A. Pengertian Safar
Ibnu Manzhur dalam kamus Lisan Al-Arab menjelaskan bahwa safar itu berarti lawan dari kata hadhar (hadir) (Ibnu Manzhur. Lisan Al-Arab, jilid 4, hal. 367). Safar mengandung makna ketidakhadiran atau tidak berada di tempat (muqim) disebabkan pergi ketempat yang lain. Setelah dia pergi pada waktunya dia akan kembali. Setelah dia kembali dari perginya barulah dia hadir. Sedangkan menurut istilah yang biasa digunakan oleh ulama fiqih, safar berarti:
السفر: هو الخروج على قصد قطع مسافة القصر الشرعية فما
Safar : yaitu keluar dengan maksud melakukan perjalanan yang membolehkan untuk meng-qashar shalat secara syariat (al-‘Alamah Burhanuddin Abi al-‘Amali, al-Dzahirah al-Burhaniyyah_Dzahirah al-Fatawa fii Fiqh Madzhab al-Hanafi, tahqiq dr. Abu Ahmad al-‘Adi dkk, Juz 1 hal. 363, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, juz 25, hal. 26)
B. Keringanan dalam Shalat ketika Safar
Rukhshah (Keringanan) yang dimaksud adalah bolehnya melakukan jamak (baik berisifat taqdim / takhir) dan qashar (meringkas dari setiap shalat yang jumlahnya 4 rakaat menjadi 2 rakaat).
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُواْ إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُواْ لَكُمْ عَدُوًّا مُّبِينًا
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. An-Nisa: 101)
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata:
صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ لَا يَزِيدُ فِي السَّفَرِ عَلَى رَكْعَتَيْنِ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ كَذَلِكَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
“Aku pernah menemani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perjalanannya dan beliau tidak pernah mengerjakan shalat lebih dari dua rakaat. Demikian juga yang dilakukan oleh Abu Bakar, Umar, dan Utsman radhiyallahu ‘anhum.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
الصَّلاَةُ أَوَّلُ مَا فُرِضَتْ رَكْعَتَانِ فَأُقِرَّتْ صَلاَةُ السَّفَرِ وَأُتِمَّتْ صَلاَةُ الْحَضَرِ
“Ketika shalat pertama kali diwajibkan adalah dua rakaat. Lalu dua rakaat tersebut ditetapkan sebagai shalat safar sedangkan dan ( menjadi empat rekaat) untuk shalat orang yang sedang muqim.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata:
إِنَّ اللهَ فَرَضَ الصَّلَاةَ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكُمْ عَلَى الْمُسَافِرِ رَكْعَتَيْنِ وَعَلَى الْمُقِيمِ أَرْبَعًا وَفِي الْخَوْفِ رَكْعَةً
“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah mewajibkan melalui lisan Nabi kalian bagi musafir shalat dua rekat (qashar), dan bagi orang yang mukim empat rekaat, dan shalat khauf satu rekaat.” (HR. Muslim)
C. Perbedaan Pendapat Jarak Minimal Bolehnya Qashar bagi Musafir
Ada beberapa perbedaan persepsi tentang jarak minimal sebuah perjalanan sehingga bisa disebut dengan safar dan dibolehkan untuk meng-qashar shalat bagi musafir. Perbedaan tersebut muncul karena adanya perbedaan standar alat ukur jarak yang ada pada tiap zaman dan standar metodologi yang digunakan.
