Persoalan perbedaan kalender Hijriyyah bermuara pada perbedaan kriteria, otoritas tunggal, dan garis tanggal. Perbedaan kriteria dan otoritas tunggal sampai saat ini masih menjadi penyebab dominan dari adanya perbedaan ini. Karena dua hal ini tidak kunjung disepakati, maka selamanya perbedaan kalender Hijriyyah akan terjadi.
Persatuan Islam (Persis) sejak tahun 2012 sudah selangkah lebih maju dengan memberlakukan kriteria baru yang lebih ilmiah dalam menentukan awal bulan Hijriyyah dan kemudian turut memperjuangkannya agar dijadikan kriteria tunggal. Kriteria yang dipilih oleh Persatuan Islam tersebut kemudian disepakati pada seminar internasional di Jakarta pada tahun 2017 sebagai kriteria tunggal awal bulan Hijriyyah dan dijadikan salah satu keputusan yang direkomendasikan dalam Rekomendasi Jakarta.
Akan tetapi karena dua ormas besar lainnya; NU dan Muhammadiyah, tidak kunjung menyepakatinya, maka kalender Pemerintah belum bisa berubah dan masih pada standarnya yang lama dengan standar imkanur-rukyat 2 derajat. Makanya tidak heran jika dalam beberapa kasus terjadilah perbedaan kalender antara kalender Persis dan kalender Pemerintah. Prof. Thomas Djamaludin, Kepala LAPAN, sebagai pengusul utama kriteria baru yang lebih ilmiah tersebut menceritakannya panjang lebar kepada rombongan santri Pesantren Persis 27 yang berkunjung ke rumahnya seputar problematika perbedaan kalender Hijriyyah. Dalam suasana santai tetapi cukup serius tersebut, intelektual yang dikenal tawadlu’ dan selalu berkhidmat total dalam penyeragaman kalender Hijriyyah ini juga mengusulkan agar selama kriteria tunggal belum disepakati, maka minimal otoritas tunggal, dalam hal ini Pemerintah RI, disepakati untuk diikuti dahulu, agar lebih maslahat bagi umat. Berikut petikan lengkap wawancaranya.
Ada perbedaan tanggal awal Ramadlan antara kalender Persatuan Islam dan kalender Kemenag. Persatuan Islam menetapkan tanggal 25 April 2020, sementara Kemenag tanggal 24 April 2020. Mengapa perbedaan seperti itu selalu terjadi? Benarkah Persis menentukan kriteria awal bulan berdasarkan kriteria LAPAN, usulan dari Profesor sendiri?
Saya akan bercerita dari awal. Perbedaan penentuan awal Ramadlan, Syawwal, dan Dzulhijjah, bahkan secara umum perbedaan kalender Hijriyyah, itu sudah ada dari sejak dulu. Nabi saw sendiri memberikan patokan dalam hadits: Shumu li ru`yatihi wa afthiru li ru`yatihi fa in ghumma ‘alaikum fa akmilul-‘iddah tsalatsin; mulailah shaum karena melihat hilal (bulan sabit tipis—red), dan mulailah berbuka (‘Idul-Fithri) karena melihat hilal. Maka jika terhalang (dari melihat hilal) sempurnakan bulan yang sedang berjalan menjadi 30 hari. Atau hadits lainnya: “Bulan itu seperti ini, ini, dan ini,” Nabi saw berisyarat dengan 10 jarinya tiga kali, artinya 30 hari. Kemudian Nabi saw bersabda lagi: “Bulan itu ada juga yang seperti ini, ini, dan ini,” Nabi saw berisyarat dengan 10 jarinya tiga kali, tetapi pada yang ketiga kalinya dengan melipat satu jarinya, artinya 29 hari. Dua hadits di atas juga menunjukkan bahwa sejak zaman Nabi saw sudah ada ilmu hisab (astronomi) tetapi tentu seukuran pada zamannya.
Kemudian pada masa Khalifah ‘Umar ibn al-Khaththab dibuat kalender untuk penanggalan satu tahun ke depan, sebab pada zaman ‘Umar pemerintahan Islam sudah cukup luas, sudah sampai Mesir, Yaman, dan Irak, tidak hanya di Madinah saja. Tentunya membutuhkan keseragaman penanggalan untuk pencatatan adimistrasi kenegaraan. Pembuatan kalender ini tentunya menggunakan ilmu hisab meski seukuran kadar keilmuan pada zaman tersebut.
