ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
Demikianlah (perintah Allah). Dan siapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati. (QS. Al-Hajj [22] : 32)
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
Daging-daging qurban dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya (QS. Al-Hajj [22] : 37)
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
Sesungguhnya Allah hanya menerima (qurban) dari orang-orang yang bertaqwa (QS. al-Ma`idah [5] : 27)
Tiga ayat yang dikutip di atas menjelaskan kedudukan taqwa dalam ibadah qurban. Ayat yang pertama secara khusus menjelaskan bagaimana cara mewujudkan taqwa dalam ibadah qurban. Sementara dua ayat terakhir menegaskan bahwa ibadah qurban yang akan diterima adalah ibadah qurban yang bernilai taqwa. Terbaca jelas urgensi taqwa dalam ibadah qurban, sebab itulah esensi dari ibadah qurban itu sendiri.
Taqwa sebagaimana dijelaskan oleh ‘Allamah ar-Raghib al-Ashfahani:
والتَّقْوَى جَعْلُ النَّفْسِ فِي وِقَايَةٍ مِمَّا يَخَافُ هَذَا تَحْقِيْقُهُ…وَصَارَ التَّقْوَى في تَعَارُفِ الشَّرْعِ حِفْظُ النَّفْسِ عَمَّا يُؤْثَمُ، وَذَلِكَ بِتَرْكِ الْمَحْظُوْرِ وَيَتِمُّ ذَلِكَ بِتَرْكِ بَعْضِ الْمُبَاحَاتِ
Taqwa adalah menjadikan diri berada dalam perlindungan dari apa yang ditakuti. Ini adalah makna intinya… Dalam istilah syari’at taqwa adalah menjaga diri dari perbuatan dosa, yaitu dengan meninggalkan perbuatan yang dilarang. Dan akan sempurna hal tersebut dengan meninggalkan sebagian hal yang mubah (al-Mufradat fi Gharibil-Qur`an).
Jadi taqwa intinya adalah “takut”. Ibadah qurban akan bernilai di sisi Allah swt jika disertai rasa takut dari para pengamalnya. Jika tanpa ada rasa takut dari diri para pengamalnya, maka ibadah qurban tidak akan diterima.
Wujud ketakutan dalam diri itu dijelaskan dalam ayat pertama di atas adalah dengan mengagungkan syi’ar Allah. Syi’ar, sebagaimana dijelaskan oleh ‘Allamah ar-Raghib, berasal dari kata sya’ara; sadar, tahu. Maksudnya adalah:
مَعَالِمُهُ الظَّاهِرَةُ لِلْحَوَاسِّ
Petunjuk-petunjuk yang jelas untuk dicerap oleh indera (al-Mufradat fi Gharibil-Qur`an).
Jika disandarkan pada Allah, maka maknanya adalah petunjuk yang jelas akan keberadaan dan keagungan Allah swt. Dalam al-Qur`an, yang termasuk syi’ar Allah swt adalah Shafa-Marwa (QS. 2 : 158), Masy’aril-Haram/Muzdalifah (QS. 2 : 198), semua hal yang berkaitan dengan Baitullah/Ka’bah (QS. 5 : 2), dan hewan qurban (QS. 22 : 36). Dalam ayat di atas, yang dimaksud syi’ar Allah swt adalah hewan qurban, sebab ayat-ayat yang dimulai dari ayat 26 s.d 36 surat al-Hajj menyoroti perihal ibadah qurban yang memang erat kaitannya dengan haji dan Baitullah. Keberadaan hewan-hewan itu merupakan petunjuk yang jelas akan keagungan sang pemberi rizqinya, Allah swt.
Cara mengagungkan syi’ar Allah swt yang dimaksud ayat pertama di atas, sebagaimana dijelaskan Ibn ‘Abbas adalah istisman; memilih hewan yang gemuk, istihsan; memilih yang terbaik, dan isti’zham; memilih yang besar (Tafsir Ibn Katsir QS. 22 : 32).
Penjelasan Ibn ‘Abbas di atas didasarkan pada dalil-dalil yang menjelaskan demikian. Di antaranya atsar Abu Umamah ra yang dituliskan oleh Imam al-Bukhari secara mu’allaq (tanpa menuliskan sanadnya).
