إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ (.) إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَقْدِرُوا عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka memperoleh siksaan yang besar. Kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka. Maka ketahuilah bahwasannya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Maidah [5]: 33-34)
Tafsir Mufradat
Fasid sebagaimana yang dikatakan ar-Raghib, ialah sesuatu yang menyelisihi dari jalan yang lurus. Hal itu bisa mencakup pada wilayah psikis, fisik, dan semua aspek yang keluar dari jalan yang lurus, baik dalam jumlah minimal maupun maksimal. Di dalam al-Qur’an sendiri, istilah fasid merujuk kepada makna rusaknya sesuatu karena telah keluar dari tracknya, sehingga memunculkan ketidakadilan. (Mu’jam Mufradat, 2008: 125)
Tafsir ‘Am
Menurut ath-Thabari ayat ini khusus ditujukan untuk orang-orang musyrik. Padahal yang benar, menurut Ibnu Katsir ayat ini tidak khusus hanya untuk orang-orang musyrik saja, tapi siapa saja yang masuk kriteria ayat di atas, yaitu orang yang melakakukan muharabah (memerangi) dan fasad (merusak) termasuk kategori ayat yang dimaksud. (Umdah, 2005: 667)
Muharabah (memerangi) pada ayat di atas, makna asalnya adalah melanggar; melampaui batas; menganiaya; menyerang dan merampok. Dipakai pada ayat ini dengan makna majazi, yaitu mengintimidasi dan berbuat jelek kepada Allah dan Rasul-Nya. Adapun fasad (merusak) memiliki asal makna membegal, meneror, dan merampas harta, jiwa, dan kehormatan seseorang. (Al-Munir, 2009: 512)
Ayat ini [33-34] merupakan rangkaian dari ayat sebelumnya [32] yang membicarakan tentang tema pembunuhan dan perusakan (fasad). Pada ayat sebelumnya Allah menyatakan bahwa pelaku pembunuhan dan pembuat kerusakan seolah-olah ia membunuh seluruh umat manusia. Maka ayat di atas hadir sebagai bentuk hukuman terhadap pelaku pembunuhan dan pembuat kerusakan dengan cara dibunuh, disalib, dipotong-silang kaki dan tangannya, serta diusir dari negerinya. Terkecuali mereka sempat bertaubat sebelum tertangkap. Meskipun konteks ayat ini ditujukan untuk Bani Israil, namun status hukumnya berlaku untuk selain mereka, al-Ibratu bi umumil–lafdzi la bi khushushis–sabab.
Tafsir Ahkam
Kronologis ayat ini berkaitan dengan kasus sekelompok orang dari kabilah ’Ukl dan ‘Urainah yang berjumlah delapan orang. Mereka menghadap Rasulullah –shallaLlahu ‘alaihi wa sallam– untuk berbaiat masuk Islam. Kemudian, karena mereka menganggap udara kota Madinah kurang begitu baik untuk kesehatan mereka, mereka diadukan kepada Nabi. Akhirnya Nabi menganjurkan mereka untuk pergi ke padang sahara bersama pengembala dan untanya. Sepulang dari padang sahara, mereka kembali kafir sekaligus membunuh pengembala rekomendasi Nabi yang membersamai mereka. Abu Qilabah berkata, “Mereka merampas, membunuh, dan kafir setelah mereka beriman. Mereka telah memerangi Allah dan Rasul-Nya.
