Suratnya sudah sangat populer dibaca dalam shalat. Tetapi amal untuk meraihnya belum sepopuler membaca suratnya. Masih banyak kaum muslimin yang ketika memasuki fase Lailatul-Qadar di 10 hari terakhir Ramadlan abai dari meraihnya. Seakan-akan Lailatul-Qadar bukan malam mulia, karena merasa tidak penting untuk berusaha keras meraih kemuliaannya. Ataukah masih banyak yang tidak paham bagaimana cara meraih Lailatul-Qadar?
Lailatul-Qadar mempunyai beberapa kemungkinan makna. Pertama, malam kemuliaan, disebabkan turunnya al-Qur`an yang mulia, para malaikat, dan barakah, rahmat dan ampunan pada malam itu. Atau disebabkan orang yang menghidupkannya akan mendapatkan kemuliaan. Penggunaan lafazh al-qadr dalam makna kemuliaan di antaranya terdapat dalam firman Allah swt:
وَمَا قَدَرُواْ ٱللَّهَ حَقَّ قَدۡرِهِۦٓ إِذۡ قَالُواْ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ عَلَىٰ بَشَرٖ مِّن شَيۡءٖۗ
Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya di kala mereka berkata: “Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia”. (QS. Al-An’am [6] : 91)
Kedua, malam yang terbatas dan sempit, disebabkan pengetahuan hari H Lailatul-Qadar sangat terbatas, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah, atau disebabkan para malaikat turun ke bumi sehingga bumi menjadi sempit. Penggunaan lafazh al-qadr untuk makna sempit di antaranya terdapat dalam firman Allah swt:
وَمَن قُدِرَ عَلَيۡهِ رِزۡقُهُۥ فَلۡيُنفِقۡ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُۚ
Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. (QS. At-Thalaq [65] : 7)
Ketiga, malam penentuan ketetapan-ketetapan untuk masa satu tahun. Makna ini mirip dengan qadar/taqdir, hanya bedanya qadr ini hanya penjabaran rincinya saja dari qadar/taqdir yang bersifat umum. Ayat yang menjadi dasarnya di antaranya firman Allah swt dalam surat ad-Dukhan yang juga menjelaskan turunnya al-Qur`an:
فِيهَا يُفۡرَقُ كُلُّ أَمۡرٍ حَكِيمٍ
Pada malam itu diputuskan segala urusan yang penuh hikmah (QS. Ad-Dukhan [44] : 4)
Kemuliaan Lailatul-Qadar
Lailatul-Qadar secara khusus dijelaskan oleh Allah swt dalam dua surat al-Qur`an, yaitu al-qadr dan ad-dukhan. Allah swt berfirman:
إِنَّآ أَنزَلۡنَٰهُ فِي لَيۡلَةِ ٱلۡقَدۡرِ ١ وَمَآ أَدۡرَىٰكَ مَا لَيۡلَةُ ٱلۡقَدۡرِ ٢ لَيۡلَةُ ٱلۡقَدۡرِ لَيۡلَةُ ٱلۡقَدۡرِ خَيۡرٞ مِّنۡ ٣ أَلۡفِ شَهۡرٖ تَنَزَّلُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ بِإِذۡنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمۡرٖ ٤ سَلَٰمٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطۡلَعِ ٱلۡفَجۡرِ ٥
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar (QS. Al-Qadr [97] : 1-5).
حمٓ ١ وَٱلۡكِتَٰبِ ٱلۡمُبِينِ ٢ إِنَّآ أَنزَلۡنَٰهُ فِي لَيۡلَةٖ مُّبَٰرَكَةٍۚ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ ٣ فِيهَا يُفۡرَقُ كُلُّ أَمۡرٍ حَكِيمٍ ٤ أَمۡرٗا مِّنۡ عِندِنَآۚ إِنَّا كُنَّا مُرۡسِلِينَ ٥
Haa Miim. Demi Kitab (Al-Qur’an) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul (QS. Ad-Dukhan [44] : 1-5).
Dari kedua surat tersebut diketahui bahwa Lailatul-Qadar adalah malam yang istimewa disebabkan: (1) malam diturunkannya al-Qur`an, (2) malam yang lebih baik dari 1000 bulan, dan (3) para malaikat dan Jibril turun ke dunia untuk menetapkan berbagai urusan.
Terkait turunnya al-Qur`an, hal ini pernah ditanyakan langsung oleh ‘Athiyyah ibn al-Aswad kepada Ibn ‘Abbas:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ سَأَلَهُ عَطِيَّةُ بْنُ الْأَسْوَدِ، فَقَالَ: وَقَعَ فِي قَلْبِي الشَّكُّ مِنْ قَوْلِ اللهِ تَعَالَى: {شَهۡرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِيٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلۡقُرۡءَانُ} وَقَوْلِهِ: {إِنَّآ أَنزَلۡنَٰهُ فِي لَيۡلَةِ ٱلۡقَدۡرِ} وَقَوْلِهِ: {إِنَّآ أَنزَلۡنَٰهُ فِي لَيۡلَةٖ مُّبَٰرَكَةٍۚ} وَقَدْ أُنْزِلَ فِي شَوَّالٍ وَفِي ذِي الْقَعْدَةِ، وَفِي ذِي الْحِجَّةِ، وَفِي الْمُحَرَّمِ، وَصَفَرَ، وَشَهْرِ رَبِيْعٍ. فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّهُ أُنْزِلَ فِي رَمَضَانَ، فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَفِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ جُمْلَةً وَاحِدَةً، ثُمَّ أُنْزِلَ عَلَى مَوَاقِعِ النُّجُوْمِ تَرْتِيْلاً فِي الشُّهُوْرِ وَالْأَيَّامِ
Dari Ibn ‘Abbas, bahwasanya ia ditanya oleh ‘Athiyyah ibn al-Aswad: “Hatiku ragu mengenai firman Allah Ta’ala (Bulan Ramadlan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur`an—QS. 2: 185), (Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi—QS. 44: 3), dan (Sesungguhnya Kami telah menurunkannya [Al-Qur`an] pada malam kemuliaan—97 : 1). Padahal sungguh Allah menurunkan (wahyu al-Qur`an) juga di bulan Syawwal, Dzul-Qa’dah, Dzul-Hijjah, Muharram, Shafar, dan bulan-bulan Rabi’.” Maka Ibn ‘Abbas menjawab: “Sesungguhnya al-Qur`an itu turun di bulan Ramadlan, di malam qadar, di malam yang berkah, secara sekaligus. Kemudian diturunkan setelah itu dalam beberapa masa secara bertahap, di beberapa bulan dan hari (Tafsir Ibn Katsir al-Baqarah [2] : 185).
