-
وَعَنْ عَلِيٍّ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ يُقْرِئُنَا الْقُرْآنَ مَا لَمْ يَكُنْ جُنُبًا. رَوَاهُ الْخَمْسَةُ وَهَذَا لَفْظُ التِّرْمِذِيِّ وَحَسَّنَةُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ
Dari ‘Ali—semoga Allah meridlainya—: “Rasulullah—shalawat dan salam untuknya—membacakan al-Qur`an kepada kami selama beliau tidak junub.” Lima Imam mengeluarkannya, dan ini lafazh riwayat at-Tirmidzi. Imam at-Tirmidzi menilainya hasan, sedangkan Ibn Hibban menilainya shahih.
Takhrij Hadits
Hadits di atas terdapat dalam Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab fil-junub yaqra`ul-Qur`an no. 229; Sunan at-Tirmidzi bab fir-rajul yaqra`ul-Qur`an ‘ala kulli hal ma lam yakun junuban no. 146; Sunan an-Nasa`i kitab at-thaharah bab hajbil-junub ‘an qira`atil-Qur`an no. 265; Sunan Ibn Majah kitab at-thaharah bab ma ja`a fi qira`atil-Qur`an ‘ala ghairi thaharah no. 594; Musnad Ahmad musnad ‘Ali ibn Abi Thalib no. 593 dan 1068; Shahih Ibn Hibban kitab ar-raqa`iq bab qira`atil-qur`an no. 800.
Pernyataan al-Hafizh bahwa matan hadits di atas diambil dari riwayat at-Tirmidzi, faktanya memang demikian. Sebab pada riwayat Abu Dawud, an-Nasa`i dan Ibn Majah, matan haditsnya sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَلمَةَ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى عَلِىٍّ أَنَا وَرَجُلاَنِ رَجُلٌ مِنَّا وَرَجُلٌ مِنْ بَنِى أَسَدٍ – أَحْسِبُ فَبَعَثَهُمَا عَلِىٌّ وَجْهًا وَقَالَ إِنَّكُمَا عِلْجَانِ فَعَالِجَا عَنْ دِينِكُمَا. ثُمَّ قَامَ فَدَخَلَ الْمَخْرَجَ ثُمَّ خَرَجَ فَدَعَا بِمَاءٍ فَأَخَذَ مِنْهُ حَفْنَةً فَتَمَسَّحَ بِهَا ثُمَّ جَعَلَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ فَأَنْكَرُوا ذَلِكَ فَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ كَانَ يَخْرُجُ مِنَ الْخَلاَءِ فَيُقْرِئُنَا الْقُرْآنَ وَيَأْكُلُ مَعَنَا اللَّحْمَ وَلَمْ يَكُنْ يَحْجُبُهُ – أَوْ قَالَ يَحْجُزُهُ – عَنِ الْقُرْآنِ شَىْءٌ لَيْسَ الْجَنَابَةَ.
Dari ‘Abdullah ibn Salamah, ia berkata: Aku masuk menemui ‘Ali ra bersama dua orang lelaki yang tidak dikenal, seorang lelaki dari kaum kami, dan seorang lelaki dari Bani Asad. Aku mengira ‘Ali telah mengutus kedua lelaki tersebut untuk satu keperluan. ‘Ali berkata: “Sungguh kalian dua orang yang gagah kuat, maka bersemangatlah untuk urusan agama kalian.” Tidak lama kemudian ‘Ali masuk ke toilet lalu keluar. Ia lantas minta air, lalu menceduknya satu kali cedukan kemudian membasuhkannya pada mukanya. Kemudian ia membaca al-Qur`an dan orang-orang yang ada saat itu pun memprotesnya. ‘Ali pun menjawab: “Sungguh Rasulullah saw dahulu keluar dari toilet lalu membacakan al-Qur`an kepada kami dan makan daging bersama kami. Tidak ada sesuatu pun yang menghalanginya dari membaca al-Qur`an selain junub.”
