أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ
“Apakah kalian mengira bahwa kami menciptakan kalian sebagai ciptaan yang sia-sia (tanpa tujuan) dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS al-Mu`minun [23]: 115)
Secara semantik, firman Allah di atas berbentuk retoris, yaitu pertanyaan yang pada hakikatnya merupakan penegasan yang tidak membutuhkan jawaban. Jadi, dalam ayat tersebut Allah hendak menegaskan bahwa manusia diciptakan di dunia ini bukan tanpa tujuan dan kelak manusia akan kembali kepada Allah pada hari akhir nanti.
Setiap manusia mengalami dua kematian dan dua kehidupan (QS. Al-Baqarah [2]: 28). Kematian pertama, yaitu ketika janin seorang manusia sedang berada di alam rahim sebelum berusia 120 hari kehamilan. Lalu tibalah fase kehidupan pertama, yaitu sejak janin tersebut sudah ditiupkan ruhnya pada usia 120 hari kehamilan sampai tiba fase kematian kedua dan terakhir, yaitu ketika ruhnya dicabut dari alam dunia menuju ke alam barzakh —batas antara alam dunia dan alam akhirat. Kemudian, setelah malaikat Israfil meniup sangkakala yang kedua kalianya, ia menuju fase kehidupan yang kedua dan terakhir di alam akhirat, di mana tidak akan ada lagi kematian setelahnya; ia akan hidup kekal di alam tersebut; bisa jadi tinggal di surga atau tinggal di neraka tergantung amal yang ia kerjakan selama di fase kehidupan dunia.
Kehidupan dunia hanyalah kehidupan yang singkat dan penuh dengan kenikmatan yang semu, sedangkan kehidupan akhirat merupakan kehidupan yang abadi dan penuh dengan kenikmatan yang hakiki. Allah berfirman,
وَمَا أُوتِيتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَزِينَتُهَا وَمَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Dan apa saja (kekayaan, jabatan, keturunan) yang diberikan kepada kalian (di dunia), maka itu adalah kesenangan hidup duniawi dan perhiasannya; sedangkan apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Tidakkah kalian mengerti?”(QS al-Qashash [28]: 60)
Kenikmatan dunia, senikmat apapun tidak mungkin mencapai derajat nikmat yang hakiki; contohnya nikmat kekayaan. Memang kaya itu nikmat, bisa memiliki apa saja yang diinginkan dengan mudah. Namun di sisi lain orang yang kaya akan diliputi keresahan dan kegelisahan untuk menjaga hartanya dari perampok. Contoh lain, rasa pedas itu nikmat, namun jika terlalu banyak akan menimbulkan sembelit. Makanan dan minuman manis itu nikmat, namun jika terlalu banyak akan memicu penyakit diabetes. Kopi itu nikmat, namun jika terlalu banyak akan menyebabkan asam lambung naik. Begitupula dengan nikmat-nikmat lainnya. Berbeda dengan kenikmatan akhirat yang benar-benar nikmat tanpa ada efek samping. Contohnya, di surga akan ada sungai khamr (minuman beralkohol) yang sangat nikmat yang tidak akan membuat pening atau mabuk (QS. Al-Waqi’ah [56]: 18).
Sungguh sangat merugi orang-orang yang memilih untuk menghabiskan masa hidup di dunianya hanya guna menikmati nikmat-nikmat semu dunia yang diharamkan oleh Allah sehingga dirinya tidak dapat merasakan kenikmatan yang hakiki di akhirat kelak. Dunia adalah tempat bekerja keras beramal shalih, bukan tempat bersenang-senang dan berfoya-foya. Berlelah-lelah dalam waktu singkat selama di dunia belum ada apa-apanya dibandingkan kenikmatan abadi di surga.
Allah berfirman,
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)
“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling menasihati dengan kebaikan dan saling menasihati untuk sabar.” (QS al-‘Ashr [103]: 1-3)
Di awal surat ini, Allah bersumpah dengan salah satu makhluk-Nya, yaitu masa atau waktu. Kemudian menyatakan bahwa pada dasarnya seluruh manusia itu merugi dalam waktu/masa hidupnya kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling menasihati dengan kebaikan, dan saling menasihati untuk bersabar. Kesempatan hidup di dunia yang singkat harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk menebus kenikmatan akhirat.