Keterangan di atas menegaskan bahwa nuzulul-Qur`an (turunnya al-Qur`an) yang dimaksud pada Lailatul-Qadar itu (QS. 2: 185, 44: 1-5, 97 : 1-5) adalah turunnya al-Qur`an dari Allah swt pada fase pertama, yang dijelaskan dalam riwayat lain turun dari Allah swt sekaligus sebanyak 30 juz ke langit paling bawah atau lauh mahfuzh (rujuk Tafsir Ibn Katsir). Ini tentunya berbeda jauh dengan konsep nuzulul-Qur`an yang diperingati oleh sebagian umat Islam pada tanggal 17 Ramadlan yang itu berkaitan dengan turunnya wahyu pertama di Gua Hira. Nuzulul-Qur`an yang terakhir ini bukan al-Qur`an 30 juz, melainkan 5 ayat dari surat al-‘Alaq [96], sehingga belum nuzulul-Qur`an sepenuhnya, baru nuzul awwalil-qur`an (turun bagian pertama al-Qur`an). Dan jika yang dimaksud adalah turunnya al-Qur`an kepada Nabi saw maka sebagaimana dijelaskan oleh Ibn ‘Abbas ra dalam dialog di atas itu terjadi sepanjang tahun, bukan hanya pada satu malam saja, dan terjadi di berbagai waktunya; siang, malam, sore, pagi, bulan Ramadlan, Syawwal, Dzulqa’dah, dan seterusnya. Tegasnya Lailatul-Qadar tidak terkait dengan turunnya al-Qur`an kepada Nabi saw, karena yang dimaksud adalah turunnya al-Qur`an dari Allah swt secara langsung 30 juz ke langit yang paling bawah.
Meskipun Lailatul-Qadar itu malam diturunkannya al-Qur`an pada fase pertama, yakni dari Allah ke langit yang paling bawah, tetapi bukan berarti bahwa Lailatul-Qadar itu sudah tidak berlaku lagi saat ini disebabkan proses turunnya al-Qur`an sudah selesai. Lailatul-Qadar tetap ada sampai hari kiamat. Abu Dzar dalam hal ini pernah menanyakannya langsung kepada Nabi saw:
عَنْ مَرْثَدٍ قَالَ: سَأَلْتُ أَبَا ذَرٍّ قُلْتُ: كُنْتَ سَأَلْتَ رَسُولَ اللهِ عَنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ؟ قَالَ: أَنَا كُنْتُ أَسْأَلَ النَّاسِ عَنْهَا قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَخْبِرْنِي عَنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ أَفِي رَمَضَانَ هِيَ أَوْ فِي غَيْرِهِ؟ قَالَ: بَلْ هِيَ فِي رَمَضَانَ، قَالَ: قُلْتُ: تَكُونُ مَعَ الأَنْبِيَاءِ مَا كَانُوا فَإِذَا قُبِضُوا رُفِعَتْ أَمْ هِيَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ؟ قَالَ: بَلْ هِيَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Dari Martsad, aku bertanya kepada Abu Dzar: “Anda pernah bertanya kepada Rasulullah saw tentang Lailatul-Qadar?” Ia menjawab: “Saya orang yang paling banyak bertanya tentang hal itu. Aku bertanya: ‘Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku apakah Lailatul-Qadar itu pada bulan Ramadlan atau bulan lainnya?’ Beliau menjawab: ‘Ramadlan’. Aku bertanya juga: ‘Apakah adanya itu ketika para nabi ada, sehingga kalau mereka meninggal, Lailatul-Qadar pun dicabut, ataukah berlaku sampai hari kiamat?’ Beliau menjawab: ‘Sampai hari kiamat.’ (Shahih Ibn Khuzaimah kitab as-shiyam bab dzikrid-dalil ‘ala anna lailatal-qadri hiya fi Ramadlan no. 2170)
Selanjutnya, tentang keistimewaan satu malam Lailatul-Qadar yang lebih baik dari 1000 bulan, bisa dipahami sebagai bilangan 1000 bulan atau sekitar 83 tahun, bisa juga dipahami dalam arti sangat banyak dan tidak terbatas, sebagaimana firman-Nya tentang angan-angan orang kafir yang ingin hidup kekal di dunia: salah seorang dari mereka sangat berkeinginan seandainya diberi umur seribu tahun (QS. Al-Baqarah [2] : 96). Maksud ayat ini tentu bukan 1.000 tahun dalam arti bilangan tertentu, melainkan hidup selamanya.
