

-
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي اِمْرَأَةٌ أَشُدُّ شَعْرَ رَأْسِي أَفَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ؟ وَفِي رِوَايَةٍ: وَالْحَيْضَةِ؟ فَقَالَ: لاَ إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِي عَلَى رَأْسِكِ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Ummu Salamah—semoga Allah meridlainya—ia berkata: Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, saya ini seorang perempuan yang biasa mengikat rambut saya. Apakah saya harus melepaskannya ketika mandi junub?” Dalam riwayat lain ditanyakan juga: “dan mandi haidl?” Beliau menjawab: “Tidak perlu, hanyasanya cukup bagimu menuangkan air pada kepalamu tiga kali.” Muslim meriwayatkannya.
Takhrij Hadits
Imam Muslim meriwayatkan hadits di atas dalam kitab Shahihnya kitab al-haidl bab hukmi dlafa`iril-mughtasilah no. 730-732. Mukharrij lainnya yang meriwayatkan hadits di atas adalah Imam at-Tirmidzi dan an-Nasa`i, masing-masing dalam kitab Sunannya: Sunan at-Tirmidzi abwab at-thaharah bab hal tanqudlul-mar`ah sya’raha ‘indal-ghusl no. 105; dan Sunan an-Nasa`i kitab at-thaharah bab dzikri tarkil-mar`ah naqdla dlafri ra`siha ‘indal-ghusli no. 241.
Syarah Hadits
Menurut Imam at-Tirmidzi, hadits Ummu Salamah di atas adalah dalil utama bagi jumhur ulama dalam menetapkan tidak wajibnya perempuan yang mengikat rambut panjangnya untuk melepaskan ikatannya ketika mandi junub. Sebab yang wajib bukan mencuci rambutnya, tetapi kepalanya.
وَالعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ العِلْمِ: أَنَّ المَرْأَةَ إِذَا اغْتَسَلَتْ مِنَ الجَنَابَةِ فَلَمْ تَنْقُضْ شَعْرَهَا أَنَّ ذَلِكَ يُجْزِئُهَا بَعْدَ أَنْ تُفِيضَ المَاءَ عَلَى رَأْسِهَا
Cara mengamalkan hadits ini menurut para ulama, jika seorang perempuan mandi junub dan tidak melepas ikatan rambutnya, maka itu cukup baginya, tentunya setelah ia menuangkan air ke atas kepalanya (Sunan at-Tirmidzi bab hal tanqudlul-mar`ah sya’raha ‘indal-ghusl).
Imam Muslim sendiri dalam kitab Shahihnya mencantumkan hadits lain dari ‘Aisyah, di samping hadits Ummu Salamah di atas, yang menguatkan pendapat para ulama sebagaimana dikemukakan Imam at-Tirmidzi di atas:
عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ قَالَ بَلَغَ عَائِشَةَ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عَمْرٍو يَأْمُرُ النِّسَاءَ إِذَا اغْتَسَلْنَ أَنْ يَنْقُضْنَ رُءُوسَهُنَّ فَقَالَتْ يَا عَجَبًا لاِبْنِ عَمْرٍو هَذَا يَأْمُرُ النِّسَاءَ إِذَا اغْتَسَلْنَ أَنْ يَنْقُضْنَ رُءُوسَهُنَّ أَفَلاَ يَأْمُرُهُنَّ أَنْ يَحْلِقْنَ رُءُوسَهُنَّ لَقَدْ كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللهِ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ وَلاَ أَزِيدُ عَلَى أَنْ أُفْرِغَ عَلَى رَأْسِى ثَلاَثَ إِفْرَاغَاتٍ
Dari ‘Ubaid ibn ‘Umair, ia berkata: Telah sampai berita kepada ‘Aisyah bahwasanya ‘Abdullah ibn ‘Amr memerintahkan kaum perempuan untuk melepas ikatan rambutnya ketika mandi. ‘Aisyah berkata: “Sungguh aneh Ibn ‘Amr memerintahkan kaum perempuan melepas ikatan rambutnya ketika mandi. Kenapa tidak sekalian saja ia memerintah mereka untuk mencukur gundul kepala mereka? Sungguh aku dahulu pernah mandi bersama Rasulullah saw dari satu wadah air yang sama. Saya tidak mengapa-apakan rambut saya selain hanya menuangkan air ke atas kepala saya tiga kali.” (Shahih Muslim kitab al-haidl bab hukmi dlafa`iril-mughtasilah no. 733).