Sebagaimana terbaca di muka, tidak ada satu pun penilaian dla’if atas hadits di atas, yang dikutip oleh al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Bulughul-Maram. Artinya al-Hafizh setuju dengan penilaian hasan, bahkan shahih, dari para ulama hadits terkait hadits di atas. Dalam Fathul-Bari, al-Hafizh juga menegaskan bahwa status hadits di atas hasan.
قال عَلِيٌّ كَانَ رَسُول الله لَا يَحْجُبهُ عَنِ الْقُرْآنِ شَيْءٌ لَيْسَ الْجَنَابَة رَوَاهُ أَصْحَابُ السُّنَن وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْن حِبَّانَ وَضَعَّفَ بَعْضهمْ بَعْض رُوَاته، وَالْحَقُّ أَنَّهُ مِنْ قَبِيل الْحَسَن يَصْلُح لِلْحُجَّةِ
‘Ali berkata: Rasulullah saw itu tidak ada sesuatu pun yang menghalanginya dari al-Qur`an selain junub. Para ulama penulis kitab sunan meriwayatkannya. At-Tirmidzi dan Ibn Hibban menshahihkannya. Sebagian ulama mendla’ifkan sebagian rawinya. Yang benar, hadits ini hasan sehingga bisa dijadikan hujjah (Fathul-Bari bab taqdlil-ha`idl al-manasik kullaha).
Syaikh al-Albani dalam Irwa`ul-Ghalil no. 485 menyatakan keliru penilaian hasan dari al-Hafizh di atas. Menurutnya, al-Hafizh kemungkinan besar tidak menemukan data bahwa ‘Abdullah ibn Salamah yang menerima keterangan ‘Ali di atas adalah seseorang yang berubah hafalannya di akhir hidupnya (ikhtilath/pikun). Demikian juga fakta bahwa ‘Amr ibn Murrah yang menerima riwayat ‘Ali di atas dari ‘Abdullah ibn Salamah, menerima riwayat ini dari ‘Abdullah ibn Salamah ketika ‘Abdullah ibn Salamah sudah pikun. Jadi menurutnya hadits ini dla’if, bukan hasan. Akan tetapi dalam at-Talkhishul-Habir bab al-ghusl no. 184, al-Hafizh sendiri sudah menjelaskan kemungkinan ‘Abdullah ibn Salamah meriwayatkan hadits ini ketika sudah pikun. Namun ia sependapat dengan Imam an-Nawawi yang memilih ijtihad Imam at-Tirmidzi dalam menilai hasan hadits ini dengan pertimbangan ada banyak riwayat lain yang menjadi penunjang hadits ini, di antaranya dari ‘Umar dan pendirian ‘Ali ibn Abi Thalib sendiri. Dalam al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab, Imam an-Nawawi juga mengemukakan riwayat lain yang menguatkannya dari ‘Abdullah ibn Alik al-Ghafiqi dan ‘Abdullah ibn Rawahah. Artinya, al-Hafizh sudah tahu data yang dikemukakan al-Albani tersebut. Akan tetapi karena ada riwayat lain yang menunjangnya, maka kedla’ifan hadits ini naik statusnya jadi hasan.
Imam at-Tirmidzi sendiri dalam kitab Sunannya menjelaskan:
حَدِيثُ عَلِيٍّ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ، وَبِهِ قَالَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ أَهْلِ العِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ وَالتَّابِعِينَ، قَالُوا: يَقْرَأُ الرَّجُلُ القُرْآنَ عَلَى غَيْرِ وُضُوءٍ، وَلَا يَقْرَأُ فِي المُصْحَفِ إِلَّا وَهُوَ طَاهِرٌ، وَبِهِ يَقُولُ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، وَالشَّافِعِيُّ، وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاقُ
Hadits ‘Ali adalah hadits hasan shahih. Demikianlah pernyataan beberapa orang ulama dari kalangan shahabat dan tabi’in. Mereka juga berpendapat: Seseorang boleh membaca al-Qur`an dalam keadaan tidak punya wudlu, asalkan tidak membaca pada mushhaf kecuali ia sudah suci. Demikianlah pendapat Sufyan ats-Tsauri, as-Syafi’i, Ahmad (ibn Hanbal) dan Ishaq (ibn Rahawaih).