Kalaupun dihitung lebih baik dari 83 tahun, tentu maksudnya tidak senilai, melainkan lebih baik. Jadi bisa saja Lailatul-Qadar itu senilai dengan 100 tahun atau bahkan 1000 tahun yang tidak ada Lailatul-Qadar padanya. Yang jelas tidak lebih jelek dari 83 tahun. Artinya, kalau seseorang selalu meraih kemuliaan Lailatul-Qadar 10 kali dengan asumsi sudah 10 tahun mengalami bulan Ramadlan dan beribadah semalaman pada malam tersebut, berarti kira-kira orang tersebut sudah beribadah 830 tahun lebih.
Terakhir, Lailatul-Qadar itu adalah malam ditetapkannya segala urusan manusia dalam jangka waktu satu tahun. Para ulama sepakat untuk tidak membatasi urusan apa saja yang ditetapkan pada malam itu, sebab Allah swt pun menyebutnya: min kulli amrin; semua urusan. Ini berarti mencakup semua urusan kehidupan manusia mulai dari hidayah agama, rizki, kesehatan, kecerdasan, urusan rumah tangga, keluarga besar, tetangga, urusan di kantor, pasar, masjid, organisasi, dan sejumlah urusan lainnya. Jika seseorang memohon agar semua urusannya tersebut dilancarkan pada Lailatul-Qadar niscaya semua urusannya dilancarkan. Asalkan betul saja pada malam itu ia beribadah dan berdo’a kepada Allah, menyambut para malaikat yang turun ke bumi untuk menetapkan semua urusannya.
Tanggal Pasti Lailatul-Qadar
Terkait kemuliaan Lailatul-Qadar yang sangat istimewa inilah maka dari sejak awal banyak pertanyaan dari shahabat tentang kapan waktunya atau bertepatan dengan tanggal berapa Lailatul-Qadar itu pada bulan Ramadlan. Rasul saw pun memberikan jawaban bahwa Lailatul-Qadar itu ada pada bilangan ganjil dari 10 hari terakhir Ramadlan.
تَحَرُّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Carilah Lailatul-Qadar pada hitungan ganjil dari 10 hari terakhir bulan Ramadlan (Shahih al-Bukhari kitab fadlli lailatil-qadar bab taharri lailatil-qadri fil-witr minal-‘asyril-awakhir no. 2017; Musnad Ahmad bab hadits ‘Aisyah no. 24489).
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa pengetahuan tentang tanggal berapa pastinya Lailatul-Qadar itu memang sengaja dicabut oleh Allah swt:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ خَرَجَ النَّبِيُّ لِيُخْبِرَنَا بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ فَتَلَاحَى رَجُلَانِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَقَالَ خَرَجْتُ لِأُخْبِرَكُمْ بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ فَتَلَاحَى فُلَانٌ وَفُلَانٌ فَرُفِعَتْ وَعَسَى أَنْ يَكُونَ خَيْرًا لَكُمْ فَالْتَمِسُوهَا فِي التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ
Dari ‘Ubadah ibn as-Shamit, ia berkata: Nabi saw keluar menemui kami untuk memberitahu kapan Lailatul-Qadar. Tetapi ternyata ada dua orang muslim yang berdebat hebat. Sabda beliau: “Aku keluar untuk memberitahu kalian tentang Lailatul-Qadar, tetapi si fulan dan si fulan malah bertengkar, sehingga pengetahuan Lailatul-Qadar itu dicabut kembali [oleh Allah], dan mudah-mudahan itu baik untuk kalian. Maka carilah ia pada hari ke-9, ke-7, ke-5 [dari 10 hari terakhir Ramadlan] (Shahih al-Bukhari kitab al-‘ilm bab raf’i ma’rifah lailatil-qadr li talahin-nas no. 2023)
Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam kitabnya, Fathul-Bari, mengemukakan perbedaan pendapat tentang hari H dari Lailatul-Qadar. Dari hasil penelusurannya terhadap beberapa pendapat yang ada, ia mengambil kesimpulan:
هَذَا آخِرُ مَا وَقَفْتُ عَلَيْهِ مِنَ الْأَقْوَالِ وَبَعْضُهَا يُمْكِنُ رَدُّهُ إِلَى بَعْضٍ، وَإِنْ كَانَ ظَاهِرُهَا التَّغَايُرَ، وَأَرْجَحُهَا كُلِّهَا أَنَّهَا فِي وِتْرٍ مِنَ الْعَشْرِ الْأَخِيرِ وَأَنَّهَا تَنْتَقِلُ كَمَا يُفْهَمُ مِنْ أَحَادِيثِ هَذَا الْبَابِ، وَأَرْجَاهَا أَوْتَارُ الْعَشْرِ، وَأَرْجَى أَوْتَارِ الْعَشْرِ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ لَيْلَةُ إِحْدَى وَعِشْرِينَ أَوْ ثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ عَلَى مَا فِي حَدِيثِ أَبِي سَعِيدٍ وَعَبْدِ اللهِ بْنِ أُنَيْسٍ، وَأَرْجَاهَا عِنْدَ الْجُمْهُورِ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ، وَقَدْ تَقَدَّمَتْ أَدِلَّةُ ذَلِكَ
Inilah akhir dari yang aku temukan dalam hal pendapat-pendapat yang ada. Sebagiannya sangat mungkin membantah sebagiannya lagi, walau yang tampak sebenarnya hanya berbeda saja. Yang paling kuat dari semua pendapat itu adalah Lailatul-Qadar ada pada bilangan ganjil di 10 hari terakhir. Dan bahwasanya ia berpindah-pindah sebagaimana dipahami dari hadits-hadits yang ada dalam pembahasan ini. Yang paling kuat darinya adalah pada bilangan ganjil dari 10 hari terakhir itu. Dan yang paling kuat dari 10 hari terakhir itu, menurut Syafi’iyyah adalah malam 21 dan 23, berdasarkan hadits Abu Sa’id dan ‘Abdullah ibn Unais. Sementara menurut jumhur (mayoritas)—yang paling kuat dari 10 hari terakhir itu adalah—malam 27, dengan dalil-dalil yang sudah disajikan sebelumnya (Fathul-Bari 6 : 306 kitab fadlli lailatil-qadri bab taharri lailatil-qadri fil-witri minal-‘asyril-awakhir).
