Ustadz maaf bertanya. Sebagian pihak ada yang menilai bahwa persoalan demonstrasi bisa menjadi alat ukur seseorang lurus atau tidak dalam bermanhaj. Demonstrasi menurut mereka bagian dari manhaj Khawarij. Jadi sesat dan menyimpang dari manhaj Salaf atau para ulama Ahlus-Sunnah. Yang benar bagaimana? 0896-0212-xxx
Perbedaan fatwa dalam menyimpulkan hukum demonstrasi antara yang menghalalkan dan yang mengharamkan berpangkal dari beberapa hal, yaitu:
Pertama, bagaimana menyikapi sesuatu yang tidak ada dan tidak pernah terjadi di zaman Nabi saw. Kemudian mendudukkan apakah persoalan yang tidak ada pada zaman Nabi saw tersebut termasuk persoalan ibadah ataukah keduniaan (mashlahah mursalah). Dalam hal ini para ulama terbelah antara yang menilainya bid’ah dan mashlahah mursalah. Sebuah perdebatan klasik yang selalu ditemukan dalam menyikapi persoalan yang tidak pernah terjadi pada zaman Nabi saw.
Kedua, mendudukkan dalil-dalil umum untuk menentukan hukum demonstrasi dan ini sangat tergantung pada perspektif ulama yang bersangkutan terhadap demonstrasi. Bagi yang menilai demonstrasi negatif maka akan lebih memilih dalil-dalil yang mirip untuk mengharamkan. Disebut “mirip” karena sebenarnya dalil-dalil yang digunakan untuk mengharamkan demonstrasi tidak ada satu pun yang secara tegas berbicara demonstrasi, hanya dipersamakan (qiyas) saja dengan demonstrasi. Demikian halnya ulama yang menilai demonstrasi positif dan cara yang efektif untuk amar ma’ruf nahyi munkar kepada penguasa pasti akan menggunakan dalil-dalil umum yang mirip untuk membenarkan demonstrasi.. Disebut “mirip” juga karena memang dalil-dalil yang dimaksud tidak ada satu pun yang sedang berbicara demonstrasi, hanya dipersamakan (qiyas) saja dengan demonstrasi dari aspek positifnya.
Ketiga, mendudukkan aspek maslahat dan madlarat dari demonstrasi itu sendiri; apakah lebih banyak mashlahatnya ataukah madlaratnya. Bagi yang memandang demosntrasi negatif pasti akan menilai demonstrasi lebih banyak madlaratnya sehingga aspek maslahatnya menjadi tidak berarti. Sementara bagi yang menilai demonstrasi positif pasti akan melihat aspek maslahatnya lebih besar daripada madlaratnya. Hal-hal yang menjadi sisi madlarat dari demonstrasi akan dinilai sebagai sebuah kedaruratan yang terpaksa harus terjadi demi kemaslahatan yang lebih besar.
Jadi mendudukkan hukum demonstrasi ini akar masalahnya bukan pada dalil, melainkan metode ijtihad, sebab kedua pihak yang mengharamkan atau menghalalkan sama-sama tidak menemukan dalil qath’i yang langsung mengharamkan atau menghalalkan demonstrasi. Kedua pihak yang berbeda sebatas berijtihad memilih dalil mana yang lebih mirip dengan kesimpulan ijtihadnya. Jadi pasti terlalu berlebihan jika ada yang menilai pihak yang berseberangan sebagai keluar dari manhaj Salaf atau Ahlus-Sunnah. Vonis semacam ini cocoknya untuk mereka yang benar-benar menyimpang dari dalil qath’i dan ijma’ umat Islam. Untuk sebuah persoalan baru yang sifatnya zhanni/ijtihadi cukup dengan menilai khatha` (keliru) kepada pihak yang berbeda pendapat. Tidak perlu menilainya sesat, bid’ah, dan menyimpang dari manhaj Ahlus-Sunnah.
Nabi saw dari sejak awal sudah mengingatkan bahwa siapapun yang berijtihad tidak akan ada yang berdosa. Kedua-duanya pasti mendapatkan pahala, hanya apakah pahalanya itu dua atau satu. Maka dari itu di antara sesama yang mendapatkan pahala tidak boleh saling menyesatkan. Cukup seperti sabda Nabi saw di atas menilai khatha` (keliru) kepada pihak yang dianggap salah.
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ
Apabila seseorang memutuskan perkara dan ia berijtihad, maka jika ia benar dapat dua pahala, dan jika ia memutuskan keliru maka dapat satu pahala (Sunan at-Tirmidzi kitab al-ahkam bab al-qadli yushibu wa yukhthi`u no. 1326).
Kami sendiri menilai hukum demonstrasi mubah. Meskipun tidak pernah ada pada zaman Nabi saw tetapi karena terkait persoalan keduniaan masuknya kategori mashlahah mursalah (maslahat yang tidak ada dalil langsungnya). Ada banyak sisi positif dari demonstrasi sehingga menjadikan aspek madlaratnya dianggap sebuah kedaruratan yang terpaksa harus terjadi.