Adapun yang benar-benar dla’if dan tidak bisa naik statusnya menjadi hasan adalah hadits yang redaksinya tuntutan/melarang.
وَأَمَّا حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ مَرْفُوعًا لَا تَقْرَأُ الْحَائِضُ وَلَا الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ فَضَعِيفٌ مِنْ جَمِيعِ طُرُقِهِ
Adapun hadits Ibn ‘Umar yang marfu’ (dinyatakannya bersumber dari Nabi saw): Wanita yang haidl dan yang junub tidak boleh membaca sedikit pun dari al-Qur`an, maka ini dla’if dari semua jalur periwayatannya (Fathul-Bari bab taqdlil-ha`idl al-manasik kullaha).
Syarah Ijmali
Lebih lanjut al-Hafizh menuturkan bahwa kehujjahan hadits Nabi saw tidak membaca al-Qur`an ketika junub, tidak kemudian menjadikan hukumnya haram membaca al-Qur`an bagi yang junub, sebab hadits tersebut hanya berupa informasi perbuatan Nabi saw, bukan penuturan Nabi saw langsung yang memerintah/melarang. Sikap Nabi saw yang tidak membaca al-Qur`an ketika junub itu hanya memperlihatkan yang “sebaiknya” saja. Tidak sampai haram, sebab jika haram Nabi saw pasti akan mengemukakannya sendiri.
لَكِنْ قِيلَ فِي الِاسْتِدْلَال بِهِ نَظَرٌ؛ لِأَنَّهُ فِعْلٌ مُجَرَّدٌ فَلاَ يَدُلَّ عَلَى تَحْرِيمِ مَا عَدَاهُ وَأَجَابَ الطَّبَرِيُّ عَنْهُ بِأَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى الْأَكْمَلِ جَمْعًا بَيْنَ الْأَدِلَّةِ
Akan tetapi ada yang berpendapat bahwa dalam istidlal tersebut (larangan membaca al-Qur`an bagi yang junub dengan dalil hadits tersebut) ada masalah. Karena itu hanya perbuatan semata, sehingga tidak menunjukkan haram yang selainnya. Imam at-Thabari menjawab, hadits itu dipahami pada makna “yang paling baik” berdasarkan pada metode menyatukan di antara dalil-dalil yang ada (Fathul-Bari bab taqdlil-ha`idl al-manasik kullaha).
Hadits di atas tidak perlu dipertentangkan dengan hadits yang menyatakan bahwa Nabi saw di semua aktivitasnya selalu berdzikir, baik junub atau tidak junub.
-
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللهِ يَذْكُرُ اللَّهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَعَلَّقَهُ الْبُخَارِيُّ.
Dari ‘Aisyah ra ia berkata: “Rasulullah saw senantiasa berdzikir kepada Allah dalam setiap waktunya.” Muslim meriwayatkannya dan al-Bukhari menuliskannya dengan mu’alllaq (tanpa sanad).
Sebab kedua-duanya maqbul (hadits yang harus diterima sebagai hujjah). Maka dari itu tidak boleh dipertentangkan, melainkan dikompromikan. Mengingat hadits no. 84 dari Bulughul-Maram tersebut sifatnya umum mencakup semua dzikir, sementara hadits no. 124 lebih khusus pada membaca al-Qur`an semata, maka dari itu bisa disimpulkan bahwa dzikir itu dilakukan di setiap keadaan, baik junub atau tidak junub. Hanya khusus untuk membaca al-Qur`an dan bagi yang junub, maka itu sebaiknya tidak dilakukan. Dzikir selain membaca al-Qur`an silahkan, sementara membaca al-Qur`an sebaiknya tidak. Meski kalau dilakukan pun tidak berdosa.