Dalil-dalil yang dimaksudkan oleh Ibn Hajar adalah sebagai berikut:
Pertama, Lailatul-Qadar tanggal 21 Ramadlan.
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ اِعْتَكَفَ الْعَشْرَ الأَوَّلَ مِنْ رَمَضَانَ ثُمَّ اعْتَكَفَ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ فِى قُبَّةٍ تُرْكِيَّةٍ عَلَى سُدَّتِهَا حَصِيرٌ. فَأَخَذَ الْحَصِيرَ بِيَدِهِ فَنَحَّاهَا فِى نَاحِيَةِ الْقُبَّةِ ثُمَّ أَطْلَعَ رَأْسَهُ فَكَلَّمَ النَّاسَ فَدَنَوْا مِنْهُ فَقَالَ: إِنِّى اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِى إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ. فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ قَالَ: وَإِنِّى أُرِيتُهَا لَيْلَةَ وِتْرٍ وَأَنِّى أَسْجُدُ صَبِيحَتَهَا فِى طِينٍ وَمَاءٍ. فَأَصْبَحَ مِنْ لَيْلَةِ إِحْدَى وَعِشْرِينَ وَقَدْ قَامَ إِلَى الصُّبْحِ فَمَطَرَتِ السَّمَاءُ فَوَكَفَ الْمَسْجِدُ فَأَبْصَرْتُ الطِّينَ وَالْمَاءَ فَخَرَجَ حِينَ فَرَغَ مِنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ وَجَبِينُهُ وَرَوْثَةُ أَنْفِهِ فِيهِمَا الطِّينُ وَالْمَاءُ وَإِذَا هِىَ لَيْلَةُ إِحْدَى وَعِشْرِينَ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ
Dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw beri’tikaf di 10 hari pertama bulan Ramadlan, lalu ia beri’tikaf di 10 hari pertengahannya di sebuah kubah turkiyah (kubah kecil dari bulu yang kusut) yang di atas pintunya ada hamparan. Beliau lalu mengambil hamparan itu dan menyimpannya di penjuru kubah. Kemudian beliau memperlihatkan kepalanya (nongol) dan berkata kepada orang-orang. Orang-orang pun mendekat kepada beliau. Sabdanya: “Sungguh aku i’tikaf dari 10 hari pertama untuk mencari malam itu (Lailatul-Qadar), lalu aku beri’tikaf lagi di 10 hari pertengahan. Kemudian aku diberitahu bahwasanya dia ada di 10 hari terakhir. Maka siapa di antara kalian yang ingin beri’tikaf, maka i’tikaflah.” Orang-orang pun beri’tikaf bersama beliau. Sabdanya lagi: “Dan sungguh diperlihatkan kepadaku bahwa Lailatul-Qadar itu ada pada bilangan ganjil, dan sungguh aku akan sujud di pagi harinya di atas tanah dan air.” Keesokan hari dari malam 21, beliau berdiri hendak shalat shubuh. Tiba-tiba turun hujan dan masjid bocor. Aku melihat tanah bercampur air. Ketika Nabi keluar setelah selesai shalat shubuh, di kening dan hidungnya terlihat ada tanah dan air. Dan ternyata itu adalah malam ke-21 dari 10 hari terakhir Ramadlan (Shahih Muslim kitab as-shaum bab fadlli lailatil-qadri no. 2828).
Kedua, Lailatul-Qadar tanggal 23 Ramadlan.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُنَيْسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ ثُمَّ أُنْسِيتُهَا وَأَرَانِى صُبْحَهَا أَسْجُدُ فِى مَاءٍ وَطِينٍ. قَالَ فَمُطِرْنَا لَيْلَةَ ثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ فَصَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ فَانْصَرَفَ وَإِنَّ أَثَرَ الْمَاءِ وَالطِّينِ عَلَى جَبْهَتِهِ وَأَنْفِهِ
Dari ‘Abdullah ibn Unais, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Diperlihatkan kepadaku Lailatul-Qadar, tapi kemudian aku dijadikan lupa terhadapnya. Dan aku melihat bahwa di waktu shubuhnya, aku sujud pada air dan tanah.” Kata ‘Abdullah: Hujan turun di malam 23 dan Rasulullah saw shalat mengimami kami. Ketika selesai, bekas air dan tanah terlihat di atas kening dan hidungnya (Shahih Muslim kitab as-shaum bab fadlli lailatil-qadri no. 2832).
Ketiga, Lailatul-Qadar tanggal 27 Ramadlan.