Bagi kami demonstrasi adalah salah satu bentuk amar ma’ruf nahyi munkar kepada penguasa di zaman modern. Tentunya ketika cara-cara klasik seperti memberikan nasihat langsung berhadapan dengan penguasa tidak mungkin dilakukan. Ketika para penasihat dan orang-orang yang dekat dengan penguasa hanya menjadi pemberi stempel untuk kebijakan penguasa yang jelas-jelas menyimpang. Ketika suara-suara yang menyerukan kebenaran dipaksa untuk diam dan dibungkam secara halus atau dengan kekerasan. Maka cara yang efektif adalah dengan demonstrasi dan membentuk opini masyarakat bahwa penguasa sudah keliru sehingga penguasa tertekan dan mau mengubah kebijakannya yang menyimpang. Pihak-pihak yang mengharamkan demonstrasi sepengetahuan kami hanya bisa diam saja ketika mereka tidak bisa memberi nasihat kepada penguasa, sebab memang untuk zaman sekarang hanya orang-orang pilihan penguasa saja yang bisa memberi nasihat, selebihnya mustahil bisa memberikan nasihat. Kalaupun diadakan forum khusus curah gagasan oleh penguasa seringkali hanya sebatas seremonial belaka. Ketika faktanya masih ada cara lain, yakni demonstrasi, yang bisa dilakukan agar kemunkaran berhenti, maka otomatis itu menjadi wajib untuk dilakukan. Memilih diam saja ketika lisan masih bisa digerakkan hanya sebentuk keimanan yang paling lemah. Dalil-dalil seputar amar ma’ruf nahyi munkar sungguh jelas memberikan tuntunan untuk itu.
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
Siapa yang melihat kemunkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya (tidak menyetujui/mendukung). Dan yang terakhir ini selemah-lemahnya iman (Shahih Muslim kitab al-iman bab bayan kaunin-nahyi ‘anil-munkar no. 186).
فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ الإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ
Siapa yang melawan mereka dengan tangannya, itulah mukmin. Siapa yang melawan mereka dengan lisannya, itulah mukmin. Siapa yang melawan mereka dengan hatinya, itulah mukmin. Dan tidak ada di belakang itu keimanan sebesar biji terkecil sekalipun (Shahih Muslim kitab al-iman bab bayan kaunin-nahyi ‘anil-munkar no. 188)
سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
“Akan ada pemimpin-pemimpin yang kalian kenal tapi kalian mengingkari mereka. Siapa yang mengenali (dan tidak terbawa arus), maka ia terbebas dari dosa. Siapa yang mengingkari, maka ia selamat. Akan tetapi siapa yang simpati dan mengikuti, maka ia tidak selamat.” Para shahabat bertanya: “Apakah kita harus memerangi mereka?” Rasul saw menjawab: “Tidak, selama mereka shalat.” (Shahih Muslim kitab al-imarah bab wujubil-inkar ‘alal-umara` fima yukhalifus-syar’a no. 3445-3446).
Imam an-Nawawi menjelaskan maksud hadits di atas:
مَنْ كَرِهَ بِقَلْبِهِ وَلَمْ يَسْتَطِعْ إِنْكَاراً بِيَدٍ وَلاَ لِسَانٍ فَقَدْ بَرِئَ مِنَ الْإِثْمِ وَأَدَّى وَظِيْفَتَهُ، وَمَنْ أَنْكَرَ بِحَسْبِ طَاقَتِهِ فَقَدْ سَلِمَ مِنْ هَذِهِ الْمَعْصِيَةِ، وَمَنْ رَضِيَ بِفِعْلِهِمْ وَتَابَعَهُمْ، فَهُوَ الْعَاصِي
Siapa yang membenci (pemimpin) dengan hatinya, tetapi tidak mampu mengingkari dengan tangan atau lisannya, maka sungguh ia sudah bebas dari dosa dan sudah melaksanakan tugasnya sesuai kemampuannya. Siapa yang mengingkari (pemimpin) sesuai dengan kemampuannya (dengan tangan atau lisan—pen), maka ia pasti selamat dari maksiat ini. Tetapi siapa yang ridla dengan kebijakan bejat mereka dan mengikutinya, itulah orang maksiat (Riyadlus-Shalihin bab fil-amri bil-ma’ruf wan-nahyi ‘anil-munkar).
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Sebaik-baiknya jihad adalah kalimat yang adil/benar kepada pemerintah yang zhalim (Sunan Abi Dawud kitab al-malahim bab al-amr wan-nahy no. 4346).
Demonstrasi tidak perlu dikaitkan dengan hadits-hadits yang mewajibkan bersabar kepada penguasa, sebab sebagaimana sudah disinggung dalam hadits di atas, sabar itu tidak berarti diam tanpa amar ma’ruf nahyi munkar. Jika itu yang jadi pilihan maka umat akan terbawa dosa penguasa. Semaksimal mungkin harus berusaha agar kemunkaran penguasa berhenti meski tidak sampai memerangi mereka dan menggulingkan mereka dari kekuasaannya. Yang terakhir inilah yang masuk manhaj Khawarij dan menyimpang dari manhaj Ahlus-Sunnah. Selama bentuknya sebatas amar ma’ruf nahyi munkar dan tidak sampai mengambil alih kekuasaan penguasa yang sah maka ini adalah manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.
Akan tetapi tentunya demonstrasi yang dilakukan harus tetap dalam koridor “kalimat adil”; suara yang benar, tepat, dan tidak menyimpang. Praktiknya, menyuarakan aspirasi tanpa makian, kekerasan, perbuatan onar, mengganggu ketertiban umum, berbuat rusuh, apalagi dengan mengangkat senjata seperti yang dilakukan oleh para perusuh. Wal-‘Llahu a’lam.