-
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ اَلنَّبِيَّ قَالَ: أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي: نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ, وَجُعِلَتْ لِي اَلْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا, فَأَيُّمَا رَجُلٍ أَدْرَكَتْهُ اَلصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ – وَذَكَرَ اَلْحَدِيثَ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Jabir ibn ‘Abdillah— semoga Allah meridlai mereka berdua —sesungguhnya Nabi—shalawat dan salam untuknya—bersabda: “Aku diberi lima hal yang tidak diberikan kepada seorang (nabi) pun sebelumku: Aku ditolong dengan rasa takut (musuh) dalam jarak perjalanan satu bulan. Dijadikan untukku bumi (tanah) sebagai masjid dan alat bersuci. Maka siapa pun yang sampai kepadanya waktu shalat, hendaklah ia shalat… dan Jabir menyebutkan kelanjutan hadits tersebut. Disepakati keshahihannya.
-
وَفِي حَدِيثِ حُذَيْفَةَ عِنْدَ مُسْلِمٍ: وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُورًا إِذَا لَمْ نَجِدِ اَلْمَاءَ
Dalam hadits Hudzaifah riwayat Muslim: “Dijadikan tanahnya sebagai alat bersuci bagi kita jika kita tidak menemukan air.”
-
وَعَنْ عَلِيٍّ عِنْدَ أَحْمَدَ: وَجُعِلَ اَلتُّرَابُ لِي طَهُورًا.
Dan dari ‘Ali—semoga Allah meridlainya—: “Dijadikan untukku tanah sebagai alat bersuci.”
Takhrij dan Matan Hadits
Hadits Jabir ibn ‘Abdillah (no. 136) ditulis oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Shahihnya kitab al-haidl bab at-tayammum no. 335. Imam al-Bukhari menuliskannya juga dalam kitab as-shalat no. 438 dan kitab al-jihad was-siyar no. 2977. Sementara Imam Muslim menuliskannya dalam kitab Shahih Muslim kitab al-masajid bab al-muqaddimah no. 1191. Sebagaimana tampak dari penulisan hadits di atas, ada matan hadits selengkapnya yang sengaja dipotong oleh al-Hafizh Ibn Hajar untuk membatasi tema pada tayammum. Adapun matan selengkapnya dari hadits Jabir ibn ‘Abdillah di atas adalah:
أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ لِي الْمَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً
Aku diberi lima hal yang tidak diberikan kepada seorang (nabi) pun sebelumku: Aku ditolong dengan rasa takut (musuh) dalam jarak perjalanan satu bulan. Dijadikan untukku bumi (tanah) sebagai masjid dan alat bersuci. Maka siapa pun yang sampai kepadanya waktu shalat, hendaklah ia shalat. Dihalalkan bagiku ghanimah (harta rampasan perang) dan itu tidak halal bagi seorang pun sebelumku. Aku diberi kewenangan syafa’at. Setiap Nabi diutus untuk kaumnya saja, tetapi aku diutus untuk semua umat manusia.
Hadits Hudzaifah diriwiyatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya kitab al-masajid bab muqaddimah no. 1193. Redaksi matan yang lebih lengkapnya adalah sebagai berikut:
فُضِّلْنَا عَلَى النَّاسِ بِثَلاَثٍ جُعِلَتْ صُفُوفُنَا كَصُفُوفِ الْمَلاَئِكَةِ وَجُعِلَتْ لَنَا الأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدًا وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُورًا إِذَا لَمْ نَجِدِ الْمَاءَ
Kami diberi kelebihan di atas manusia lainnya dengan tiga hal: Shaf kami dijadikan seperti shaf malaikat. Bumi semuanya bagi kami dijadikan masjid. Tanahnya dijadikan bagi kami alat bersuci apabila kami tidak menemukan air (Shahih Muslim kitab al-masajid no. 1193).
Sementara hadits ‘Ali ibn Abi Thalib, dituliskan dalam Musnad Ahmad pada bab musnad ‘Ali ibn Abi Thalib no. 724 dan 1291. Redaksi lengkapnya:
أُعْطِيتُ مَا لَمْ يُعْطَ أَحَدٌ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا هُوَ قَالَ نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ وَأُعْطِيتُ مَفَاتِيحَ الْأَرْضِ وَسُمِّيتُ أَحْمَدَ وَجُعِلَ التُّرَابُ لِي طَهُورًا وَجُعِلَتْ أُمَّتِي خَيْرَ الْأُمَمِ
“Aku diberi beberapa hal yang tidak diberikan kepada seorang (nabi) pun.” Kami bertanya: “Wahai Rasulullah saw, apakah itu?” Beliau menjawab: “Aku ditolong dengan rasa takut (musuh), aku diberi kunci-kunci perbendaharaan bumi, aku diberi nama Ahmad, tanah dijadikan alat bersuci untukku, dan umatku dijadikan umat terbaik.”