قَالَ زِرُّ بْنُ حُبَيْشٍ سَأَلْتُ أُبَىَّ بْنَ كَعْبٍ فَقُلْتُ إِنَّ أَخَاكَ ابْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ مَنْ يَقُمِ الْحَوْلَ يُصِبْ لَيْلَةَ الْقَدْرِ. فَقَالَ رَحِمَهُ اللَّهُ أَرَادَ أَنْ لاَ يَتَّكِلَ النَّاسُ أَمَا إِنَّهُ قَدْ عَلِمَ أَنَّهَا فِى رَمَضَانَ وَأَنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ وَأَنَّهَا لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ. ثُمَّ حَلَفَ لاَ يَسْتَثْنِى أَنَّهَا لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ فَقُلْتُ بِأَىِّ شَىْءٍ تَقُولُ ذَلِكَ يَا أَبَا الْمُنْذِرِ قَالَ بِالْعَلاَمَةِ أَوْ بِالآيَةِ الَّتِى أَخْبَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ أَنَّهَا تَطْلُعُ يَوْمَئِذٍ لاَ شُعَاعَ لَهَا
Zirr ibn Hubaisy berkata: Aku bertanya kepada Ubay ibn Ka’ab ra: “Sesungguhnya saudaramu, Ibn Mas’ud, berkata siapa yang qiyam (shalat malam) selama satu tahun pasti ia akan mendapatkan Lailatul-Qadar.” Ubay menjawab: “Semoga Allah merahmatinya. Ia bermaksud agar manusia tidak mengandalkan Lailatul-Qadar saja. Karena sesungguhnya ia juga tahu bahwasanya Lailatul-Qadar itu ada pada bulan Ramadlan, pada 10 hari terakhir, pada malam ke-27. Kemudian ia bersumpah dengan tidak istitsna (tidak menyebut insya Allah) bahwasanya Lailatul-Qadar itu malam 27.” Aku bertanya: “Apa dasar kamu berkata seperti itu, wahai Abu al-Mundzir (panggilan Ubay)?” Ia menjawab: “Sebuah tanda yang diberitahukan Rasulullah saw kepada kami, bahwasanya matahari akan terbit di hari itu tanpa bersinar terang.” (Shahih Muslim kitab as-shaum bab fadlli lailatil-qadri no. 2834).
Khusus untuk tanggal 27 Ramadlan ini dikuatkan juga dengan pengamalan Nabi saw yang melebihkan ibadah di malam tersebut melebihi malam-malam lainnya, yaitu:
عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ رَمَضَانَ فَلَمْ يَقُمْ بِنَا شَيْئًا مِنَ الشَّهْرِ حَتَّى بَقِىَ سَبْعٌ فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ فَلَمَّا كَانَتِ السَّادِسَةُ لَمْ يَقُمْ بِنَا فَلَمَّا كَانَتِ الْخَامِسَةُ قَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ لَوْ نَفَّلْتَنَا قِيَامَ هَذِهِ اللَّيْلَةِ. قَالَ فَقَالَ إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ. قَالَ فَلَمَّا كَانَتِ الرَّابِعَةُ لَمْ يَقُمْ فَلَمَّا كَانَتِ الثَّالِثَةُ جَمَعَ أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ وَالنَّاسَ فَقَامَ بِنَا حَتَّى خَشِينَا أَنْ يَفُوتَنَا الْفَلاَحُ. قَالَ قُلْتُ مَا الْفَلاَحُ قَالَ السُّحُورُ ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِنَا بَقِيَّةَ الشَّهْرِ
Dari Abu Dzar, ia berkata: Kami shaum Ramadlan bersama Rasulullah saw. Beliau tidak shalat malam bersama kami pada satu malam pun sehingga tersisa tujuh hari lagi (malam ke-23), lalu beliau shalat malam bersama kami sampai lewat sepertiga malam. Lalu pada malam keenam (dari yang tersisa, yakni malam ke-24), beliau tidak shalat malam bersama kami. Pada malam kelima (dari yang tersisa, yakni malam ke-25) beliau shalat malam bersama kami sampai lewat tengah malam. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, seandainya saja anda sunatkan untuk kami shalat pada malam ini semalaman (tidak hanya setengah malam).” Beliau menjawab: “Sungguh seseorang itu jika shalat (‘isya, shubuh, atau shalat malam) bersama imam sampai selesai, itu sudah dihitung shalat malam semalaman.” Kemudian pada malam keempat (dari yang tersisa, yakni malam ke-26) beliau tidak shalat malam (bersama jama’ah). Kemudian pada malam ketiga (dari yang tersisa, yakni malam ke-27) beliau mengumpulkan keluarga, istri-istrinya, dan semua orang yang ada. Beliau shalat malam bersama kami sampai kami takut ketinggalan falah. Aku (Jubair ibn Nufair) bertanya: “Apa falah itu?” Abu Dzar menjawab: “Sahur.” Kemudian beliau tidak shalat malam lagi di sisa bulan Ramadlan tersebut (Sunan Abi Dawud bab fi qiyam syahri Ramadlan no. 1377; Sunan at-Tirmidzi bab ma ja`a fi qiyam syahri Ramadlan no. 806. al-Albani: Hadits shahih).
Hadits terkait amalan Nabi saw, tentu jangan dipahami bahwa selamanya Nabi saw mengamalkan demikian jika faktanya ada hadits lain yang menginformasikan berbeda. Maksud hadits amalan Nabi saw seperti di atas adalah Nabi saw pernah mengamalkan shalat malam/tarawih pada bulan Ramadlan seperti di atas.
Dari keterangan Abu Dzar di atas diketahui bahwasanya Nabi saw shalat tarawih berjama’ah hanya pada malam ke-23, 25 dan 27. Pada malam ke-23 Nabi saw shalat sampai lewat sepertiga malam (sekitar 3 jam). Pada malam ke-25 Nabi saw shalat sampai lewat tengah malam (sekitar 4,5 jam). Dan pada malam ke-27 dengan mengajak semua keluarga dan istri-istrinya beliau shalat sampai akhir malam/sahur (sekitar 8 jam). Tidak berarti bahwa di malam-malam sisanya Nabi saw tidak shalat malam, sebab bagi Nabi saw shalat malam wajib. Jadi yang tepat, di malam-malam sisanya Nabi saw tidak shalat tarawih berjama’ah, hanya sendirian. Jama’ah i’tikaf pun demikian, shalat masing-masing.