Kalender pada zaman ‘Umar adalah kalender paling sederhana, kalender ‘urfi, yakni menetapkan secara bergantian setiap bulannya 30 hari dan 29 hari. Bulan ganjil selalu 30, sementara bulan genap selalu 29 hari. Sehingga Ramadlan selalu 30 hari dan Dzulhijjah selalu 29 hari. Terkecuali jika jatuhnya pada tahun Kabisat, maka Dzulhijjah menjadi 30 hari. Jika di kalender Masehi tahun Kabisat ditambahkan pada bulan Februari, maka di kalender Hijriyyah tahun Kabisat ditambahkan pada bulan Dzulhijjah. Penentuan tahun Kabisat (355 hari) dan Basithah (354 hari) itu sendiri didasarkan pada sya’ir Arab yang sederhana dan berlaku dalam siklus 30 tahun. Di setiap siklus 30 tahun tersebut ada 19 tahun Kabisat (panjang) dan 11 tahun Basithah (pendek). Akan tetapi penggunaan kalender Hijriyyah seperti itu, dari sejak zaman ‘Umar sampai zaman sekarang di Arab Saudi misalnya, hanya berlaku untuk pencatatan sipil saja. Sementara untuk kepentingan ibadah tetap menggunakan rukyat.
Dalam perjalanan selanjutnya, untuk penentuan ibadah mulai muncul perdebatan apakah boleh menggunakan hisab ataukah harus rukyat saja. Sebagian menyatakan harus berdasar rukyat saja sesuai dengan hadits Nabi saw: Shumu li ru`yatihi wa afthiru li ru`yatihi. Tetapi sebagian lainnya menyatakan boleh menggunakan hisab karena di kelanjutan hadits tersebut dalam riwayat lain: fa in ghumma ‘alaikum fa-qduru lahu; jika terhalang penglihatan maka ukurlah. Mengukur di sini, menurut kelompok ini, tentu menggunakan ilmu hisab.
Di Indonesia polarisasi ini terjadi antara Muhammadiyah dan Persis (Persatuan Islam) yang menyatakan bahwa ilmu hisab bisa menggantikan rukyat sepenuhnya, dan kelompok selain keduanya, NU misalnya, yang bergantung pada rukyat. Maka dari itu, selalu terjadi perbedaan. Pada tahun 1970-an misalnya ketika saya masih di Cirebon, yang menggunakan hisab selalu lebih awal daripada Pemerintah karena mereka menggunakan kriteria wujudul-hilal (hilal wujud, meski ketinggiannya hanya nol koma sekian derajat dan tidak mungkin terlihat, sudah masuk awal bulan—red).
Tetapi terkadang yang dari kalangan NU juga mendahului Muhammadiyah, hal itu ternyata karena rukyat yang dijadikan pegangan oleh mereka sering terpengaruhi oleh hisab klasik, yakni yang merujuk kitab seperti Sullamun-Nairain, dimana sistem hisabnya taqribi (perkiraan), bukan menghitung posisi bulan secara akurat. Caranya dengan merujukkannya pada ijtima’; segarisnya antara bulan dan matahari atau konjungsi. Contohnya begini, jika ijtima’ terjadi jam 12.00 siang maka ketika maghrib usia bulan baru 6 jam. Ketinggiannya berdasarkan taqribi sekitar 3 derajat, karena menghitungnya 6 dibagi 2. Tentu itu sebenarnya tidak akurat seperti itu. Karena mereka berasumsi bahwa hilal di atas 2 derajat sudah pasti terlihat jadinya selalu ada laporan rukyat melihat hilal. Padahal sebetulnya ketinggian sebenarnya baru 1 derajat atau bahkan masih negatif yakni hilal belum wujud sama sekali. Tetapi karena terpengaruh oleh hisab taqribi jadinya selalu ada laporan rukyat hilal. Itu yang menjadi penyebab kalangan yang berpegang pada rukyat terkadang mendahului yang menggunakan hisab. Polarisasi semacam ini, antara yang menggunakan hisab dan rukyat terjadi sampai tahun 1990-an.
