Islām serta ringkasannya yaitu kitab al-Khafīf fi Ahkām Syarā`i’il-Islām tentang fiqih madzhab Jariri, Basīthul-Qaul fi Ahkām Syarā`i’il-Islām tentang sejarah fiqih, Tahdzībul-Ātsār tentang hadits, dan masih banyak lagi. (Muhammad az-Zuhaili, al-Imām ath-Thabarī, Damaskus: Darul-Qalam, 1999,hlm. 50-53)
Produktivitas menulis Imam ath-Thabari tidak dapat dilepaskan dari kedisiplinan sang imam dalam mengatur waktu. Qadhi Abu Bakr Ibn Kamil salah satu murid Imam ath-Thabari mendeskripsikan bagaimana rutinitas keseharian sang guru. Sejenak sebelum shalat zhuhur, sang imam istirahat siang dengan tidur sejenak. Setelahnya, ia shalat zhuhur dilanjut dengan kesibukan menulisnya hingga waktu ‘ashar. Lalu setelah shalat ia bertemu dengan murid-muridnya untuk membacakan atau menyimak bacaan mereka sampai waktu maghrib. Ia mengajar fiqih setelah shalat hingga waktu ‘isya datang. Sang imam baru kembali ke rumahnya sesudah melaksanakan shalat ‘isya. (Abu Ghuddah, Qīmatuz-Zaman ‘indal-‘Ulamā`, Beirut: Darul-Basyā`ir, 2012, hlm. 79)
Semangat menulis Imam ath-Thabari bahkan tetap membara hingga detik-detik akhir menjelang wafatnya. Imam Ibn ‘Asakir mencatat bahwa menjelang wafatnya, Imam ath-Thabari meminta untuk diambilkan kertas dan tinta untuk mencatat ilmu yang baru saja ia dengar. Menurutnya, seseorang tidak selayaknya berhenti mencatat ilmu sampai maut menjemput. (Ibn ‘Asakir, Tārīkh Dimasyq, ed. oleh Muhibbuddin al-‘Umrawi, Darul-Fikr, 1995, vol. 52, hlm. 199) Sepeninggal Imam ath-Thabari, murid-muridnya menghitung jumlah hari dari usia baligh sang guru hingga wafatnya kemudian dibandingkan dengan jumlah kertas yang ditulis olehnya. Hal ini diceritakan oleh Abu Muhammad al-Farghani murid Imam ath-Thabari penulis kitab ash-shilah lanjutan untuk kitab Tārīkh ath-Thabarī. Akhirnya didapati rata-rata jumlah kertas yang dihasilkan oleh sang guru perharinya mencapai empat belas lembar tulisan. (Syamsuddin adz-Dzahabi, Tārīkhul-Islām, ed. oleh Basysyar ‘Awwad Ma’ruf, Beirut: Darul-Gharb al-Islami, 2003, vol. 7, hlm. 161-162) Hal ini menunjukkan ketekunan seorang Imam ath-Thabari dalam mencatat dan menulis ilmu.
Karya-karya Imam ath-Thabari mendapatkan apresiasi dari banyak ulama. Imam Muhyiddin an-Nawawi misalnya menyatakan kesepakatan umat bahwa belum pernah ada kitab yang semisal dengan Tafsīr ath-Thabarī. Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah bahkan menyebut kitab Tafsīr ath-Thabarī sebagai referensi tafsir populer yang paling sahih pada masanya. Demikian juga Imam Ibn Khuzaimah yang setelah menyelesaikan penelaahan bertahun-tahun untuk kitab Tafsīr ath-Thabarī yang ia pinjam dari kawannya. Setelah membacanya, ia menyatakan bahwa Imam ath-Thabari adalah orang paling berilmu di muka bumi yang ia ketahui. (Muhammad Husain adz-Dzahabi, at-Tafsīr wal-Mufassirūn, Kairo: Maktabah Wahbah, t.th, vol. 1, hlm. 149-150) Tentang kitab Tārīkh ath-Thabarī, sejarawan terkemuka Ibnul-Atsir al-Jazari menjadikannya sebagai rujukan utama dalam menyusun kitab sejarahnya yaitu al-Kāmil fit-Tārīkh. Sebab ia menjadi referensi paling didahulukan dalam ilmu sejarah. Selain itu, Ibnul-Atsir mengutamakan kitab tersebut dibandingkan karya-karya sejarawan lainya adalah karena kapasitas keilmuan Imam ath-Thabari. Menurutnya, sang imam adalah seorang yang benar-benar mutqin sekaligus penghimpun banyak ilmu di samping akidahnya yang lurus. (Ibnul-Atsir, al-Kāmil fit-Tārīkh, ed. oleh Sayyid as-Sinnari, Kairo: Darul-Hadits, 2010, vol. 1, hlm. 47)
Kisah Imam ath-Thabari seharusnya sudah cukup memantik semangat umat Islam khususnya para santri untuk berkhidmat di medan jihad keilmuan ini. Imam ath-Thabari bahkan bukan satu-satunya nama yang menjadi teladan dalam menulis karya keilmuan. Sejarah Islam mencatat nama-nama lain seperti Muhyiddin an-Nawawi, al-Hafizh Ibn Hajr al-‘Asqalani, Abul-Faraj Ibnul-Jauzi, Jalaluddin as-Suyuthi, Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah, Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Syamsuddin adz-Dzahabi, dan masih banyak lagi. Mereka adalah insan-insan inspiratif yang mesti diteladan semangatnya di bidang ilmu khususnya dalam aktivitas mencatat dan menulis karya keilmuan.
Artikel diatas ditulis oleh Darana Erawan Noer Hadiyana (Alumni Angkatan 2025)