Dari data matan hadits sebagaimana tersaji di atas, diketahui bahwa sabda Nabi saw di hadits awal: “Aku diberi lima perkara,” tidak menunjukkan hanya lima. Ini sebatas menginformasikan di antaranya ada lima keistimewaan yang diberikan kepada Nabi Muhammad saw yang tidak diberikan kepada Nabi lainnya. Sebab dari tiga hadits di atas saja diketahui ternyata ada sembilan keistimewaan yang diterima Nabi saw; lima yang pertama di hadits awal ditambah shaf seperti shaf malaikat, diberi kunci-kunci perbendaharaan bumi, diberi nama Ahmad, dan umatnya dijadikan umat terbaik. Jika ditambah lagi dengan hadits Abu Hurairah riwayat Muslim maka keistimewaan Nabi saw dibanding Nabi lainnya setidaknya ada 11; sembilan yang sudah disebut ditambah dengan diberi jawami’ul-kalim (kemampuan berbicara singkat padat makna) dan dijadikan Nabi penutup sampai akhir zaman. Hadits Abu Hurairah yang dimaksud adalah:
فُضِّلْتُ عَلَى الأَنْبِيَاءِ بِسِتٍّ أُعْطِيتُ جَوَامِعَ الْكَلِمِ وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ وَأُحِلَّتْ لِىَ الْغَنَائِمُ وَجُعِلَتْ لِىَ الأَرْضُ طَهُورًا وَمَسْجِدًا وَأُرْسِلْتُ إِلَى الْخَلْقِ كَافَّةً وَخُتِمَ بِىَ النَّبِيُّونَ
Aku diberi keutamaan di atas Nabi-nabi yang lain dengan enam hal: Aku diberi jawami’ul-kalim, aku ditolong dengan rasa takut (musuh), dihalalkan bagiku ghanimah, dijadikan untukku bumi (tanah) sebagai alat bersuci dan masjid, aku diutus untuk semua makhluk, dan para Nabi ditutup dengan kehadiranku (Shahih Muslim kitab al-masajid bab muqaddimah no. 1195).
Dari hadits Abu Hurairah ini diketahui juga bahwa Nabi saw tidak diutus hanya untuk seluruh manusia saja, melainkan juga kepada seluruh makhluk, termasuk bangsa jin.
Syarah Hadits
Dalam konteks tayammum, hadits-hadits di atas merupakan penafsiran yang jelas dari lafazh fa tayammamu sha’idan thayyiban; bertayammumlah dengan sha’id yang baik dalam QS. an-Nisa` [4] : 43 dan al-Ma`idah [5] : 6. Maksudnya, sha’idan thayyiban itu adalah al-ardlu (bumi) dan at-turab (tanah), atau tanah yang ada dan berasal dari bumi.
Dalam konteks makna sha’idan thayyiban itu sendiri, ada ikhtilaf di kalangan para ulama salaf. Abu ‘Ubaidah menjelaskan bahwa sha’id adalah wajhul-ardl; permukaan bumi. Az-Zajjaj menyatakan: “Aku tidak tahu adanya perbedaan pendapat di kalangan ahli bahasa bahwa sha’id itu adalah permukaan bumi, baik itu ada tanahnya atau tidak.” Maka dari itu, menurut az-Zajjaj, dalam al-Qur`an ada lafazh sha’idan juruzan; permukaan yang tandus (QS. 18 : 8) dan sha’idan zalaqan; permukaan yang licin (QS. 18 : 40). Disebut sha’id (makna asalnya ‘naik’) karena memang ia adalah ujung dari bagian bumi yang naik ke permukaan. Sementara Qatadah menyatakan bahwa sha’id adalah bagian bumi yang tidak ada pepohonan dan tanaman. ‘Amr ibn Qais menyatakan bahwa sha’id adalah tanah. Dan Ibn Zaid menjelaskan bahwa sha’id adalah permukaan bumi yang rata (Fathul-Bari bab qaulihi wa in kuntum mardla au ‘ala safar).
Maka dari itu tidak heran jika kemudian di kalangan fuqaha pun ada perbedaan pendapat terkait alat bersuci apa yang bisa digunakan dalam tayammum. Imam Malik misalnya menjelaskan bahwa sha’id itu adalah semua yang ada di permukaan bumi, baik itu tanah, pasir, kerikil, batu, pohon atau tumbuhan. Semuanya bisa digunakan tayammum. Sementara Imam Abu Hanifah menjelaskan bahwa sha’id itu adalah tanah dan yang sejenisnya seperti pasir, warangan (zarnikh), dan kapur (nurah). Imam as-Syafi’i dan Ahmad ibn Hanbal menyatakan bahwa maksud sha’id itu adalah tanah, bukan yang lainnya, berdasarkan hadits-hadits yang menjelaskan tayammum itu dengan tanah. Maka dari itu, para ulama dua madzhab terakhir ini menjelaskan maksud dari sha’idan zalaqan (QS. 18 : 40) itu adalah ‘tanah yang licin’ (Tafsir Ibn Katsir surat an-Nisa` [4] : 43). Bukan permukaan yang licin tanpa tanah sebagaimana dikemukakan az-Zajjaj di atas. Sebab memang konteks ayatnya sedang bercerita tentang permukaan bumi yang asalnya kebun lebat dan kemudian dijadikan sha’idan zalaqan, artinya ada tanahnya.