Pada tahap selanjutnya kemudian diketahui bahwa sebenarnya perbedaan itu bukan sebatas pada pilihan hisab dan rukyat-nya, melainkan pada kriteria yang dipilihnya. Ini terlihat misalnya ketika Persis yang semula dari tahun 1970-an mendasarkan pada kriteria ijtima’ qablal-ghurub (jika ijtima’ sebelum maghrib maka masuk awal bulan), kemudian beralih pada tahun 1998 menjadi imkanur-rukyat 2 derajat (jika ketinggian hilal 2 derajat lebih maka mungkin terlihat sehingga masuk awal bulan baru, meski tidak terlihat oleh kasat mata langsung akibat terhalang cuaca misalnya—red). Sehingga ketika menentukan awal Syawwal 1998 ada perbedaan yang unik. Saat itu ada dua versi; yang menentukan ‘Idul Fithri tanggal 29 Januari 1998 yaitu Muhammadiyah dan NU Jawa Tengah-Jawa Timur, dan yang menentukan ‘Idul Fithri tanggal 30 Januari 1998 yaitu Persis dan PBNU. Hal ini cukup unik karena sesama yang berpegang pada rukyat yakni PBNU dan PWNU Jawa Tengah dan Jawa Timur terjadi perbedaan. Demikian juga sesama yang berpegang pada hisab yakni Muhammadiyah dan Persis terjadi perbedaan. Ketinggiannya saat itu 1,5 derajat. Bagi Muhammadiyah karena sudah wujudul-hilal maka sudah masuk tanggal 1 Syawwal, sementara bagi Persis karena masih di bawah 2 derajat maka belum masuk awal Syawwal. Kemudian sesama ahli rukyat yakni NU, ada laporan mengaku melihat hilal di Bangkalan, Madura, dan Cakung, Jakarta, sehingga PWNU Jateng dan Jatim menetapkan awal Syawwal 29 Januari. Sementara PBNU sendiri yang dari sejak tahun 1985 berpegang pada imkanur-rukyat 2 derajat, mereka menolak laporan rukyat tersebut dan menetapkan awal Syawwal 30 Januari. Secara astronomis sendiri hilal dengan ketinggian seperti itu mustahil terlihat. Dari kasus ini terlihat semakin jelas bahwa akar permasalahan adanya perbedaan penentuan awal bulan itu adalah karena perbedaan kriteria.
Kemudian pada tahun 2010, LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) atau saya sendiri, mengusulkan sebuah kriteria baru berdasarkan data astronomi global, agar masing-masing kelompok maju dari kriteria yang dipegangnya. Jadi tidak ada satu kelompok mengalah mengikuti kelompok lain, melainkan kedua-duanya didorong untuk sama-sama maju. Kriteria yang diusung oleh LAPAN adalah beda tinggi matahari bulan 4 derajat atau ketinggian hilal saat terbenam 3,10 derajat atau dibulatkan saja 3 derajat (karena ketika terbenam, matahari sudah minus 50 menit) dan elongasi (jarak antara bulan dan matahari) 6,4 derajat. Sederhananya kriteria ini disebut kriteria 364. LAPAN meminta kedua kelompok sama-sama maju, baik yang wujudul-hilal atau yang imkanur-rukyat 2 derajat.
Kriteria yang diusung LAPAN menggunakan dua kriteria; ketinggian hilal dan elongasi, didasarkan pada fakta ilmiah bahwa: Pertama, ketika matahari terbenam, cahaya merahnya atau syafaq masih ada di ufuk, dan ini tentu akan menghalangi cahaya bulan yang sangat tipis waktu itu. Berdasarkan pengamatan astronomi dari seluruh dunia diketahui bahwa kemungkinan hilal terlihat itu ketika tingginya di atas ufuk 3 derajat atau beda tingginya dengan matahari 4 derajat. Kedua, fisik bulan sabit itu sangat tipis. Jika terlalu dekat dengan matahari pasti akan kalah oleh sinar matahari. Berdasarkan data pengamatan global bulan sabit bisa terlihat itu minimal jika jaraknya dari matahari (elongasi) 6,4 derajat. Maka dari itu LAPAN menetapkan kriteria 364.
Pada tahun 2012 saya diundang oleh Persis, oleh Dewan Hisbah dan Dewan Hisab dan Rukyat, untuk menjelaskan kriteria hilal versi LAPAN. Setelah dipresentasikan kemudian Persis menyatakan menerima kriteria hilal versi LAPAN ini.