قَالَ أَبُوْ أُمَامَةَ بْنُ سَهْلٍ كُنَّا نُسَمِّنُ الْأُضْحِيَّةَ بِالْمَدِينَةِ وَكَانَ الْمُسْلِمُونَ يُسَمِّنُونَ
Abu Umamah ibn Sahl berkata: “Kami biasa menggemukkan hewan qurban di Madinah. Demikian juga kaum muslimin lainnya.” (Shahih al-Bukhari kitab al-adlahi bab udlhiyyatin-Nabi saw).
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari menjelaskan bahwa atsar Abu Umamah ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab al-Mustakhraj dari jalan Ahmad ibn Hanbal, dari ‘Abbad ibn al-‘Awwam, dari Yahya ibn Sa’id, dari Abu Umamah ibn Sahl. Redaksinya:
كَانَ الْمُسْلِمُونَ يَشْتَرِي أَحَدهمْ الْأُضْحِيَّة فَيُسَمِّنهَا
Kaum muslimin itu masing-masing di antara mereka membeli hewan qurban lalu menggemukkannya (Fathul-Bari bab fi udlhiyyatin-Nabi saw).
Jadi titik tekannya di penggemukan, bukan sebatas membelinya. Bahkan generasi salaf tampak sengaja membelinya jauh sebelum waktu qurban, karena mereka hendak menggemukkannya terlebih dahulu.
Dalam riwayat lain, Anas ibn Malik ra menegaskan:
قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ كَانَ النَّبِيُّ يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ وَأَنَا أُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ
Anas ibn Malik ra berkata: “Nabi saw berqurban dengan dua kambing besar, dan saya pun berqurban dengan dua kambing besar.” (Shahih al-Bukhari bab fi udlhiyyatin-Nabi saw no. 5553).
Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan maksud hadits di atas:
فِي هَذِهِ زِيَادَة قَوْل أَنَس أَنَّهُ كَانَ يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ لِلِاتِّبَاعِ، وَفِيهَا أَيْضًا إِشْعَار بِالْمُدَاوَمَةِ عَلَى ذَلِكَ
Dalam riwayat ini ada tambahan pernyataan Anas bahwasanya ia berqurban dengan dua kambing besar sebagai bentuk ittiba’ (mengikuti Nabi saw). Dalam riwayat ini juga terdapat isyarat bahwa beliau merutinkan hal tersebut (Fathul-Bari bab fi udlhiyyatin-Nabi saw).
Artinya bahwa apa yang dilakukan Anas ibn Malik itu adalah ittiba’/mengikuti sunnah Nabi saw dalam hal merutinkan berqurban dengan dua kambing di setiap tahunnya. Bahkan bukan hanya dua kambing biasa, melainkan dua kambing besar dan gemuk, sebagaimana disebutkan Anas dalam sanad lain:
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ انْكَفَأَ إِلَى كَبْشَيْنِ أَقْرَنَيْنِ أَمْلَحَيْنِ فَذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ
Dari Anas: “Sesungguhnya Rasulullah saw memilih dua kambing besar yang bertanduk dan hitam putih bulunya, lalu beliau sembelih dengan tangannya sendiri.” (Shahih al-Bukhari bab fi udlhiyyatin-Nabi saw no. 5554)
Hadits tentang kebiasaan Nabi saw berqurban dengan dua kambing besar ini diriwayatkan juga oleh shahabat Abu Hurairah dan Jabir sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَة أَنَّ النَّبِيّ كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُضَحِّي اِشْتَرَى كَبْشَيْنِ عَظِيمَيْنِ سَمِينَيْنِ أَقْرَنَيْنِ أَمْلَحَيْنِ مَوْجُوءَيْنِ فَذَبَحَ أَحَدهمَا عَنْ مُحَمَّد وَآل مُحَمَّد وَالْآخَر عَنْ أُمَّته مَنْ شَهِدَ لِلَّهِ بِالتَّوْحِيدِ وَلَهُ بِالْبَلَاغِ
Dari Abu Hurairah: “Sesungguhnya Nabi saw apabila akan berqurban beliau membeli dua ekor kambing yang besar, gemuk, hitam putih bulunya, dan yang dikebiri. Beliau menyembelih yang satu untuk Muhammad dan keluarga Muhammad, dan yang satunya lagi untuk umatnya yang bersyahadat bahwa Allah esa dan bahwasanya beliau utusan yang menyampaikan risalah.” (Fathul-Bari bab fi udlhiyyatin-Nabi saw mengutip riwayat ‘Abdur-Razzaq).
