إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِينًا
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata
(QS. Al-Fath: 1)
Fathan Mubina
Secara bahasa kata fathan berarti membuka. Kata ini bila disandingkan dengan kata negeri maka maknanya menjadi menaklukan. Dan menaklukan suatu negeri bisa terjadi dengan cara kekerasan, bisa juga dengan cara perdamaian. (Tafsir al-Maraghi)
Dalam konteks ayat ini, kemenangan yang dimaksud adalah kemenangan yang diraih dengan cara perdamaian. Maka ayat ini turun dalam persistiwa perdamaian Hudaibiyyah, Ibnu Katsir berkata sebagai berikut:
نَزَلَتْ هَذِهِ السُّورَةُ الْكَرِيمَةُ لَمَّا رَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الْحُدَيْبِيَةِ فِي ذِي الْقِعْدَةِ مِنْ سَنَةِ سِتٍّ مِنَ الْهِجْرَةِ حِينَ صَدَّهُ الْمُشْرِكُونَ عَنِ الْوُصُولِ إِلَى المسجد الحرام فيقضي عُمْرَتَهُ فِيهِ وَحَالُوا بَيْنَهُ وَبَيْنَ ذَلِكَ ثُمَّ مَالُوا إِلَى الْمُصَالَحَةِ وَالْمُهَادَنَةِ
Surat ini turun ketika Nabi saw pulang dari perdamaian Hudaibiyyah yang terjadi pada Dzul Qa’dah tahun ke-6 H, saat orang-orang musyrik menghalangi beliau masuk ke Masjidil Haram untuk melaksanakan Umrah. Kemudian akhirnya mereka condong untuk mengadakan perdamaian dan genjatan senjata. (Tafsir Ibnu Katsir)
Cerita awalnya adalah saat Nabi saw berada di Madinah, beliau bermimpi memasuki kota Makkah dalam kondisi aman dengan rambut tercukur. Maka dari mimpi tersebutlah Nabi saw bersama para sahabat pergi ke Makkah untuk melaksanakan Umrah dan itu terjadi pada hari senin bulan Dzul-Qa’dah tahun ke-6 H. Jumlah rombongan yang ikut perjalanan tersebut menurut catatan Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri adalah sebanyak 400 orang dengan tanpa peralatan perang, kecuali hanya sebatas pedang saja yang biasa dibawa saat safar. Hal itu dilakukan oleh Nabi saw dan para sahabatnya dikarenakan tidak terlintas sedikitpun untuk melakukan peperangan kecuali hanya sebatas melaksanakan ibadah umrah saja.
Mendengar rencana tersebut, orang-orang kafir Quraisy segera mengadakan perundingan untuk menghalangi kaum muslimin memasuki Masjidil Haram. Maka 200 pasukan berkuda di bawah komando Khalid bin Walid (saat beliau masih kafir) dikerahkan untuk menghalangi kaum muslimin sampai ke Masjidil Haram.
Mengetahui informasi tersebut, maka Rasulullah saw segera mencari jalan lain untuk menghindari konfrontasi (bentrokan fisik). Akhirnya beliau mengambil arah jalan Tsaniyyah al-Murar tempat terjadinya perjanjian Hudaibiyyah. Maka sampailah Nabi saw di Hudaibiyyah setelah sempat untanya terhenti lalu singgah di sana.
Lalu setelah itu, kedua belah pihak, baik dari kaum Muslimin dan kaum Quraisy, mengirimkan seorang informan untuk mengetahui gerak-gerik dari kedua belah pihak. Nabi saw tidak henti-hentinya mengirimkan seorang informan untuk menyampaikan maksud kedatangannya. Sehingga para petinggi dan pemimpin Quraisy mengetahui maksud sejati dari kedatangan Nabi saw ke Masjidil Haram. Namun ada pihak-pihak yang tidak menginginkan perdamaian itu terjadi, sehingga 70 atau 80 pemuda Quraisy berusaha untuk menyerang dan memprovokasi kaum Muslimin agar terjadi peperangan. Namun usaha buruk mereka tertangkap basah oleh Muhammad bin Maslamah, kepala kemanaan saat itu, yang berhasil menangkap mereka semua. Akan tetapi, karena tidak ada maksud berperang, Nabi saw pun memaafkan mereka dan membebaskannya. Dari kejadian ini, turunlah QS. Al-Fath: 24.
وَهُوَ الَّذِي كَفَّ أَيْدِيَهُمْ عَنْكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ عَنْهُمْ بِبَطْنِ مَكَّةَ مِنْ بَعْدِ أَنْ أَظْفَرَكُمْ عَلَيْهِمْ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرًا
Dan Dia-lah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (menahan) tangan kamu dari (membinasakan) mereka di tengah kota Mekah sesudah Allah memenangkan kamu atas mereka, dan adalah Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
Untuk menegaskan kembali maksud kedatangan Nabi saw, kemudian beliau mengutus Utsman bin Affan untuk menyampaikan maksud kedatangan Nabi saw dan para sahabatnya seraya menjenguk dan memberitahukan kepada kaum muslimin yang tinggal di kota Makkah bahwa kemenangan paripurna, yaitu Fathu Makkah, sudah dekat. Akhirnya Utsman menemui pemuka kafir Quraisy dan menyampaikan misinya serta meminta ijin agar dirinya bisa melaksanakan Thawaf. Namun mereka menolak, sebelum Rasulullah saw sendiri yang lebih dulu melakukannya.