Artinya bahwa perempuan yang berambut panjang tidak perlu mencuci rambutnya di setiap helainya. Cukup dengan mencuci kepalanya saja. Ulama yang berpendapat perempuan harus melepaskan ikatan rambutnya, menurut al-Hafizh Ibn Hajar, didasarkan pada sabda Nabi saw kepada ‘Aisyah ketika ia haidl pada waktu ‘Arafah. ‘Aisyah menceritakan:
وَكُنْتُ أَنَا مِمَّنْ أَهَلَّ بِعُمْرَةٍ فَأَدْرَكَنِي يَوْمُ عَرَفَةَ وَأَنَا حَائِضٌ فَشَكَوْتُ إِلَى النَّبِيِّ فَقَالَ دَعِي عُمْرَتَكِ وَانْقُضِي رَأْسَكِ وَامْتَشِطِي وَأَهِلِّي بِحَجٍّ فَفَعَلْتُ
Saya termasuk yang berihlal ‘umrah. Ketika sampai hari ‘Arafah, saya haidl. Lalu mengadu kepada Nabi saw dan beliau menjawab: “Tinggalkan ‘umrahmu, lepaskan ikatan rambutmu, bersisirlah (mandilah), dan berihlal-hajilah.” Saya pun melaksanakannya (Shahih al-Bukhari kitab al-haidl bab naqdlil-mar`ah sya’raha ‘inda ghuslil-mahidl no. 317).
Meski di hadits di atas tidak disebutkan mandi, dalam riwayat Muslim disebutkan dengan jelas perintah mandi. Artinya perintah Nabi saw dalam hadits di atas: “Lepaskan ikatan rambutmu dan bersisirlah” maksudnya, “mandilah”. Berikut redaksi riwayat Muslim:
إِنَّ هَذَا أَمْرٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ فَاغْتَسِلِى ثُمَّ أَهِلِّى بِالْحَجِّ
Sesungguhnya itu adalah satu ketetapan Allah bagi anak-anak perempuan Adam. Maka mandilah lalu ihlallah dengan haji (Shahih Muslim kitab al-haj bab bayan wujuhil-ihram wa annahu yajuzu no. 2996).
Berdasarkan hadits di atas, menurut al-Hafizh Ibn Hajar, sebagian ulama menyatakan bahwa melepas ikatan rambut itu wajib. Akan tetapi dengan adanya hadits Ummu Salamah, juga hadits ‘Aisyah yang membantah ‘Abdullah ibn ‘Amr sebagaimana telah dikutip di atas, menunjukkan bahwa perintah dalam hadits ‘Aisyah pada saat haji wada’ itu bukan perintah wajib, melainkan sebatas sunat.
Di samping itu ada pertimbangan lain. Sebagaimana dikemukakan Imam an-Nawawi, hadits Ummu Salamah di atas mesti dipahami berlaku bagi perempuan yang meski diikat rambutnya dan cukup dengan menuangkan air ke atas kepalanya, air akan masuk ke bagian luar dan dalam rambut dan kepalanya. Jika tidak bisa dipastikan air menjangkau semua bagian kepala dan rambutnya, maka otomatis ikatan rambutnya harus dibuka dan rambutnya diurai agar tercuci semuanya (Syarah an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim bab hukmi dlafa`iril-mughtasilah).
Pertimbangan ini didasarkan pada sunnah Nabi saw dalam mandi junub sebagaimana telah dibahas dalam pembahasan syarah hadits ‘Aisyah dan Maimunah sebelumnya (Bulughul-Maram no. 128-130). Meski Nabi saw seorang laki-laki yang rambutnya tidak sebanyak rambut perempuan pada umumnya, Nabi saw tetap memasukkan jari-jari tangannya pada pangkal rambut, sebelum mengguyurnya dengan air sebanyak tiga kali.
Ditambah lagi dengan riwayat berikutnya dari ‘Ali yang menganjurkan agar rambut dan kepala benar-benar tercuci oleh air. Hadits-haditsnya dicantumkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Bulughul-Maram no. 134 dan 135. Berikut redaksi haditsnya:
-
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ : إِنَّ تَحْتَ كُلِّ شَعْرَةٍ جَنَابَةً, فَاغْسِلُوا الشَّعْرَ وَأَنْقُوا الْبَشَرَ. رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَضَعَّفَاهُ
Dari Abu Hurairah—semoga Allah meridlainya—ia berkata: Rasulullah—shalawat dan salam untuknya—bersabda: “Sungguh di bawah setiap helai rambut itu ada junub. Maka cucilah rambut dan bersihkanlah kulitnya.” Abu Dawud dan at-Tirmidzi meriwayatkannya dan keduanya mendla’ifkannya.
-
وَلِأَحْمَدَ عَنْ عَائِشَةَ نَحْوُهُ, وَفِيهِ رَاوٍ مَجْهُولٌ
Dalam riwayat Ahmad dari ‘Aisyah isinya sama seperti di atas, tetapi di dalam sanadnya ada rawi majhul.
Takhrij Hadits
Hadits Abu Hurairah diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dalam Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab fil-ghusli minal-janabah no. 248. Imam Abu Dawud menyatakan bahwa dalam sanadnya ada al-Harits ibn Wajih. Ia adalah seseorang yang haditsuhu munkar wa huwa dla’if; haditsnya munkar dan ia seorang yang dla’if.