Sejak saat itu berarti di Indonesia ada tiga kelompok besar; Muhammadiyah dengan kriteria wujudul-hilal, NU kriteria imkanur-rukyat 2 derajat, dan Persis kriteria imkanur-rukyat 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat.
Sampai tahun 2022 antara Muhammadiyah dan NU akan selalu seragam karena ketinggian hilal ada di atas 2 derajat atau masih minus. Baru nanti mulai tahun 2023 akan ada perbedaan antara NU dan Muhammadiyah karena ketinggial hilal antara 0-2 derajat. Sementara itu dengan Persis, seperti yang pernah terjadi pada beberapa tahun ke belakang ketika menentukan awal Dzulhijjah, di saat ketinggian hilal di atas 2 derajat dan di bawah 3 derajat, maka kalender Persis berbeda dengan kalender Muhammadiyah dan Pemerintah atau NU. Demikian halnya dengan awal Ramadlan 1441 H yang akan datang, dimana ketinggian hilal 3 derajat lebih sedikit dan elongasinya 5 derajat kurang, sehingga bagi Persis pasti belum masuk tanggal 1 Ramadlan, tetapi bagi Muhammadiyah dan NU sudah masuk tanggal 1 Ramadlan.
Mengapa tidak bisa disepakati satu kriteria hisab dan rukyat yang sama untuk menetapkan awal Ramadlan agar tidak ada perbedaan di tengah-tengah umat?
Perbedaan kalender ini sebetulnya bukan hanya terjadi pada kalender Hijriyyah, tetapi juga kalender Masehi. Semua perbedaan tersebut terjadi karena perbedaan kriteria, otoritas, dan garis tanggal. Yang paling menonjol adalah karena perbedaan kriteria dan otoritas. Selama tiga atau dua hal ini belum disepakati maka perbedaan akan selalu terjadi.
Dalam konteks kalender Masehi perbedaan pernah terjadi antara kalender Inggris dan Roma. Di Inggris sampai tahun 1792 masih menggunakan kriteria Julius, setiap empat tahun ada tahun kabisat. Sementara di Roma sejak tahun 1582 sudah menggunakan kriteria Gregorius yaitu setiap empat tahun ada tahun kabisat tetapi setiap 400 tahun dihilangkan tiga tahun kabisatnya, yaitu tahun-tahun kelipatan 100 tetapi tidak habis dibagi 400. Jadi tahun 1600 tahun kabisat, sementara tahun 1700, 1800, dan 1900 bukan tahun kabisat. Jadi ada tiga tahun kabisat yang dihilangkan dalam 400 tahun. Akibatnya sampai tahun 1582 perbedaan kalender Julius dan Gregorius hanya 10 hari, tetapi pada tahun 1792 perbedaannya sudah 13 hari. Jadi jika dalam kalender Hijriyyah perbedaannya hanya satu hari, atau jika hendak dihitung dengan kelompok An-Nadzir dan Naqsyabandiyyah maksimal tiga hari, maka perbedaan kalender Masehi ini dalam merayakan Natal misalnya sampai 13 hari. Jadi ketika di Roma sudah tanggal 25 Desember 1792, di Inggris masih tanggal 12 Desember 1792. Perbedaan tersebut juga disebabkan perbedaan otoritas; antara otoritas Paus di Roma dan otoritas Raja di Inggris. Ditambah satu lagi yaitu garis tanggal.
Belajar dari itu maka saya sering mengatakan bahwa untuk menyamakan kalender ada tiga syarat: Pertama, otoritas tunggal. Kalau tidak ada otoritas tunggal maka selamanya akan ada perbedaan, contohnya antara otoritas Inggris dan Roma. Dan akhirnya Inggris mengalah dalam hal otoritas kalendernya mengikuti Roma.
Kedua, harus ada kriteria tunggal. Pada waktu itu pun Inggris mengalah dari kriteria Julius menjadi kriteria Gregorius sebagaimana kalender Roma.
Ketiga, garis tanggal. Dalam kalender masehi baru disepakati pada tahun 1925, yaitu dekat Alaska, Samudera Pasifik (sebagian besar pada garis bujur + 180º di bagian Bumi yang berhadapan dengan garis Bujur Utama [prime Meridian]. Garis ini berbentuk lurus kecuali saat melewati wilayah Rusia dan pulau-pulau di Samudera Pasifik—red).