Seketika akan kembali, Utsman ditahan terlebih dahulu oleh orang Quraisy untuk merundingkan kondisi yang genting di antara kedua belah pihak sehingga Utsman mendapatkan jawaban yang tepat dari mereka dan hal itu menghabiskan waktu yang cukup lama, hingga sampailah isu bahwa Utsman terbunuh.
Mendengar berita itu, Rasulullah saw segera membaiat para sahabat untuk memerangi kafir Quraisy dan tidak melarikan diri dalam kondisi apapun. Dan satu persatu Nabi saw membaiat para sahabat dengan menjabat tangan mereka sambil berkata, “Ini baiat untuk Utsman.” Saat Nabi saw selesai membaiat semuanya, tiba-tiba Utsman pun datang menjumpai mereka. Berkenaan dengan kejadian ini, maka turunlah QS. Al-Fath: 18 dan peristiwa ini dikenal dengan Bai’atur Ridwan, yaitu bai’at yang dilakukan di bawah pohon yang bernama pohon Ridwan.
لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا
Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).
Bai’at tersebut kemudian terdengar oleh orang-orang Quraisy sehingga menimbulkan suasana yang genting di antara kedua kubu. Akhirnya orang-orang Quraisy segera mengirim delegasinya dengan mengutus Suhail bin Amr untuk mengadakan perjanjian damai dengan kaum muslimin. Berikut adalah poin-poin perjanjian damai yang disepakati kedua belah pihak:
- Rasulullah saw harus kembali ke Madinah pada tahun ini dan tidak boleh memasuki Makkah. Dibolehkan memasuki dan menetap di kota Makkah pada tahun depan selama tiga hari dengan tanpa membawa persenjataan perang, kecuali pedang sebagai senjata perlindungan diri.
- Genjatan senjata 10 tahun di antara kedua belah pihak.
- Siapa saja yang ingin bergabung ke dalam perjanjian Muhammad, maka diperkenankan. Demikian juga siapa saja yang ingin bergabung ke dalam perjanjian pihak Quraisy, maka ia juga diperkenankan.
- Siapa saja dari pihak Quraisy yang meminta perlindungan kepada Muhammad, maka orang-orang Muslim wajib mengembalikannya. Sebaliknya, siapa saja dari pihak orang-orang Muslim meminta perlindungan kepada Quraisy, maka ia tidak dikembalikan kepada Muhammad.
Keempat poin perjanjian damai ini menurut Shafirrahman al-Mubarakfuri dalam kitabnya ar-Rakhiqul Makhtum, merupakan bentuk kemenangan yang diraih oleh umat Islam, bahkan menjadi sebab besar terjadinya Futhul Makkah (penaklukan kota Makkah). Dari keempat poin tersebut, tiga poin pertama merupakan keuntungan yang diraih umat Islam. Pertama, umat Islam setelah sekian lama tidak menginjakkan kaki ke kota Makkah, pada tahun berikutnya diperkenankan memasuki kota Makkah dalam kondisi tenang dan damai walau hanya sebatas tiga hari. Kedua, dengan adanya genjatan senjata, Nabi dan para sahabatnya akan dengan sangat bebas melakukan dakwah Islamiyyah dengan tanpa gangguan dan intimidasi dari kafir Quraisy. Ketiga, adanya kebebasan untuk memihak di antara kedua belah pihak. Sedangkan kaum Quraisy hanya diuntungan dengan satu poin terakhir saja, dan itu pun tidak mengancam terhadap akidah seorang muslim yang tinggal di kota mekkah. Inilah kemenangan dalam bentuk perdamaian yang diabadikan Allah swt dalam surat al-Fath ayat pertama.
Peristiwa Jakarta dan Fathan Mubina
Ahmad Mansur Suryanegara (2010: viii) dalam bukunya Api Sejarah jilid pertama mengatakan bahwa fathan mubina yang Allah abadikan dalam surat al-Fath ayat pertama telah menginspirasi para ulama untuk memberikan nama Jayakarta pada Pelabuhan Kalapa atau Soenda Kalapa saat mengusir para penjajah asal Portugis.
Penamaan Jayakarta yang memiliki arti kemenangan paripurna (fathan mubina) adalah lambang rasa syukur kepada Allah atas kemenangan Sunan Gunung Jati dan Fatahillah dalam menggagalkan usaha penjajahan Keradjaan Katolik Portugis yang terjadi pada tanggal 22 Juni 1527 M. Yang lima ratus tahun kemudian, tepatnya tanggal 22 Juni 1945 terjadi lagi fathan mubina dalam mengusir para penjajah asal Belanda dan Jepang sekaligus, sehingga tepat pada tanggal 17 Agustus 1945 secara resmi Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya.
Semangat para ulama dalam memperjuangkan kemenangan yang paripurna dalam melawan para penjajah mesti dilanjukan oleh generasi muslim saat ini. Wacana pemindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan, mendatangkan TKA (Tenaga Kerja Asing) asal Cina di saat banyaknya masyarakat yang berpengangguran, dan isu merubah Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila adalah bentuk-bentuk penjajahan baru yang dihadapi muslim saat ini. Bentuk baru penjajahan seperti ini tidak mewujud dalam bentuk benturan fisik, tetapi mewujud dalam bentuk paradigma yang sekularistik-pragmatik. Wal-Llaahu A’lam