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ ذَبَحَ النَّبِىُّ يَوْمَ الذَّبْحِ كَبْشَيْنِ أَقْرَنَيْنِ أَمْلَحَيْنِ مُوجَأَيْنِ
Dari Jabir ibn ‘Abdillah, ia berkata: “Nabi saw menyembelih pada hari penyembelihan dua kambing besar yang bertanduk, hitam putih bulunya, dan dikebiri.” (Sunan Abi Dawud bab ma yustahabbu minad-dlahaya no. 2797).
Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan, meski ada ulama yang memandang jelek kambing dikebiri karena mengganggu organ hewan, tetapi pendapat tersebut kurang tepat karena faktanya ada diriwayatkan dengan shahih. Di samping itu, fakta lainnya membuktikan bahwa pengebirian kambing itu bermanfaat agar dagingnya enak, juga menghilangkan lemak dan bau busuk kambing (Fathul-Bari bab fi udlhiyyatin-Nabi saw).
Maksud mudawamah (merutinkan) yang dinyatakan al-Hafizh Ibn Hajar di atas tentu bukan berarti haram/makruh melebihkan dari dua kambing atau mengurangi dari itu, sebab ternyata Nabi saw pernah berqurban dengan seekor sapi untuk beliau dan keluarganya, juga pernah dengan seekor kambing. Hadits-haditsnya sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ عَنْ أَزْوَاجِهِ بِالْبَقَرِ
Dari ‘Aisyah ra: “Rasulullah saw pernah berqurban dengan sapi untuk istri-istrinya.” (Shahih al-Bukhari kitab al-adlahi bab al-udlhiyyah lil-musafir wan-nisa` no. 5548. Jika dibaca lengkap redaksi haditsnya, diketahui bahwa ini diamalkan Nabi saw ketika haji wada’)
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ يَطَأُ فِى سَوَادٍ وَيَبْرُكُ فِى سَوَادٍ وَيَنْظُرُ فِى سَوَادٍ فَأُتِىَ بِهِ لِيُضَحِّىَ بِهِ فَقَالَ لَهَا يَا عَائِشَةُ هَلُمِّى الْمُدْيَةَ. ثُمَّ قَالَ اشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ. فَفَعَلَتْ ثُمَّ أَخَذَهَا وَأَخَذَ الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ ثُمَّ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ. ثُمَّ ضَحَّى بِهِ
Dari ‘Aisyah ra: Rasulullah saw memerintah untuk dibawakan kambing besar bertanduk, yang kaki, perut, dan sekitar matanya berwarna hitam. Lalu dibawakan kepada beliau untuk diqurbankan. Beliau bersabda kepadanya: “Hai ‘Aisyah, bawakan golok itu.” Kemudian berkata juga: “Asahlah dengan batu.” ‘Aisyah pun mengerjakannya, kemudian beliau mengambil golok tersebut, lalu mengambil kambing dan membaringkannya, kemudian menyembelihnya dengan berdo’a: “Dengan nama Allah. Ya Allah, terimalah (qurban ini) dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad.” Kemudian beliau berqurban dengannya (Shahih Muslim kitab al-adlahi bab istihbabid-dlahiyyah no. 5203).
Standar dari ibadah qurban itu sendiri adalah satu ekor kambing untuk satu keluarga, sebagaimana dijelaskan dalam hadits di bawah ini:
عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ: سَأَلْتُ أَبَا أَيُّوبَ الأَنْصَارِيَّ كَيْفَ كَانَتِ الضَّحَايَا فِيكُمْ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ ؟ قَالَ كَانَ الرَّجُلُ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ
Dari ‘Atha ibn Yasar ia berkata, aku bertanya kepada Abu Ayyub al-Anshari: “Bagaimana qurban kalian pada zaman Rasulullah saw?” Ia menjawab: “Seseorang pada zaman Nabi saw berqurban satu ekor kambing untuk dirinya dan keluarganya. (Sunan Ibn Majah kitab al-adlahi bab man dlahha bi syatin ‘an ahadin no. 3147).
Tetapi rupanya Nabi saw, dan kemudian diikuti oleh Anas ibn Malik ra, ingin melebihkan dari standar tersebut. Inilah bentuk ketaqwaan dalam ibadah qurban itu sendiri. Yakni bukan sebatas qurban, melainkan qurban dengan istimewa. Bukan yang biasa-biasa saja, tetapi yang luar biasa. Wal-‘Llahu a’lam