Metode ‘am (umum) + khash (khusus) = takhshish (pengecualian) ini digunakan juga oleh al-Albani. Akan tetapi hadits khash yang digunakannya bukan hadits no. 124 ini. Melainkan hadits lain sebagaimana dijelaskannya sebagai berikut:
وَ فِي الْحَدِيْثِ دِلاَلَةٌ عَلَى جَوَازِ تِلاَوَةِ الْقُرْآنِ لِلْجُنُبِ لِأَنَّ الْقُرْآنَ ذِكْرٌ (وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرُ…) فَيَدْخُلُ فِي عُمُوْمِ قَوْلِهَا “يَذْكُرُ اللهَ”. نَعَمْ اَلْأَفْضَلُ أَنْ يُقْرَأَ عَلَى طَهَارَةٍ لِقَوْلِهِ حِيْنَ رَدَّ السَّلاَمَ عَقِبَ التَّيَمُّمِ: “إِنِّى كَرِهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللهَ إِلاَّ عَلَى طَهَارَةٍ”. أخرجه أبو داود و غيره و هو مخرج في ” صحيح أبي داود ” رقم ( 13 )
Dalam hadits ini (Nabi saw berdzikir setiap saat) terdapat dalil bolehnya membaca al-Qur`an bagi yang junub. Sebab al-Qur`an itu juga termasuk dzikir berdasarkan firman Allah swt: “Dan Kami telah menurunkan kepadamu dzikir (al-Qur`an)…” Maka al-Qur`an masuk pada keumuman pernyataan ‘Aisyah “berdzikir kepada Allah (setiap saat)”. Ya memang, yang lebih utama itu al-Qur`an dibaca dalam keadaan suci, berdasarkan sabda Nabi saw ketika menjawab salam setelah terlebih dahulu tayammum: “Sungguh aku tidak suka berdzikir kepada Allah kecuali dalam keadaan suci.” Abu Dawud dan lainnya meriwayatkannya. Dan hadits tersebut sudah ditakhrij dalam Shahih Abi Dawud no. 13 (as-Silsilah as-Shahihah no. 406).
Hadits yang dimaksud al-Albani leengkapnya adalah sebagai berikut:
عَنِ الْمُهَاجِرِ بْنِ قُنْفُذٍ أَنَّهُ أَتَى النَّبِىَّ وَهُوَ يَبُولُ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ حَتَّى تَوَضَّأَ ثُمَّ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ فَقَالَ إِنِّى كَرِهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللَّهَ إِلاَّ عَلَى طُهْرٍ أَوْ قَالَ عَلَى طَهَارَةٍ
Dari al-Muhajir ibn Qunfudz, bahwasanya ia mendatangi Nabi saw ketika beliau sedang kencing. Ia salam kepada beliau, tetapi tidak dijawab sampai beliau selesai berwudlu. Kemudian beliau menjelaskan alasannya: “Sungguh aku tidak suka berdzikir kepada Allah awj kecuali dalam keadaan suci.” (Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab a yuraddus-salam wa huwa yabulu no. 17).
Hadits ‘Ali di atas yang menginformasikan bahwa yang menghalangi Nabi saw dari membaca al-Qur`an hanya junub, berarti bahwa jika sebatas tidak punya wudlu, tidak menjadi penghalang—sebagaimana sudah ditegaskan oleh Imam at-Tirmidzi di atas. Meski demikian ini juga—sebagaimana sudah dijelaskan di atas—tidak berarti bahwa hukumnya haram membaca al-Qur`an bagi yang junub atau sebaliknya wajib harus menunggu suci dari junub dahulu untuk membaca al-Qur`an. Sebab haditsnya hanya berupa berita perbuatan saja (mujarradul-fi’l), bukan perintah/larangan. Hukum untuk dalil yang seperti ini hanya sebatas makruh; maksudnya orang yang junub makruh membaca al-Qur`an. Atau sebaliknya istihbab/sunat; yakni istihbab/sunat membaca al-Qur`an dalam keadaan suci dari junub. Junub yang dimaksud tentu tidak hanya berlaku bagi perempuan yang haidl saja, tetapi bagi semua penyebab junub seperti keluar mani, nifas, dan jima’ yang tentunya ada dialami oleh lelaki juga.
Wal-‘Llahu a’lam bis-shawab.