-
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فِي قَوْلِهِ {وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ} قَالَ: إِذَا كَانَتْ بِالرَّجُلِ اَلْجِرَاحَةُ فِي سَبِيلِ اللهِ وَالْقُرُوحُ فَيُجْنِبُ, فَيَخَافُ أَنْ يَمُوتَ إِنِ اغْتَسَلَ: تَيَمَّمَ. رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ مَوْقُوفًا وَرَفَعَهُ اَلْبَزَّارُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالْحَاكِمُ
Dari Ibnu ‘Abbas—semoga Allah meridlai mereka berdua—tentang firman Allah awj: [jika kamu sakit atau sedang safar] ia berkata: “Apabila seseorang terluka di jalan Allah dan cedera, lalu ia junub, tetapi ia takut mati jika mandi, maka ia boleh bertayammum.” Ad-Daraquthni meriwayatkannya secara mauquf (pernyataan shahabat), tetapi al-Bazzar meriwayatkannya secara marfu’ (dinyatakan dari Nabi saw). Ibn Khuzaimah dan al-Hakim menshahihkannya.
Takhrij Hadits
Imam ad-Daraquthni menuliskan atsar Ibn ‘Abbas di atas dalam Sunan ad-Daraquthni kitab at-thaharah bab at-tayammum no. 690. Sementara Imam al-Bazzar menuliskan riwayat yang marfu’ dalam Musnad al-Bazzar bab musnad Ibn ‘Abbas no. 5057. Ibn Khuzaimah menuliskannya dalam Shahih Ibn Khuzaimah kitab al-wudlu bab ar-rukhshah fit-tayammum al-majdur wal-majruh no. 272. Dan al-Hakim menuliskannya dalam al-Mustadrak kitab at-thaharah no. 542.
Imam al-Bazzar menjelaskan kedudukan hadits di atas sebagai berikut:
وَهَذَا الْحَدِيْثُ لاَ نَعْلَمُهُ يُرْوَى بِهَذَا اللَّفْظِ إِلاَّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ، وَلاَ نَعْلَمُ أَسْنَدَ هَذَا الْحَدِيْثَ رَجُلٌ ثِقَةٌ عَنْ عَطَاءِ بْنِ السَّائِبِ غَيْرُ جَرِيْرٍ
Hadits ini kami tidak mengetahuinya diriwayatkan dengan redaksi ini kecuali dari Ibn ‘Abbas dengan sanad ini. Kami juga tidak mengetahui ada rawi tsiqat yang mengisnadkan (menyandarkannya sebagai riwayat yang datang dari Rasul saw) hadits ini dari ‘Atha` ibn as-Sa`ib selain Jarir.
Penjelasan dari al-Bazzar ini jelas penting untuk disampaikan olehnya mengingat Jarir menerima riwayat dari ‘Atha` ibn as-Sa`ib ketika ia sudah ikhtilath (pikun). Sebagaimana dikemukakan oleh Yahya ibn Ma’in dan dikutip oleh Ibn Hajar dalam at-Talkhishul-Habir, Jarir menerima riwayat dari ‘Atha` ketika ia sudah berubah drastis hafalannya di usia tua (at-Talkhishul-Habir kitab at-tayammum no. 199). Hal yang sama dikemukakan juga oleh Imam Ahmad ibn Hanbal. Sebagaimana dikutip oleh adz-Dzahabi, Imam Ahmad menyatakan:
قَالَ أَحْمَدُ بنُ حَنْبَلٍ: عَطَاءٌ ثِقَةٌ ثِقَةٌ، رَجُلٌ صَالِحٌ. وَقَالَ: مَنْ سَمِعَ مِنْهُ قَدِيْماً كَانَ صَحِيْحاً، وَمَنْ سَمِعَ مِنْهُ حَدِيْثاً لَمْ يَكُنْ بِشَيْءٍ. سَمِعَ مِنْهُ قَدِيْماً: شُعْبَةُ، وَسُفْيَانُ. وَسَمِعَ مِنْهُ حَدِيْثاً: جَرِيْرٌ، وَخَالِدُ بنُ عَبْدِ اللهِ، وَإِسْمَاعِيْلُ، وَعَلِيُّ بنُ عَاصِمٍ. وَكَانَ يَرْفَعُ عَنْ سَعِيْدِ بنِ جُبَيْرٍ أَشْيَاءَ لَمْ يَكُنْ يَرْفَعُهَا.
Ahmad ibn Hanbal berkata: ‘Atha` itu tsiqah tsiqah, orang shalih. Siapa yang belajar darinya pada masa terdahulu maka itu shahih. Tetapi siapa yang belajar darinya pada masa belakangan, tidak bernilai apa-apa. Yang belajar darinya pada masa terdahulu adalah Syu’bah dan Sufyan. Sementara yang belajar darinya pada masa belakangan adalah Jarir, Khalid ibn ‘Abdillah, Isma’il dan ‘Ali ibn ‘Ashim. Ia juga banyak memarfu’kan riwayat dari Sa’id ibn Jubair yang sebenarnya tidak marfu’ (Siyar A’lamin-Nubala` tabi’ at-thabaqah ar-rabi’ah no. 30).