Hadits-hadits di atas menguatkan kesimpulan al-Hafizh Ibn Hajar bahwa Lailatul-Qadar kemungkinan besar berpindah-pindah tanggalnya di setiap tahunnya. Dari hadits-hadits di atas diketahui bahwa Lailatul-Qadar pernah ada di tanggal 21, 23, dan 27. Hal ini menguatkan sabda Nabi saw di atas bahwa Lailatul-Qadar ada pada malam-malam ganjil dari 10 malam terakhir Ramadlan. Perihal tanda yang Nabi saw sebutkan dalam hadits-hadits di atas seperti malamnya akan hujan lebat dan sampai bocor ke masjid atau esok harinya matahari tidak bersinar terang karena berawan, itu hanya salah satu tandanya saja, dan tidak berarti akan seperti itu setiap tahunnya. Hadits yang sifatnya informasi kejadian hanya memberitahu kejadian pada waktu itu saja. Di daerah tertentu tidak mustahil akan ada hujan setiap malamnya atau bahkan tidak ada hujan di sepanjang 10 malam terakhir Ramadlan, tetapi itu tidak berarti bahwa Lailatul-Qadar terjadi setiap malam atau tidak ada Lailatul-Qadar sama sekali. Lailah itu artinya satu malam, jadi pasti ada satu malam yang termasuk Lailatul-Qadar.
Maka yang paling penting adalah mengikuti sunnah Nabi saw dalam meraih kemuliaan Lailatul-Qadar, bukan terus mendiskusikan kapan tanggal pasti Lailatul-Qadar sebab memang tidak akan pernah diketahui pasti. Nabi saw sendiri fokus mencurahkan tenaga maksimal dalam meraih kemuliaan Lailatul-Qadar di 10 malam terakhir. Inilah yang paling penting untuk diamalkan, bukan terus diburu kepenasaran kapan tanggal pasti Lailatul-Qadar. ‘Aisyah ra menegaskan:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ
Dari ‘Aisyah, ia berkata: “Nabi saw bersungguh-sungguh pada 10 hari terakhir (Ramadlan) melebihi kesungguh-sungguhannya pada waktu lainnya.” (Shahih Muslim kitab al-i’tikaf bab al-ijtihad fil-‘asyril-awakhir no. 2845)
Amal Nyata Meraih Lailatul-Qadar
Amal nyata meraih Lailatul-Qadar itu adalah ihya`ul-lail (menghidupkan malam) di 10 malam terakhir Ramadlan. Yang lebih baiknya disertai dengan i’tikaf tetapi boleh juga tidak dengan i’tikaf. Yang akan menyertakan dengan i’tikaf tetapi tidak di 10 malam secara sempurna juga diperkenankan oleh Nabi saw sehingga memilih i’tikaf hanya di malam-malam tertentu saja, tentunya pada malam yang ganjil. ‘Aisyah ra menjelaskan:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
Dari ‘Aisyah, ia berkata: “Nabi saw apabila telah masuk 10 hari terakhir Ramadlan, mempererat sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya.” (Shahih al-Bukhari kitab fadlli lailatil-qadri bab al-‘amal fi al-‘asyr al-awakhir min ramadlan no. 2024 dan Shahih Muslim kitab al-i’tikaf bab al-ijtihad fil-‘asyril-awakhir min syahri Ramadlan no. 2844).
Maksud dari “mempererat sarungnya”, Ibn Hajar menjelaskan: “Tidak pernah melepas sarungnya, menjauhi istrinya, dan bersungguh-sungguh dalam ibadah.” Praktik konkritnya adalah i’tikaf. Sementara maksud “menghidupkan malamnya” adalah: “Menghidupkannya dengan ketaatan dan menghidupkan dirinya dengan terjaga di waktu malam, karena tidur itu dekat pada makna mati.” Adapun maksud dari “membangunkan keluarganya” sebagaimana diriwayatkan at-Tirmidzi dan Muhammad ibn Nashr dari hadits Zainab putri Ummu Salamah: “Nabi saw tidak pernah apabila tersisa sepuluh hari dari Ramadlan membiarkan seorang pun dari keluarganya yang mampu bangun untuk shalat kecuali beliau akan membangunkannya”. Al-Hafizh menjelaskan lebih lanjut: “Berdasar pada pertimbangan bahwa tidak ada seorang istrinya pun yang i’tikaf, maka mungkin Nabi saw membangunkan keluarganya dari tempat i’tikafnya, atau membangunkan mereka ketika masuk ke rumahnya untuk satu keperluan.” (Fathul-Bari). Ini sekaligus menunjukkan bahwa meski ada yang sudah tertidur dahulu, Nabi saw membangunkannya untuk menghidupkan malamnya. Menghidupkan malam yang Nabi saw anjurkan itu juga yang pokoknya untuk shalat malam.
Hadits ‘Aisyah di atas memberikan tuntunan sunnah apa yang sebaiknya diamalkan memasuki fase 10 hari terakhir Ramadlan. Amal-amal yang disunnahkan bukan hanya i’tikaf saja, tetapi yang lebih pokok ternyata adalah menghidupkan malam dengan ibadah. Sebagaimana dijelaskan al-Hafizh Ibn Hajar di atas, istri-istri Nabi saw tidak ada seorang pun yang i’tikaf di masa beliau hidup, tetapi semuanya Nabi saw perintahkan untuk bangun terjaga di sepanjang malamnya. Bahkan yang sudah tertidur pun, Nabi saw bangunkan. Terlebih lagi Nabi saw yang i’tikaf, sudah tentu beliau juga menghidupkan malamnya sebagaimana dijelaskan ‘Aisyah dalam hadits di atas. Jadi baik yang tidak i’tikaf, apalagi yang sedang i’tikaf, di 10 malam terakhir Ramadlan itu sunnahnya adalah menghidupkan malam semalaman dengan ibadah.