Hal ini pernah saya sampaikan ke teman-teman di Persis ketika terjadi perbedaan penetuan awal bulan beberapa tahun silam, bahwa sebelum kita berhasil menentukan kriteria tunggal, minimal kita samakan dahulu otoritas. Sementara ini otoritas itu adalah berdasarkan ayat: athi’ul-‘Llah wa athi’ur-Rasul wa Ulil-Amri minkum. Ulil Amri ini ada Pemerintah, ada juga pimpinan masing-masing ormas. Ketika terjadi perbedaan antara Pemerintah dengan pimpinan ormas maka otomatis selamanya akan terjadi perbedaan. Persis sendiri sepengetahuan saya memutuskan bahwa Ulil Amri itu adalah Ketua Umum, dan Ketua Umum kemudian dalam sidang itsbat memutuskan mengikuti Pemerintah, meski dengan syarat harus ada bukti gambar hilal. Menurut saya bukti gambar tersebut hanya pelengkap saja karena sampai saat ini masih sangat sulit membuktikannya jika ketinggian hilalnya di bawah kriteria ilmiah.
Sekarang pun awal Ramadlan nanti antara kalender Pemerintah dan kalender Persis pasti ada perbedaan, karena perbedaan kriteria. Kalender Pemerintah berdasarkan keputusan pada tahun 1998 kriterianya tinggi bulan 2 derajat, jarak matahari dan bulan 3 derajat, dan umur bulan 8 jam. Ini sering disebut dengan kriteria 238. Disebut juga kriteria MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura). Sementara Persis menggunakan kriteria LAPAN tinggi 3 derajat, elongasi 6,4 derajat. Data hilal untuk 23 April 2020 nanti pada saat maghrib di Indonesia Barat sekitar jam 17.45 tinggi bulan sedikit di atas 3 derajat, tetapi elongasinya di bawah 5 derajat. Itu sebabnya menurut kriteria Persis belum masuk kriteria tanggal awal bulan. Menurut kriteria intenasional juga belum masuk, yakni kriteria Turki dimana tinggi minimal 5 derajat dan elongasi 8 derajat. Dalam hal ini maka kalender Persis sebenarnya sama dengan kalender internasional, awal Ramadlannya jatuh pada tanggal 25 April 2020. Meski saat matahari terbenam tinggi bulan secara fisik sudah di atas 3 derajat, artinya ada potensi bisa mengalahkan cahaya syafaq (cahaya merah matahari), tetapi karena jaraknya dengan matahari terlalu dekat, yakni kurang dari 5 derajat, maka kemungkinan besar cahaya bulan yang tipis itu tidak akan terlihat akibat syafaq/cahaya merah matahari. Inilah yang disebut teori imkanur-rukyat; kemungkinan terlihat atau visibilitas hilal.
Solusi untuk menyatukan kalender Hijriyyah sudah diupayakan pada November 2017 dalam sebuah seminar internasional dengan menghadirkan perwakilan dari Brunei, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Jordania, yang kemudian mengeluarkan Rekomendasi Jakarta, yang isinya:
Pertama, kriteria bulan adalah tinggi bulan 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat. Kriteria ini memang semula diusulkan LAPAN, tetapi pada tahun 2015 diterima oleh Tim Teknis dari MABIMS. Dan saya mendengar berita bahwa baru-baru ini Singapura sudah mengadopsinya secara resmi. Jadi Persis sekarang sudah ada kawannya, yakni Singapura yang juga sudah memakai kriteria ini.
Kedua, harus ada otoritas tunggal. Yang diusulkan adalah Organisasi Kerjasama Islam (OKI) karena itu adalah organisasi yang saat ini ada dan bisa menyatukan semua negara-negara Islam. Untuk level regional diusulkan MABIMS. Dan untuk wilayah nasional adalah Pemerintah RI. Mengapa harus Pemerintah, karena dalam tingkatan global pasti yang maju mewakili adalah Pemerintah, bukan ormas.