Imam as-Syafi’i berkomentar mengenai QS. Al-‘Ashr,
لَوْ مَا أَنْزَلَ اللهُ حُجَّةً عَلَى خَلْقِهِ إِلَّا هَذِهِ السُّوْرَةَ لَكَفَتْهُمْ
“Seandainya Allah hanya menurunkan surat ini saja sebagai panduan bagi makhlukNya, maka ini sudah cukup bagi mereka.” (Syarhul-Ushūlits-Tsalātsah li-bnil-‘Utsaimin, 1/10)
Maksudnya, kandungan dari surat tersebut meliputi kewajiban dasar atau misi manusia yang mesti dilaksanakan selama masa hidupnya di dunia. Muhammad ibn ‘Abdul-Wahhab –rahimahul-`Llah– menyebutkan misi setiap manusia yang dimaksud ada empat, yaitu (1) belajar/menuntut ilmu, (2) beramal shalih, (3) berdakwah, dan (4) bersabar dalam menuntut ilmu, beramal shalih, serta berdakwah. (Ibid)
Belajar
Menuntut ilmu/belajar agama adalah amalan yang paling utama. Ketika manusia dituntut untuk mengamalkan suatu ibadah atau amal shalih, maka secara tidak langsung ia pun dituntut untuk mencari tahu bagaimana tatacara beribadah yang harus ia laksanakan. Jangan sampai seorang muslim melaksanakan suatu ibadah tanpa didasari oleh ilmu yang benar. Setiap kali shalat kita selalu berdoa,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)
“tuntunlah kami pada jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan juga bukan jalan orang-orang yang tersesat.” (QS al-Fātihah [1]: 6-7)
‘Abdurrahman as-Sa’di –rahimahul-`Llah– berkata mengenai tafsir ayat tersebut bahwa jalan yang lurus maksudnya adalah jalannya para nabi, orang shalih, dan syuhada` yang memiliki ilmu dan mengamalkan ilmunya. Jalan orang-orang yang dimurkai maksudnya adalah jalannya orang-orang yang memiliki ilmu tapi tidak mengamalkan ilmunya seperti halnya orang-orang Yahudi. Jalan orang-orang yang sesat maksudnya adalah jalan orang-orang yang beramal tanpa ilmu seperti halnya orang-orang Nashrani (Taisīr Karīmir-Rahmān hlm. 39). Jadi, tidak cukup hanya sekedar memiliki semangat ibadah yang tinggi jika tanpa dibarengi dengan ilmu yang mumpuni. Jika begitu, ditakutkan termasuk pada jalan orang-orang yang tersesat, mereka menyangka amalan yang mereka laksanakan itu baik padahal secara ilmiah amalan tersebut bukan merupakan ibadah yang disyariatkan oleh Allah.
Beramal Shalih
Ilmu yang telah dimiliki harus mewujud menjadi amal shalih. Jika tidak, maka ditakutkan termasuk pada jalan orang-orang yang dimurkai. Beramal shalih adalah inti dari kehidupan dunia ini. Tugas manusia adalah beramal sebaik-baiknya. Allah berfiman,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Dialah (Allah) yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapa di antara kalian yang paling baik amalnya…” (QS al-Mulk [67]: 2)
Allah menyebutkan yang paling baik amalnya, bukan yang paling banyak amalnya karena banyak amal belum tentu baik. Yang menjadi tolok ukur baik atau tidaknya sebuah amalan adalah tingkat keikhlasannya kepada Allah dan kesesuaiannya dengan ajaran Nabi –shallal-`Llahu ‘alaihi wa sallam-. (lihat Taisīr Karimir-Rahman, hlm. 875)
Percuma beramal banyak tapi tidak ikhlas (baca: riya`) atau tidak sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad –shallal-`Llahu ‘alaihi wa sallam– (baca: bid’ah). Bukan menjadi tabungan pahala, tapi malah menjadi tabungan dosa. Sebaliknya jika beramal meskipun tidak banyak-banyak tapi ikhlash dan sesuai, bisa jadi malah diganjar pahala yang besar oleh Allah. Apalagi jika banyak beramal yang ikhlash dan sesuai, tentu pahalanya lebih besar lagi. Jadi, mulai sekarang periksa kembali setiap amalan yang selama ini sudah kita amalkan, apakah sudah ikhlash untuk Allah dan sesuai dengan ajaran Nabi atau belum?