Dalam keterangan Muhammad ibn Nashr yang dikutip al-Hafizh di atas, dijelaskan bahwa menghidupkan malam itu yang pokoknya dengan shalat malam/tarawih. Jadi shalat tarawihnya diperpanjang bacaannya. Selebihnya dari itu sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits lainnya adalah tadarus, berdzikir, dan berdo’a. Kegiatan tadarus ada dalam hadits Ibn ‘Abbas ra tentang Nabi saw yang setiap malam di sepanjang Ramadlan tadarus bersama Jibril as sampai akhir Ramadlan. Kegiatan dzikir dan do’a tampak pada pertanyaan ‘Aisyah ra di bawah ini:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَيُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ قُولِي اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
Dari ‘Aisyah, ia berkata: Aku bertanya: “Wahai Rasulullah saw, bagaimana pandangan anda jika seandainya saya tahu malam yang mana Lailatul-Qadar itu, apa yang harus aku ucapkan?” Beliau menjawab: Ucapkanlah: Ya Allah, Engkau Maha Pengampun lagi Mahamulia, senang mengampuni, ampunilah aku” (Sunan at-Tirmidzi kitab ad-da’awat no. 3513).
Hadits ini tentu tidak hendak membatasi bahwa do’a ini saja yang dibaca pada malam-malam 10 hari terakhir Ramadlan. Akan tetapi mengisyaratkan adanya permohonan ampunan yang dipanjatkan, khususnya dengan do’a ini. Do’a yang dipanjatkan tentu tidak hanya memohon ampunan saja, melainkan “semua urusan” (min kulli amrin)—sebagaimana ditegaskan QS. Al-Qadr—sebab semuanya pada Lailatul-Qadar akan ditetapkan Allah swt melalui malaikat-malaikat-Nya yang turun ke bumi. Dan proses penentuan semua urusan tersebut berlangsung sampai shubuh.
Selanjutnya bagi yang tidak mampu i’tikaf atau menghidupkan malam secara sempurna pada 10 malam terakhir, Nabi saw menganjurkan untuk memilih malam-malam tertentu guna meraih kemuliaan Lailatul-Qadar ini. Dalam hadits-haditsnya, Nabi saw tidak hanya menganjurkan i’tikaf yang sempurna saja, melainkan juga menganjurkan menghidupkan malam atau i’tikaf di malam-malam tertentu saja. Berikut diuraikan hadits-hadits yang memberikan tuntunan mengejar kemuliaan lailatul-qadar baik secara sempurna pada 10 malam/hari terakhir, ataupun pada malam/hari tertentunya saja.
Perintah Nabi saw untuk meraih kemuliaan Lailatul-Qadar pada 10 malam terakhir secara sempurna adalah:
تَحَرُّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Carilah Lailatul-Qadar pada 10 hari terakhir bulan Ramadlan (Shahih al-Bukhari kitab fadlli lailatil-qadar bab taharri lailatil-qadri fil-witr minal-‘asyril-awakhir no. 2020 dari hadits ‘Aisyah).
Hadits ini—sekali lagi—tidak hanya berlaku bagi yang hendak i’tikaf saja, melainkan juga bagi yang tidak hendak i’tikaf seperti istri-istri Nabi saw. Maka maksud hadits ini adalah hidupkanlah malam pada 10 malam terakhir Ramadlan, baik bagi yang tidak i’tikaf, apalagi bagi yang sedang i’tikaf.
تَحَرُّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Carilah Lailatul-Qadar pada hitungan ganjil dari 10 hari terakhir bulan Ramadlan (Shahih al-Bukhari kitab fadlli lailatil-qadar bab taharri lailatil-qadri fil-witr minal-‘asyril-awakhir no. 2017; Musnad Ahmad bab hadits ‘Aisyah no. 24489).
Hadits ini memberi tuntunan bahwa Lailatul-Qadar bisa dicari pada malam-malam ganjil dari 10 hari terakhir, yakni 21, 23, 25, 27, 29. Sebagaimana akan disebutkan di bawah, dalam hadits Ibn ‘Umar, tentunya ini berlaku bagi mereka yang tidak mampu mencarinya pada 10 hari secara sempurna.
هِيَ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ هِيَ فِي تِسْعٍ يَمْضِينَ أَوْ فِي سَبْعٍ يَبْقَيْنَ. عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ الْتَمِسُوا فِي أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ
Lailatul-Qadar itu ada pada 10 hari terakhir, yaitu pada sembilan hari yang telah berlalu atau pada tujuh hari yang tersisa. Dari Ibn ‘Abbas: Carilah (mulai) malam ke-24 (Shahih al-Bukhari kitab fadlli lailatil-qadar bab taharri lailatil-qadri fil-witr minal-‘asyril-awakhir no. 2022).
الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ يَعْنِى لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِى
Carilah Lailatul-Qadar pada 10 hari terakhir. Jika salah seorang di antaramu lemah atau payah, maka jangan sampai terlewatkan pada yang tujuh hari tersisanya (Shahih Muslim bab fadlli lailatil-qadr wal-hats ‘ala thalabiha no. 2822 dari hadits Ibn ‘Umar).
Hadits Ibn ‘Abbas dan Ibn ‘Umar ini jelas memberikan tuntunan bahwa bagi yang tidak mampu mengejar pada 10 malam sempurna, bisa mengejarnya pada tujuh hari terakhir, mulai dari malam ke-24 sampai akhir.