Sementara Imam at-Tirmidzi meriwayatkannya dalam Sunan at-Tirmidzi abwab at-thaharah bab ma ja`a anna tahta kulli sya’rah janabah no. 106. Imam at-Tirmidzi juga menyatakan hal yang sama dengan Imam Abu Dawud. Menurutnya, hadits ini gharib pada al-Harits ibn Wajih. Ia menyendiri dalam menerima hadits ini dari Malik ibn Dinar. Tidak ada jalur sanad lain yang menopangnya. Sementara al-Harits sendiri statusnya menurut Imam at-Tirmidzi: wa huwa syaikh laisa bi dzaka; seorang syaikh yang tidak seperti itu (bukan yang dipercaya).
Adapun hadits ‘Aisyah riwayat Ahmad dituliskan dalam Musnad Ahmad bab hadits as-sayyidah ‘Aisyah no. 23653 dan 24970. Sanadnya dari Syarik an-Nakha’i, dari Khashif, dari seseorang yang tidak disebut namanya, dari ‘Aisyah. Rawi majhul (tidak dikenal) yang dimaksud Ibn Hajar dalam Bulughul-Maram di atas adalah rawi yang menerima dari ‘Aisyah tersebut. Di samping itu juga Syarik an-Nakha’i menurut Ibn Hajar: yukhthi`u katsiran dan taghayyara hifzhuhu mundzu waliyal-qadla bil-Kufah; banyak salah dan berubah hafalannya (pikun) semenjak menjabat hakim di Kufah. Berikut redaksi haditsnya:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ أَجْمَرْتُ شَعْرِي إِجْمَارًا شَدِيدًا فَقَالَ لِي رَسُولُ اللهِ يَا عَائِشَةُ أَمَا عَلِمْتِ أَنَّ عَلَى كُلِّ شَعَرَةٍ جَنَابَةً
Dari ‘Aisyah, ia berkata: “Aku mengikat rambutku dengan kuat. Rasulullah saw lalu berkata kepadaku: ‘Hai ‘Aisyah, tidakkah kamu tahu bahwa di setiap helai rambut itu ada junub?”
Meski demikian, menurut Ibn Hajar dalam at-Talkhishul-Habir, terkait tema ini ada hadits yang shahih dari ‘Ali ibn Abi Thalib. Redaksinya:
مَنْ تَرَكَ مَوْضِعَ شَعْرَةٍ مِنْ جَنَابَةٍ لَمْ يَغْسِلْهَا فُعِلَ بِهِ كَذَا وَكَذَا مِنَ النَّارِ. قَالَ عَلِىٌّ فَمِنْ ثَمَّ عَادَيْتُ رَأْسِى فَمِنْ ثَمَّ عَادَيْتُ رَأْسِى ثَلاَثًا. وَكَانَ يَجزُّ شَعْرَهُ
“Siapa yang meninggalkan satu celah saja dari rambutnya yang junub tanpa tercuci, maka ia akan disiksa seperti ini dan ini di neraka.” ‘Ali berkata: “Oleh karena itu, aku memusuhi kepalaku, aku memusuhi kepalaku, aku memusuhi kepalaku.” Maksudnya, ia selalu mencukur rambutnya (Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab al-ghusli minal-janabah no. 249).
Hadits ini dinilai dla’if oleh Syaikh al-Albani:
وَهَذَا إِسْنَادٌ ضَعِيْفٌ, عَطَاءُ بْنُ السَّائِبِ كَانَ اخْتَلَطَ, وَقَدْ رَوَى حَمَّادٌ عَنْهُ بَعْدَ الْاِخْتِلاَطِ كَمَا شَهِدَ بِذَلِكَ جَمَاعَةٌ مِنَ الْحُفَّاظِ
Ini adalah sanad dla’if. ‘Atha` ibn as-Sa`ib seorang rawi yang mukhtalith (berubah hafalannya di masa akhir hidupnya/pikun). Sungguh Hammad ibn Salamah meriwayatkan dari ‘Atha` sesudah ‘Atha` ikhtilath, sebagaimana dikemukakan oleh beberapa Huffazh (Irwa`ul-Ghalil no. 133).
Hal yang berbeda dikemukakan al-Hafizh Ibn Hajar.
وَإِسْنَادُهُ صَحِيحٌ فَإِنَّهُ مِنْ رِوَايَةِ عَطَاءِ بْنِ السَّائِبِ وَقَدْ سَمِعَ مِنْهُ حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ قَبْلَ الِاخْتِلَاطِ
Sanadnya shahih, karena dari riwayat ‘Atha` ibn as-Sa`ib. Dan sungguh Hammad ibn Salamah mendengar hadits dari ‘Atha` sebelum ikhtilath (at-Talkhishul-Habir bab al-ghusl no. 190).
Perbedaan kesimpulan dari para ulama ahli hadits seperti di atas merupakan sesuatu yang biasa dalam ilmu hadits dan sewaktu-waktu terjadi. Tugas kita adalah memilih pilihan yang paling aman dan jauh dari syubhat. Hemat kami, kesimpulan dari Imam an-Nawawi sebagaimana telah disajikan di atas lebih menenteramkan. Jika dipandang air tidak akan meratai semua bagian rambut, maka ikatan rambut dilepas. Jika air dipastikan meratai seluruh bagian rambut, maka ikatannya tidak perlu dilepas. Wal-‘Llahu a’lam.