Ketiga, kalender global harus diwujudkan dengan menentukan garis tanggal global. Jadi kalau di Indonesia 1 Ramadlannya jatuh pada hari Senin, maka seluruh dunia harus Senin. Kalau hari Arafahnya Selasa, maka Idul-Adlhanya Rabu, dan itu berlaku secara internasional. Diusulkan agar garis tanggal ini mengikuti garis tanggal internasional yang saat ini digunakan, di Samudera Pasifik.
Sampai saat ini sedang diupayakan agar Rekomendasi Jakarta ini diadopsi oleh rekan-rekan yang masih berdasar pada wujudul-hilal dan kriteria 2 derajat. Untuk kalangan tertentunya, khususnya kalangan mudanya, sebetulnya sudah cukup cair dan siap menerima Rekomendasi Jakarta ini, meski belum diterima sepenuhnya oleh NU dan Muhammadiyah sebagai lembaga resminya. Jika Rekomendasi Jakarta ini diterima, otomatis Persis nanti ada temannya, yakni NU dan Muhammadiyah. Dan dalam hal ini harus diakui Persis sudah berani mengambil langkah maju dengan menerima kriteria 364 ini.
Karena untuk saat ini sudah bukan lagi saatnya berdebat seputar dalil, berdebat seputar astronominya, atau berdebat seputar dalil naqli dan aqli-nya, tetapi harus ada kesepakatan. Sebab faktanya tidak ada satu kriteria pun yang sempurna. Kriteria wujudul-hilal atau imkanur-rukyat 2 derajat pasti ada kekurangannya. Kriteria 364 pun masih ada kekurangannya. Tetapi masih lebih baik daripada dua kriteria sebelumnya. Kita berharap kriteria yang diusulkan Rekomdendasi Jakarta itu disepakati agar tidak ada lagi perbedaan.
Kalaupun sekarang masih ada perbedaan, sebelum semuanya terpenuhi, yakni kriteria, otoritas, dan garis tanggal, minimalnya ada satu dahulu yang disepakati yaitu otoritasnya.
Mengapa kriteria 364 yang ditetapkan Rekomendasi Jakarta itu tidak diadopsi langsung oleh Pemerintah RI dan diberlakukan untuk seluruh rakyat di Indonesia, seperti yang diambil oleh Pemerintah Singapura misalnya? Apa kesulitannya?
Pemerintah itu berharap usulan itu bukan datang dari Pemerintah, sebab jika dari Pemerintah belum apa-apa pasti akan ditentang, karena Pasal 29 ayat 2 menyatakan Negara menjamin kebebasan beragama. Jika Pemerintah memaksakan pasti akan digugat karena dinilai memaksakan. Pertimbangan lainnya, seandainya Pemerintah menetapkan kriteria hilal 364, tetapi dua ormas besar; NU dan Muhammadiyah, tidak mau mengikuti, apa artinya. Seperti nanti awal Ramadlan 1441 H misalnya, jika Pemerintah menetapkan berdasarkan kriteria 364, nanti hanya Persis saja yang mengikuti, NU dan Muhammadiyah tidak mengikuti. Nanti akan jadi masalah besar juga. Maka dari itu kita tunggu saja hati mereka terketuk untuk bersatu dan nanti kalau sudah mau bersatu, baru Pemerintah bisa ketuk palu.
Kita berharap tahun ini, atau setidaknya tahun depan, kesepakatan kriteria yang merujuk Rekomendasi Jakarta ini bisa terwujud. Apalagi Singapura sudah resmi beralih ke kriteria 364. Mudah-mudahan Brunei dan Malaysia juga mengikutinya. Kemudian ormas-ormas Islam di Indonesia terdorong hatinya untuk bersatu, maka nanti Pemerintah tinggal ketuk palu.
Singkatnya untuk awal Ramadlan 1441 H dimana Persis menetapkan tanggal 25 April 2020, menurut Profesor sebaiknya ikut bagaimana keputusan Pemerintah nanti?
Ya, tetapi pada intinya bukan mengalah pada kriteria, melainkan mengalah pada otoritas tunggal. Sebelum kriteria disepakati sebaiknya kita ikut pada otoritas tunggal dahulu. Otoritas tunggal yang dimaksud adalah Ulil Amri. Ulil Amri yang dimaksud tentu yang skalanya lebih besar yang mampu menghimpun ormas-ormas Islam yang ada. Dalam hal ini tentu saja yang dimaksud adalah Pemerintah RI, agar jadi maslahat untuk seluruh umat.