- Penentuan jarak minimal safar dengan ukuran hari
Sebuah perjalanan disebut sebagai safar dan berlaku syariat qashar shalat ketika perjalanan tersebut telah mencapai durasi tiga hari perjalanan. Berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
جَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ-صلى الله عليه وسلم-ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ (مسلم 276)
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tiga hari tiga malam sebagai jangka waktu mengusap khuf bagi musafir, sedangkan sehari semalam untuk mukim.” (HR. Muslim no. 276)
Ada juga ulama yang mengatakan minimal satu hari penuh perjalanan. Ini adalah pendapat al-Auza’I dan Ibnu Mundzir (Al-Ausath, Ibnu Mundzir, 4/350). Pendapat ini didasarkan pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ يَحِلُّ لامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا حُرْمَةٌ
“Seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak boleh melakukan safar sejauh sehari semalam perjalanan tanpa mahram.” (HR. Al-Bukhari & Muslim)
Maksud dari ‘tiga hari perjalanan’ dalam hadits di atas adalah perjalanan dengan mengendarai unta atau dengan berjalan kaki, bukan dengan mobil, sepeda motor, pesawat, atau alat transportasi modern lainnya.
Bahkan, menurut pendapat mazhab hanafi, jika saja perjalanan menggunakan unta atau berjalan kaki tersebut bisa lebih cepat mencapai tujuan yang biasanya ditempuh dalam tiga hari, baru dua hari sudah sampai tujuan misalnya, boleh untuk qashar shalat bagi musafir. (Bada-I’ ash-Shana-I’, 1/93, Ad-Durrul Mukhtar, 2/1233)
Penetuan jarak minimal dengan standar hari sebagai durasi perjalanan ini barangkali memang pada saat itu belum ada alat ukur jarak secanggih alat ukur jarak jaman sekarang.
- Penentuan jarak minimal safar dengan definisi etimologi
Penentuan jarak safar dengan metode ini menyatakan bahwa baik perjalanan itu jauh atau dekat, itu sudah cukup disebut dengan safar. Ulama yang menggunakan metode ini adalah mazhab Zahiri dan sebuah pendapat Ibnu Qudamah al-Maqdisi dari mazhab Hanbali.
Metode ini didasarkan dari pemahaman ayat,
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُواْ إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُواْ لَكُمْ عَدُوًّا مُّبِينًا
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat (mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. An-Nisa: 101)
Mazhab yang meyakini metode ini memahami bahwa istilah dharabtum fil ardhi dalam ayat di atas tidak memiliki taqyid, pengikat. Artinya, tidak ada nash khusus yang menjelaskan dengan pasti makna istilah itu; seberapa batas minimal jarak perjalanan sehingga disebut dengan safar.
Sehingga, dalam metode tafsir ayat, jika tak ditemui alat penafsiran lain maka pemahaman terhadap sebuah istilah dalam ayat dikembalikan kepada makna bahasa. Dalam hal ini, menurut pendapat Zahiri, definisi bahasa (etimologi) dari istilah safar adalah ‘Perjalanan yang melebihi satu mil’.
Dengan demikian, menurut pemahaman mazhab ini, syariat qashar shalat bagi musafir tidak berlaku jika jarak perjalanannya kurang dari 1 mil. (Al-Muhalla, 3/212-215)
- Penentuan jarak minimal safar dengan standar urf/adat
Tentang masalah penentuan jarak minimal sebuah perjalanan bisa disebut dengan safar dan mulai dibolehkan qashar shalat bagi musafir, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah lebih cenderung kepada penggunaan standar Urf/adat masing-masing daerah.