فَالْتَمِسُوهَا فِي التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ
Maka carilah ia pada hari ke-9, ke-7, ke-5 [dari 10 hari terakhir Ramadlan] (Shahih al-Bukhari kitab al-‘ilm bab raf’i ma’rifah lailatil-qadr li talahin-nas no. 2023 dari hadits ‘Ubadah ibn as-Shamit)
Maksud hari/malam ke-9, 7, dan 5 itu, menurut al-Hafizh Ibn Hajar, yang paling tepat adalah malam ke-29, 27, dan 25. Bisa juga maksudnya sebagaimana dijelaskan di hadits berikutnya yakni malam ke-9 dari yang tersisa, maksudnya malam 21, malam ke-7 berarti malam 23, dan malam ke-5 berarti malam 25.
الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي تَاسِعَةٍ تَبْقَى فِي سَابِعَةٍ تَبْقَى فِي خَامِسَةٍ تَبْقَى
Carilah Lailatul-Qadar pada 10 hari terakhir Ramadlan, yakni pada malam ke-9, ke-7, dan ke-5 dari yang tersisa (Shahih al-Bukhari kitab fadlli lailatil-qadar bab taharri lailatil-qadri fil-witr minal-‘asyril-awakhir no. 2021 dari hadits Ibn ‘Abbas).
Hadits Ibn ‘Abbas dan ‘Ubadah ibn as-Shamit di atas memberikan pilihan kepada umat Islam untuk mengejar Lailatul-Qadar pada tiga malam saja, yakni malam 21, 23, dan 25, atau malam 25, 27, dan 29.
Hadits-hadits di atas memberikan tuntunan agar umat Islam berusaha maksimal meraih kemuliaan Lailatul-Qadar sesuai kemampuannya. Bagi yang mampu 10 malam/hari terakhir, ini tentu yang paling utama. Bagi yang mampunya hanya seminggu terakhir, ini juga dianjurkan untuk diamalkan. Bagi yang mampunya lima hari, maka dianjurkan untuk memilih tanggal 21, 23, 25, 27, dan 29. Sementara bagi yang mampunya hanya tiga hari, Nabi saw membolehkannya dan menganjurkannya untuk memilih tanggal 25, 27, 29 atau 21, 23, 25. Jadi pilihannya 10 malam, tujuh malam, lima malam, atau minimal tiga malam. Diusahakan tidak kurang dari tiga malam karena dalam hadits disebutkan minimal tiga malam. Fleksibilitas sunnah ini jelas tertuang dalam berbagai hadits shahih sebagaimana dijelaskan di atas. Maka dari itu pantang untuk diabaikan salah satu pilihannya.
Hadits riwayat at-Tirmidzi di atas menyatakan bahwa menghidupkan malam itu yang pokoknya dengan shalat malam. Bagi yang sudah tarawihnya di awal malam, maka di tengah malam dan akhir malam—jika masih mampu—diperbolehkan untuk shalat lagi. Shalatnya bisa disebut shalat muthlaq (shalat yang tidak terikat dengan syari’at yang baku). Syaratnya satu saja, tidak boleh mengulangi witirnya, sebab tidak boleh ada dua witir dalam satu malam. Shalat semacam ini juga pernah diamalkan oleh shahabat sebagaimana hadits berikut:
عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقٍ قَالَ زَارَنَا طَلْقُ بْنُ عَلِىٍّ فِى يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ وَأَمْسَى عِنْدَنَا وَأَفْطَرَ ثُمَّ قَامَ بِنَا تِلْكَ اللَّيْلَةَ وَأَوْتَرَ بِنَا ثُمَّ انْحَدَرَ إِلَى مَسْجِدِهِ فَصَلَّى بِأَصْحَابِهِ حَتَّى إِذَا بَقِىَ الْوِتْرُ قَدَّمَ رَجُلاً فَقَالَ أَوْتِرْ بِأَصْحَابِكَ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ يَقُولُ لاَ وِتْرَانِ فِى لَيْلَةٍ
Dari Qais ibn Thalq, ia berkata: Thalq ibn ‘Ali berkunjung ke rumah kami pada satu hari di bulan Ramadlan. Beliau ada di tempat kami sampai sore hari dan berbuka. Kemudian beliau shalat malam (tarawih) mengimami kami pada malam tersebut dan shalat witir. Kemudian beliau pulang ke masjidnya, dan shalat malam (tarawih/muthlaq) lagi bersama jama’ahnya. Sampai ketika tinggal tersisa witirnya, beliau menyuruh seseorang untuk maju menjadi imam dan berkata: “Witirlah kamu bersama sahabat-sahabat kamu, karena sungguh aku mendengar Rasulullah saw bersabda: ‘Tidak boleh ada dua witir dalam satu malam’ (Sunan Abi Dawud bab fi naqdlil-witr no. 1441. Al-Albani: Shahih).
Hadits shahih ini menunjukkan amal seorang shahabat yang menambah lagi shalat pada malam hari sesudah tarawih di awal malam, tetapi tidak dengan witirnya. Amal shahabat dalam hal ibadah sudah Nabi saw jamin dalam hadits-hadits seputar keutamaan shahabat sebagai sebuah sunnah. Terlebih shahabat Thalq ibn ‘Ali mengamalkan praktik shalat malam di atas dalam rangka menjelaskan hadits Nabi saw: “Tidak boleh ada dua witir dalam satu malam.” Berdasarkan qaidah yang umum, shahabat tentu lebih tahu makna hadits daripada yang lainnya, sebab mereka mendapatkan penjelasan langsung dari Nabi saw, tidak seperti yang lainnya.
Berdasarkan hadits Nabi saw yang umum bahwa “shalat malam dan siang dua raka’at-dua raka’at” berarti yang akan shalat muthlaq pada malam hari sesudah tarawih mengamalkannya dua raka’at-dua raka’at.