Berkenaan dengan tindakan fasad mereka, Nabi –shallaLlahu ‘alaihi wa sallam– menghukum mereka, sebegaimana yang diceritakan dalam riwayat Bukhari-Muslim berikut:
فَبَلغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَبَعَثَ فِى آثَارِهِمْ فَأُدْرِكُوا فَجِىءَ بِهِمْ فَأَمَرَ بِهِمْ فَقُطِعَتْ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ وَسُمِرَ أَعْيُنُهُمْ ثُمَّ نُبِذُوا فِى الشَّمْسِ حَتَّى مَاتُوا
Kejadian itu sampai kepada Rasulullah –shallaLlahu ‘alaihi wa sallam-, lalu beliau mengutus (para sahabat) untuk mencari jejak (keberadaan) mereka. Akhirnya mereka pun ditemukan lalu mereka pun dibawa (ke hadapan Nabi). Kemudian beliau memerintahkan agar dipotong tangan-kaki mereka, dicukil mata mereka, dan dibiarkan di bawah terik matahari sampai mati. (H.R: Bukhari no. 233; 3018; 4192; 4193; 5727; 6802; 6804; 6805; 6899, Muslim no. 4446; 4447; 4449; 4452)
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukuman yang diberikan Nabi kepada orang-orang ‘Ukl dan ‘Urainah. Apakah dimansukh dengan al-Maidah ayat 33 ini?. Pasalnya, antara hukuman yang ditetapkan Nabi dengan hukuman yang ditetapkan dalam ayat tersebut terdapat perbedaan, dari sisi pencukilan mata. Ada ulama yang berpendapat bahwa hukuman tersebut dimansukh dengan adanya ayat yang menegur Nabi terhadap tindakan tersebut [QS. At-Taubah: 43] atau Nabi sendiri (setelahnya) melarang dengan hukuman tersebut. Ada juga yang berpendapat bahwa hukuman tersebut terjadi sebelum adanya hukum had. Pendapat lain mengatakan bahwa Nabi tidak mencukil mata pelaku fasad tersebut, Nabi baru sebatas berazam saja, sampai kemudian turunlah ayat tersebut. Semua pendapat ini, menurut Ibnu Katsir perlu ditinjau ulang. (‘Umdah, 2005: 668)
Berdasarkan riwayat Bukhari-Muslim yang ditersaji dengan banyak jalur periwayatan, menunjukan bahwa hukuman yang Nabi lakukan benar-benar terjadi kepada kaum ‘Ukl dan ‘Urainah sampai kemudian turunlah ayat ini sebagai bentuk teguran sekaligus pengajaran kepada Nabi, bahwa hukuman bagi pelaku fasad hanya terdiri dari dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kaki, dan diasingkan tanpa dicukil matanya. Namun pendapat ini dibantah, bahwa ayat ini turun tidak untuk menegur Nabi, akan tetapi ayat ini turun untuk kasus setelahnya jika terjadi kembali pelaku fasad.
Berdasarkan ayat ini pula, hukuman bagi pelaku fasad bisa dengan cara dibunuh, disalib, dipotong tangan, dan diasingkan sesuai dengan tingkat tindak pidananya. Oleh karena itu, menurut Wahbah az-Zuhaili, rangkaian hukuman yang tercantum pada ke-33 menggunakan huruf au (أو) tanwi’ yang menandakan bahwa hukuman yang jatuh pada terdakwa pelaku fasad, disesuaikan dengan tingkat pidana yang mereka lakukan; dibunuh dan disalib jika pelaku fasadnya berbentuk pembunuhan dan penjarahan; dipotong tangan dan kakinya secara silang jika pelaku fasadnya berbentuk penjarahan saja; diasingkan dari negeri asalnya jika pelaku fasadnya bebentuk teror saja. (Al-Munir, 2009: 514)
Pendapat Wahbah ini diambil dari pendapat jumhur ulama berdasarkan riwayat Imam Syafi’i via Ibnu Abbas. Namun, Ibnu Katsir memandang bahwa huruf au (أو) pada ayat di atas merupakan huruf takhyir (pilihan). Meskipun demikian, baik yang takhyir maupun yang tanwi’ dalam proses penegakannya, tetap disesuaikan dengan tingkatan tindak pidana pelaku fasad sebagaimana yang diutarakan jumhur ulama. (‘Umdah, 2005: 670)
Kemudian Wahbah menambahkan bahwa ada tiga syarat untuk memenuhi pelaksanaan hukuman tersebut. Pertama, pelaku fasad memiliki kemampuan dan kesempatan untuk melakukannya. Kedua, pembegalan dilakukan di wilayah kekuasaan Islam. Ketiga, perampokan dilakukan secara terang-terangan, jika dilakukan secara sembunyi-sembunyi maka berlaku seperti hukum potong tangan biasa. (Al-Munir, 2009: 516)
Terkecuali pelaku fasad mau bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat, maka hukuman pada pelaku fasad gugur jika pelakunya tidak tertangkap.
إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَقْدِرُوا عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka. Maka ketahuilah bahwasannya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Maidah [5]: 34)
Ayat di atas oleh sebagian pendapat dipahami hanya untuk orang-orang musyrik saja. Adapun orang yang terkategori muharabah, maka semua hukuman gugur kecuali hukum potong tangan masih diperselisihkan berdasarkan pada dua pendapat ulama; ada yang memberlakukan potong tangan tanpa kaki; ada yang menggugurkannya sama sekali.
Menurut Ibnu Katsir, zhahir ayat di atas tidak membatasi pada hukuman tertentu. Artinya semua hukuman gugur jika memang ia bertaubat dan belum sempat tertangkap. Berikut dalilnya:
ثم روى ابن جرير أَنَّ عَلِيًّا الْأَسَدِيَّ حَارَبَ، وَأَخَافَ السَّبِيلَ، وَأَصَابَ الدَّمَ وَالْمَالَ، فَطَلَبَهُ الْأَئِمَّةُ وَالْعَامَّةُ فَامْتَنَعَ، وَلَمْ يقدروا عَلَيْهِ حَتَّى جَاءَ تَائِبًا، وَذَلِكَ أَنَّهُ سَمِعَ رَجُلًا يَقْرَأُ هَذِهِ الْآيَةَ: {قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُواْ عَلَى أَنفُسِهِمْ لاَ تَقْنَطُواْ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ} فَوَقَفَ عَلَيْهِ، فَقَالَ: يَا عَبْدَ اللَّهِ أَعِدْ قِرَاءَتَهَا فَأَعَادَهَا عَلَيْهِ، فَغَمَدَ سَيْفَهُ، ثُمَّ جَاءَ تَائِبًا، حَتَّى قَدِمَ الْمَدِينَةَ مِنَ السَّحَرِ، فَاغْتَسَلَ، ثُمَّ أَتَى مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى الصُّبْحَ، ثُمَّ قَعَدَ إِلَى أبي هريرة في أغمار أَصْحَابِهِ، فَلَمَّا أَسَفَرُوا عَرَفَهُ النَّاسُ، فَقَامُوا إِلَيْهِ، فَقَالَ: لَا سَبِيلَ لَكُمْ عَلَيَّ، جِئْتُ تَائِبًا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَقْدِرُوا عَلَيَّ، فَقَالَ أَبُو هريرة: صدق…
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir bahwa Ali al-‘Asadi pernah memuharabah sedangkan ia takut jejaknya (ketahuan) dan akan menimpa kepada darah dan hartanya. Lalu para pemimpin dan masyarakat (muslim) mencarinya namun ia tidak ditemukan. Mereka tidak bisa menangkapnya sampai ia (Ali al-‘Asadi) datang dalam keadaan taubat. Hal itu terjadi saat ia mendengar seseorang membaca ayat, {Katakanlah (Muhammad), wahai hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri sendiri! Janganlah putus asa terhadap rahmat Allah. Sesungguhnya Dia mengampuni semua dosa. Dia Maha Pengampun Maha Penyayang}. Ia pun berhenti sejenak sambil berkata, “Wahai hamba Allah! Ulangi bacaanya.” Maka dia (hamba Allah) mengulangi untuknya. Ia pun menyarungkan pedangnya dan datang dalam keadaan bertaubat sampai ia tiba di madinah waktu subuh. Lalu ia mandi, mendatangi masjid Nabi –shallaLlahu ‘alaihi wa sallam- lalu shalat subuh. Kemudian ia duduk mendekati Abu Hurairah yang sedang dikerumuni para muridnya. Ketika matahari semakin terang, orang-orang mengenalinya. Mereka pun menangkapnya, lalu ia (Ali a-‘Asadi) berkata, “Kalian tidak bisa menangkapku, aku datang dalam keadaan taubat sebelum kalian menangkapku. Maka Abu Hurairah berkata, “Dia benar.”…. (‘Umdah, 2005: 671-672)
Dengan begitu, hukuman mati untuk tindak pidana bisa mendapatkan amnesti dari hukuman semestinya jika ia bertaubat dan belum tertangkap. Wal-Llaahu A’lam