Dalam hal ini, al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan dalam Fathul-Bari:
الصَّوَابُ أَنَّ الصَّعِيدَ وَجْهُ الْأَرْضِ الْمُسْتَوِيَةِ الْخَالِيَةِ مِنَ الْغَرْسِ والنبات وَالْبِنَاءِ وَأَمَّا الطَّيِّبُ فَهُوَ الَّذِي تَمَسَّكَ بِهِ مَنِ اشْتَرَطَ فِي التَّيَمُّمِ التُّرَابَ لِأَنَّ الطَّيِّبَ هُوَ التُّرَابُ الْمُنْبِتُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى وَالْبَلَدُ الطَّيِّبُ يَخْرُجُ نَبَاتُهُ بِإِذْنِ رَبِّهِ وروى عبد الرَّزَّاق من طَرِيق بن عَبَّاسٍ الصَّعِيدُ الطَّيِّبُ الْحَرْثُ
Yang benar, sha’id itu adalah permukaan bumi yang rata dan kosong dari tanaman, tumbuhan, dan bangunan. Adapun maksud thayyib, itulah yang dijadikan pegangan oleh ulama yang mensyaratkan tayammum harus dengan tanah. Sebab thayyib maknanya adalah tanah yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Allah ta’ala dalam hal ini berfirman: “Dan negeri yang thayyib, tanamannya tumbuh dengan izin Rabbnya.”—al-A’raf [7] : 58—. ‘Abdurrazzaq meriwayatkan dari sanad Ibn ‘Abbas, ia berkata bahwa sha’id thayyib itu adalah ladang (Fathul-Bari bab qaulihi wa in kuntum mardla au ‘ala safar).
Masih dalam Fathul-Bari bab tayammum, al-Hafizh menjelaskan juga:
وَأَنَّ الْأَظْهَرَ اشْتِرَاطُ التُّرَابِ وَيَدُلُّ عَلَيْهِ قَوْلُهُ تَعَالَى فَامْسَحُوا بِوُجُوْهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ فَإِن الظَّاهِر أَنَّهَا للتَّبْعِيض
Sungguh yang jelas itu mensyaratkan tanah (sebagai alat bersuci tayammum). Dalilnya firman Allah ta’ala: “Usaplah wajah dan tangan kalian dari sha’id itu.”—QS. al-Ma`idah [5] : 6—Sungguh jelas bahwa maksudnya dengan sebagian sha’id itu (Fathul-Bari bab al-mutayammim hal yanfukhu fihima).
Maksudnya, ayat dalam surat al-Ma`idah itu jelas menunjukkan bahwa sha’id itu harus dipakai untuk mengusap wajah dan tangan. Artinya sha’id itu harus menempel di telapak tangan. Al-Hafizh menjelaskan lebih lanjut bahwa ayat di atas tidak mungkin diberlakukan pada batu, pohon, tanaman, dan lainnya selain tanah, sebab hanya tanah yang mungkin menempel di telapak tangan dan bisa diusapkan ke wajah dan tangan.
Lebih jelas lagi dengan hadits yang akan dibahas berikutnya dimana Nabi saw menyatakan: “Sebenarnya cukup bagimu berbuat dengan kedua tanganmu seperti ini.” Beliau menepukkan kedua tangannya ke tanah satu kali, kemudian mengusapkan telapak tangan kiri pada telapak tangan kanan dan punggung kedua telapak tangannya, juga wajahnya.” (Bulughul-Maram no. 139). Dalam riwayat lain: “Beliau menepukkan kedua telapak tangannya pada tanah lalu meniupnya, kemudian mengusap dengan kedua telapak tangannya itu pada wajah dan kedua telapak tangannya.” (Bulughul-Maram no. 140). Apa yang beliau contohkan jelas ditujukan pada tanah. Pernyataan “beliau meniupnya” itu juga isyarat yang jelas bahwa tayammum itu dengan tanah.
‘Allamah ar-Raghib al-Ashfahani membenarkan juga makna sha’id untuk ghubar; debu, sebab ghubar juga berasal dari tanah. Maka bagi yang bertayammum debu itu pun harus menempel di telapak tangan yang akan digunakan mengusap wajah dan tangan (Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur`an).
Hadits Hudzaifah riwayat Muslim di atas, dimana Nabi saw bersabda sendiri dengan jelas: “Tanahnya dijadikan bagi kami alat bersuci apabila kami tidak menemukan air,” menegaskan persyaratan tayammum ketika tidak ditemukan air. Baik itu ketika safar atau tidak. Wal-‘Llahu a’lam.