وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar dari kesalahan-kesalahanmu (QS. as-Syura [42] : 30).
Al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitab Tafsirnya menjelaskan, ayat di atas jelas mengajarkan bahwa semua musibah yang menimpa pasti disebabkan oleh akibat keburukan yang diamalkan oleh manusia. Meski demikian Allah swt masih sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya, sebab tidak semua keburukan itu dibalas dengan musibah di dunia. Sebagian besarnya tetap Dia ampuni. Dalam ayat lain Allah swt menyatakan: Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melata pun akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu; maka apabila datang ajal mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya (QS. Fathir [35] : 45).
Ayat ini harus menjadi landasan aqidah dan pemikiran bagi setiap muslim agar tidak terjebak pada tipuan sekularisme. Sekularisme di satu sisi memang sudah berhasil melepaskan manusia dari alam takhayul dan mitos, khususnya terkait penyakit dan musibah, dengan mengalihkan mereka pada alam medis dan klinis. Akan tetapi faktanya kebablasan karena juga mengikis aqidah dan pemikiran. Setiap kali ada penyakit menimpa yang selalu menjadi perhatian utamanya adalah virus apa penyebabnya? Lalu apa obatnya? Demikian pula setiap kali ada musibah gempa bumi dan tsunami, lempengan apa yang menyebabkannya? Ayat di atas tegas mengajarkan bahwa musibah yang datang penyebab utamanya adalah perbuatan dosa manusianya, maka dari itu harus disikapi segera dengan bertaubat. Sebab musibah itu adalah siksa atas dosa-dosa yang telah dilakukan, maka dari itu harus disikapi dengan istighfar dan istirja’.
Tentunya bukan berarti meneliti penyebab duniawinya haram, atau meneliti obat penyakit yang bisa menyembuhkannya. Nabi saw sendiri mempersilahkan siapa yang mau berobat untuk berobat, asalkan jangan dengan yang haram. Akan tetapi semua usaha itu jangan memalingkan perhatian utama dari taubat atas dosa-dosa yang telah banyak dilakukan.
Ini harus menjadi akhlaq setiap muslim. Ketika musibah menimpa segera sempatkan waktu untuk muhasabah, dosa-dosa apa saja yang sudah terlanjur dianggap kebiasaan yang lumrah. Perbanyak istighfar sambil mengingat dosa yang tidak boleh terulang lagi di kemudian hari. Setelah itu kemudian bersabar menunggu taqdir Allah swt memberikan ganti yang terbaiknya, apakah itu kesembuhan atau pulihnya dari musibah seperti sedia kala. Bersabar yang dimaksud tentu bukan dengan hanya diam berpangku tangan, melainkan dengan berusaha seraya mengingat Allah bahwa itu semua sudah menjadi kehendaknya. Dengan demikian tidak akan ada merajuk, sedih berlebihan, apalagi mempertanyakan mengapa musibah itu terjadi. Sebab yang disebut terakhir ini semuanya termasuk dosa. Jadinya bukan bertaubat ketika musibah datang, malah menambah dosa lagi. Na’udzu bil-‘Llah