Berdakwah
Setelah ilmu yang dimiliki mampu mewujud menjadi amal shalih, maka ajaran islam menganjurkan untuk senantiasa mengajak orang lain untuk sama-sama berilmu dan beramal shalih, jangan individualis atau ingin menang sendiri. Allah melaknat orang yang menyembunyikan ilmunya (QS. Al-Baqarah [2]: 159 dan Ali ‘Imran [3]: 187) dan senantiasa mendorong hamba-Nya untuk menjadi pribadi yang peka terhadap orang lain dengan cara mengajaknya untuk sama-sama berbuat baik dan melarangnya untuk berbuat buruk (amr ma’ruf-nahy munkar), firman-Nya,
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan orang yang menyeru pada kebaijikan, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan melarang perbuatan yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Āli ‘Imrān [3]: 104)
Dakwah yang dilakukan bukan hanya bermanfaat bagi orang yang diajak saja, tapi manfaat juga akan kembali kepada orang yang mengajak, yaitu mendapat pahala instan. Rasulullah –shallal-`Llahu ‘alaihi wa sallam– bersabda,
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Siapa yang mengajak pada kebaikan, maka ia akan mendapat pahala seperti pahala pelaku kebaikan tersebut.” (Shahih Muslim bab i’ānatil-adzā fī sabīlil-`Llāh… no. 5007)
Jadi, pada dasarnya semua umat muslim boleh dan harus berdakwah, bukan hanya tugas para da’i dan ustadz saja. Tapi bukan juga berarti setiap muslim bebas berbicara di atas mimbar, karena untuk naik mimbar harus memenuhi kriteria-kriteria khusus. Maksudnya, dakwah dapat dilakukan sesuai kapasitas masing-masing. Contohnya, seorang pejabat dapat menggunakan jabatannya sebagai sarana dakwah dengan mengajak para staffnya untuk shalat berjama’ah atau seorang owner perusahaan dapat menetapkan aturan wajib jilbab syar’i bagi para muslimah yang ingin bekerja di perusahaannya.
Bersabar
Terakhir, setelah mampu berilmu, beramal shalih, dan berdakwah, hal yang paling sulit dilaksanakan adalah bersabar untuk senantiasa konsisten dalam menuntut ilmu, beramal shalih, dan berdakwah sepanjang hayat. Banyak orang yang baru mengkhatamkan satu atau dua kitab ringkas kemudian berhenti di tengah-tengah jalan karena merasa jenuh dalam belajar atau sudah merasa cukup dengan ilmu yang didapat. Padahal ilmu agama itu luas, tidak cukup hanya dengan satu atau dua kitab.
Banyak orang yang beramal shalih hanya di momen-momen tertentu saja, seperti bulan Ramadlan. Selesai bulan Ramadlan, amal shalih hanya seingatnya saja. Para ahli zuhud yang beribadah sepanjang usia saja masih merasa tidak pantas masuk surga, maka bagaimana dengan yang beramal shalih seingatnya?
Banyak orang yang berhenti berdakwah dengan alasan lelah atas banyaknya orang yang menentang dakwahnya. Padahal tujuan utama dakwah itu bukan banyak menarik massa, tapi menyampaikan kebenaran. Toh banyak para nabi yang berdakwah tapi hanya diikuti satu atau dua orang saja, bahkan ada yang tidak berpengikut sama sekali.
Jadi, bersabar adalah hal yang paling penting dan memang paling perlu perjuangan untuk merealisasikannya. Oleh karena itu, sudah sepantasanya setiap muslim berdoa kepada Allah, memohon agar diberi keteguhan hati untuk senantiasa mengamalkan empat kewajiban tersebut, “Ya Allah yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati kami di atas ketaatan kepadaMu.” Amin, wal-`Lahu a’lam.