Berdasarkan data-data di atas maka keshahihan hadits/atsar di atas diragukan. Penilaian shahih dari Ibn Khuzaimah dan al-Hakim—mengingat sikap toleran mereka yang cukup longgar kepada para rawi—kemungkinan besar didasarkan pada kualitas dasar dari Jarir dan ‘Atha` ibn as-Sa`ib sebagai rawi yang tsiqah.
Syarah Hadits
Hadits/atsar di atas dijadikan dalil oleh madzhab Syafi’i bahwa orang yang sakit boleh bertayammum jika ia takut bahaya atas dirinya meski ada air. Imam ar-Rafi’i menjelaskan dalam kitab al-‘Aziz Syarhul-Wajiz/as-Syarhul-Kabir sebagai berikut:
اَلْمَرَضُ مُبِيْحٌ لِلتَّيَمُّمِ فِي الْجُمْلَةِ قَالَ اللهُ تَعَالَى (وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ) إَلَى قَوْلِهِ (فَلَمْ تَجِدُوْا مَاءً فَتَيَمَّمُوْا) نُقِلَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ الْمَعْنَى وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى فَتَيَمَّمُوْا وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاءً فَتَيَمَّمُوْا. ثُمَّ هُوَ عَلَى ثَلاَثَةِ أَقْسَامٍ أَوَّلُهَا الْمَرَضُ الَّذِي يَخَافُ مِنَ الْوُضُوْءِ مَعَهُ فَوْتَ الرُّوْحِ أَوْ فَوْتَ عُضْوٍ أَوْ فَوْتَ مَنْفَعَةِ عُضْوٍ فَيُبِيْحُ التَّيَمُّمَ. نُقِلَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي تَفْسِيْرِ الْآيَةِ إِذَا كَانَ بِالرَّجُلِ جِرَاحَةٌ فِي سَبِيْلِ اللهِ أَوْ قُرُوْحٌ أَوْ جُدَرِيٌّ فَيُجْنِبُ وَيَخَافُ أَنْ يَغْتَسِلَ فَيَمُوْتَ يَتَيَمَّمُ بِالصَّعِيْدِ. وَأُلْحِقَ بِهَذَا النَّوْعِ مَا إِذَا خَافَ مَرَضًا مَخُوْفًا وَكَذَا لَوْ كَانَ بِهِ مَرَضٌ لاَ يَخَافُ مِنِ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ مَعَهُ التَّلَفَ لَكِنْ يَخَافُ مِنِ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ مَعَهُ حُدُوْثَ الْمَرَضِ الْمَخُوْفِ
Orang yang sakit itu boleh tayammum dalam kondisi bagaimanapun juga. Allah ta’ala berfirman: “Dan jika kamu sakit atau sedang safar…lalu tidak menemukan air maka bertayammumlah). Diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas bahwasanya makna ayat itu: “Jika kalian sakit maka bertayammumlah, dan jika kami sedang safar lalu tidak menemukan air, maka bertayammumlah.”
Kemudian kondisi ini ada tiga macam. Pertama, sakit yang ditakutkan jika berwudlu akan hilang ruh, anggota badan, atau kemanfaatan anggota badan, maka boleh tayammum. Diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas dalam hal penafsiran ayat di atas: Apabila seseorang terluka di jalan Allah, cedera, atau bisul, lalu ia junub, tetapi ia takut mati jika mandi, maka ia boleh bertayammum dengan sha’id.”
Dikategorikan juga dalam ketakutan ini apabila seseorang takut sakit parah. Demikian juga seseorang yang sedang sakit, ia sebenarnya tidak takut mati jika menggunakan air, tetapi takut adanya penyakit baru yang juga parah (as-Syarhul-Kabir 1 : 218).
Imam an-Nawawi menyatakan hal yang sama. Selain dalil dari Ibn ‘Abbas di atas, menurutnya hadits ‘Amr ibn al-‘Ash dan orang yang terluka di kepalanya, menguatkan fiqih bahwa orang yang sakit boleh bertayammum meski ada air.
Hadits tentang orang yang terluka di kepalanya adalah hadits Jabir tentang shahabat yang terluka di kepalanya lalu ia meninggal setelah mandi junub. Itu terjadi setelah ia bertanya kepada temannya dan mendapatkan jawaban tetap harus mandi. Rasul saw menyalahkannya dan menyatakan bahwa orang yang sakit cukup tayammum meski ada air. Hadits ini dituliskan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Bulughul Maram pada hadits no. 147 dan akan dibahas pada kajian selanjutnya.
Sementara hadits ‘Amr ibn al-‘Ash diriwayatkan oleh Abu Dawud. Berikut matan lengkapnya:
عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ احْتَلَمْتُ فِى لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ فِى غَزْوَةِ ذَاتِ السَّلاَسِلِ فَأَشْفَقْتُ إِنِ اغْتَسَلْتُ أَنْ أَهْلِكَ فَتَيَمَّمْتُ ثُمَّ صَلَّيْتُ بِأَصْحَابِى الصُّبْحَ فَذَكَرُوا ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ فَقَالَ: يَا عَمْرُو صَلَّيْتَ بِأَصْحَابِكَ وَأَنْتَ جُنُبٌ. فَأَخْبَرْتُهُ بِالَّذِى مَنَعَنِى مِنَ الاِغْتِسَالِ وَقُلْتُ إِنِّى سَمِعْتُ اللَّهَ يَقُولُ (وَلاَ تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا) فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا.