Mengapa beliau menjadikan Urf sebagai dalil penentuan batas minimal jarak safar? Sebab, menurut beliau istilah safar ini memang tidak ada nash yang secara jelas digunakan sebagai dalil untuk memaknai seberapa ketentuan jarak minimalnya. Syaikh Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
كُلُّ اِسْمٍ لَيْسَ لَهُ حَدٌّ فِي اللُّغَةِ وَلَا فِي الشَّرْعِ فَالْمَرْجَعُ فِيْهِ إِلَى الْعُرْفِ، فَمَا كَانَ سَفَرًا فِي عُرْفِ النَّاسِ فَهُوَ السَّفَرُ الَّذِي عَلَقَ بِهِ الشَّارِعُ اَلْحُكْمَ. (مجموع الفتاوى 24/40-43)
“Setiap nama yang tidak memiliki batasan makna yang jelas dari segi etimologis dan dari segi definisi syar’i (termiologis) maka dikembalikan pemaknaannya kepada ‘Urf/adat. Sehingga, jika sebuah perjalanan sudah dianggap sebagai ‘Safar’ dalam ‘Urf/adat kaum wilayah tertentu, maka itulah definisi ‘Safar’ yang memiliki niai hukum secara syar’i.” (Majmu’ al-Fatawa, Syaikh Ibnu Taimiyah, 24/40-43)
Beliau juga menunjukkan adanya beberapa pengikut mazhab Imam Ahmad yang membolehkan qashar shalat bagi musafir baik itu jarak dekat ataupun jauh. Sebab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pun juga tidak pernah menentukan batasan bolehnya qashar shalat bagi musafir baik dengan batasan jarak perjalanan atau durasi waktu perjalanan. Dan menurut beliau, inilah pendapat mayoritas para ulama Salaf dan Khalaf yang paling mendekati kebenaran pada sisi pendalilannya. (Majmu’ al-Fatawa, Syaikh Ibnu Taimiyah, 24/155)
- Penentuan jarak minimal safar dengan standar ukuran satuan jarak
Yaitu dengan menggunakan ukuran jarak dengan satuan ukuran tertentu. Dalam hal ini, jarak minimal sebuah perjalanan bisa disebut dengan ‘safar’ adalah 4 burud. Ini adalah pendapat jumhur dari mayoritas ulama mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. (Mawahibul Jalil. 2/140. Nihayatul Muhtaj, 2/257. Kasyaful Qina’, 1/5044)
Satu burud/barid sama jaraknya dengan perjalanan setengah hari. Jika dikonversikan dengan satuan jarak modern, 1 Burud sama dengan 81-88 km. (Syarh al Mumti’, 6/342. Fiqhul Islam wa Adillatuhu, 2/477. Minhatul ‘Allam, 3/4655)
Dari beberapa pendapat terkait standar penentuan jarak di atas bukanlah ketentuan yang sifatnya baku dan mutlak, mengingat tidak ditemukannya nash yang secara jelas menjadi dalil penentuannya. Ini adalah pembahasan fikih yang menjadi ranah ijtihad para ulama sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pendapat manapun yang dipilih dan diyakini memiliki argumentasi paling kuat, boleh untuk diamalkan.
Sehingga, jarak berapapun yang mendekati ukuran itu atau lebih jauh dari itu boleh dijadikan alasan qashar shalat bagi musafir. Namun tetap, jika kurang dari jarak minimal yang dibahas oleh para ulama, tidak boleh qashar shalat bagi musafir. Inilah pendapat mayoritas ulama fikih. Adapaun jarak minimal terdekat adalah sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Al-Jama’ah.
Berikut teks dari kitab Shahih al-Bukhari, Bab mengqashar shalat, juz 2 halaman 43 no. 1.089
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: صَلَّيْتُ الظُّهْرَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا وَبِذِي الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ .
Dari Anas, ia berkata, “Saya salat dzuhur empat raka’at bersama Nabi di Madinah dan salat asar di Dzulhulaifah dua raka’at.” H.r. Al-Jama’ah
Hadis ini menjadikan dalalah Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam melakukan qashar ditempat yang bernama Dzulhulaifah. Sedangkan dari Madinah ke Dzulhulaifah jaraknya lebih kurang 3 mil atau sekitar 5 km.
Dengan demikian, safar yang mendapatkan rukhshah qashar tidak kurang dari 3 mil.
Wallaahu A’lam
Dewan Kajian Masa`il:
Nashruddin Syarief, Robi Permana, Iwan Abu ‘Ayyasy, Irsyad Taufieq Rahman, Achmad Nurdiyansyah, Oman Warman, Muhammad Atim, Husna Hisaba Kholid, Saeful Japar Sidik, Fauzy Barokah Ramdani, Iwan Ridwan