Dari ‘Amr ibn al-‘Ash, ia berkata: “Aku ihtilam pada suatu malam yang sangat dingin pada waktu perang Dzatus-Salasil. Aku takut jika aku mandi aku binasa/mati. Maka aku tayammum lalu shalat Shubuh bersama shahabat-shahabatku. Lalu mereka melaporkan hal ini kepada Nabi saw. Beliau bertanya: “Hai ‘Amr, kamu berani shalat bersama shahabatmu dalam keadaan junub?” Maka aku beritahukan kepada beliau yang menyebabkanku tidak mandi, dan aku berkata: “Sungguh aku mendengar Allah berfirman: ‘Janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada kalian’. Lalu Rasulullah saw tersenyum dan tidak berkata sepatah kata pun.” (Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab idza khafal-junub al-barad a tayammama no. 334)
Terkait hadits ‘Amr di atas, Imam al-Bukhari mengutipnya dalam salah satu tarjamah di kitab Shahih al-Bukhari sebagai berikut:
بَاب إِذَا خَافَ الْجُنُبُ عَلَى نَفْسِهِ الْمَرَضَ أَوْ الْمَوْتَ أَوْ خَافَ الْعَطَشَ تَيَمَّمَ وَيُذْكَرُ أَنَّ عَمْرَو بْنَ الْعَاصِ أَجْنَبَ فِي لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ فَتَيَمَّمَ وَتَلَا{وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا}فَذَكَرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ
Bab: Apabila orang yang junub takut sakit, mati, atau takut kehausan, ia boleh tayammum. Diriwayatkan bahwa ‘Amr ibn al-‘Ash junub dalam satu malam yang sangat dingin bertayammum dan berdalil dengan ayat: ‘Janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada kalian’ Lalu ia melaporkannya kepada Nabi saw dan beliau tidak menyalahkannya.
Dari dalil-dalil di atas ini, Imam an-Nawawi menyatakan tidak setuju pada pendapat para ulama yang tetap pada pendapat bahwa orang sakit hanya boleh tayammum jika tidak menemukan air sebagaimana zhahirnya ayat tayammum (QS. an-Nisa` [4] : 43 dan al-Ma`idah [5] : 6).
وَحَكَى أَصْحَابُنَا عَنْ عَطاَءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ وَالْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ أَنَّهُمَا قَالاَ لاَ يَجُوْزُ التَّيَمُّمُ لِلْمَرِيْضِ إِلاَّ عِنْدَ عَدَمِ الْمَاءِ لِظَاهِرِ الْآيَةِ. دَلِيْلُنَا مَا سَبَقَ مِنْ تَفْسِيْرِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَحَدِيْثُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ وَحَدِيْثُ الرَّجُلِ الَّذِى أَصَابَتْهُ الشُّجَّةُ وَغَيْرُهُ مِنَ الْأَدِلَّةِ الظَّاهِرَةِ: وَأَمَّا الْآيَةُ فَحُجَّةٌ لَنَا وَتَقْدِيْرُهَا وَاللهُ أَعْلَمُ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى فَعَجِزْتُمْ أَوْ خِفْتُمْ مِنِ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ أَوْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاءً فَتَيَمَّمُوْا.
Para ulama madzhab kami (Syafi’i) menceritakan dari ‘Atha` ibn Abi Rabah dan al-Hasan al-Bashri bahwa mereka berdua menyatakan orang yang sakit tidak boleh tayammum kecuali jika tidak menemukan air, berdasarkan zhahirnya ayat. Sementara dalil (argumentasi) kami sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya adalah tafsir Ibn ‘Abbas (atas ayat tayammum sebagaimana hadits di awal—pen), hadits ‘Amr ibn al-‘Ash, hadits orang yang terluka di kepalanya, dan dalil-dalil zhahir lainnya. Adapun ayat tayammum tersebut, maka itu juga hujjah bagi kami. Hanya penafsirannya—wal-‘Llahu a’lam—“jika kalian sedang sakit, lalu kalian tidak mampu atau takut dari menggunakan air, atau kalian sedang safar lalu tidak menemukan air, maka bertayammumlah (al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab fashl fil-aghsalil-masnunah 2 : 258).
Dari data-data dalil di atas, Syaikh al-Albani juga pada akhirnya menilai penafsiran Ibn ‘Abbas dalam hadits di awal itu berstatus hasan li ghairihi. Sebab dikuatkan oleh hadits Jabir dan ‘Amr ibn al-‘Ash (Shahih Abi Dawud bab al-majruh yatayammum no. 365).
Dari uraian di atas jelaslah bahwa berdasarkan dalil-dalil yang ada, orang yang sakit boleh tayammum meski ada air, jika ia takut bertambah sakit atau tidak mampu mencari air. Wal-‘Llahu a’lam