مَا لَا يُدْرَكُ كُلُّهُ لَا يُتْرَكُ كُلُّهُ
“Apa-apa yang tidak bisa dikerjakan seluruhnya, jangan tinggalkan seluruhnya.”
Nurud-Dien ‘Itr dalam pengantar kitab I’lamul-Anamnya menyebutkan bahwa ada dua belas karakteristik yang dimiliki syariat Islam. Di antara kedua belas karakteristik itu, ia menyebutkan salah satu karakteristiknya ialah al-Murunah (fleksibel). Yang dimaksud dengan fleksibilitas di sini ialah adanya ruang-ruang dimana kondisi seorang mukallaf diperkenankan untuk mengamalkan satu perintah di luar standar yang telah ditetapkan syariat. Gerakan-gerakan shalat seperti berdiri, ruku, i’tidal, dan seterusnya merupakan standar yang telah ditetapkan di dalam sunnah Nabi shalla-‘Llahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi standar itu bisa tidak diamalkan secara maksimal jika seorang mukallaf berada dalam kondisi masyaqqah (kesulitan).
Inilah yang dimaksud dengan kaidah ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu, apa-apa yang tidak bisa dikerjekan seluruhnya, maka jangan ditinggalkan seluruhnya. Munculnya kaidah ini bukan tanpa sebab atau alasan. Setidaknya ada tiga alasan (‘udzur) yang menyebabkan seseorang diperkenankan untuk mengambil rukhsah (dispensasi) di saat menghadapi masyaqqah (kesulitan). Pertama, alasan (‘udzur) yang bersifat dharurah (keterpaksaan). Kedua, alasan (‘udzur) yang bersifat masyaqqah (kesulitan). Ketiga, alasan yang bersifat takhyir (pilihan). Berikut kasus-sasus munculnya rukhsah ketika ada masyaqqah yang melatarinya.
Pertama, salat sambil duduk atau berbaring adalah bentuk rukhsah disebabkan adanya masyaqqah yang melatarinya. Sebagaimana sabda Nabi shalla-‘Llahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الصَّلَاةِ فَقَالَ صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ.
Dari ‘Imran bin Hushain radhiya-‘Llahu ‘anhu ia berkata, “Aku memiliki penyakit wasir, lalu aku bertanya kepada Rasulullah shalla-‘Llahu ‘alaihi wa sallam tentang shalat (dalam kondisi seperti itu). Kemudian Nabi bersabda, “Lakukanlah shalat dengan berdiri. Bila kau tidak mampu, maka lakukanlah dengan duduk. Bila kamu tidak mampu juga, maka lakukanlah dengan tidur.” (Shahih al-Bukhari bab Idza Lam Yuthiq Qa’idan no. 1117)
Kedua, bertayamamum di saat tidak mendapatkan air, safar, atau di saat sakit adalah bentuk rukhsah disebabkan adanya masyaqqah yang melatarinya.
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau berhubungan badan dengan perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan permukaan bumi yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu”. (QS. Al Maidah [5]: 6)
Ketiga, membatalkan shaum di bulan ramadhan dikarenakan sakit atau safar dan kemudian digantikan di hari lain adalah bentuk rukhsah disebabkan adanya masyaqqah yang melatarinya.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (183) أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (184)
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al-Baqara [2]: 183-184)
Keempat, membayar zakat kurang dari yang ditentukan dikarenakan laba yang didapat kurang dari 2.5% adalah bentuk rukhsah disebabkan adanya masyaqqah yang melatarinya.
Pada suatu ketika para pedagang datang mengadu kepada Umar bin Al-Khathab tentang laba dagang yang mereka dapatkan tidak menguntungkan. Sehingga bagi mereka sangat sulit untuk membayarkan zakat perdagangan mereka. Hal itu diceritakan oleh Abdurrahman bin Abdul Qari sebagai berikut:
كُنْتُ زَمَانَ عُمَرَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ عَلَى بَيْتِ المَالِ فَكَانَ إِذَا خَرَجَ العِطَاءُ جَمَعَ أَمْوَالَ التُّجَارِ ثُمَّ حَسَبَهَا غَائِبَهَا وَشَاهِدَهَا ثُمَّ أَخَذَ الزَّكَاةَ مِنْ شَاهِدِ المَالِ عَنِ الغَائِبِ وَالشَّاهِدِ.
Aku melaksanakan tugas Baitul Mal pada masa khalifah Umar bin Khatab, maka apabila keluar pemberian, beliau kumpulkan segala harta pedagang, kemudian menghitung dari harta mereka baik yang jauh maupun yang dekat. (H.r. Ibnu Hazm/Al-Muhalla juz 5: 235)
Melihat kondisi seperti itu, Umar bin Khattab kemudian memberikan dispensasi (rukhsah) atas kesulitan yang dirasakan para pedagang tersebut. Berikut kesaksian dari Abu Wahalah:
إِنَّ عُمَّالَ عُمَرَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ قَالُوا : يَا أَمِيْرَ المُؤْمِنِيْنَ إِنَّ التُّجَّارَ شَكَوْا شِدَّةَ التَّقْوِيْمِ فَقَالَ عُمَرُ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ هَاه هَاه خَفِّفُوا
Bahwa beberapa petugas zakat Umar telah melapor kepadanya, “Wahai amirul mukminin! Bahwa beberapa pedagang ada yang mengeluhkan terhadap penaksiran nilai dari persentase zakat dari harga barangnya.” Maka Umar berkata, “Hah! jika demikian faktanya, maka ringankanlah mereka.” (H.r. Ibnu Hazm,V : 235)
Kasus-kasus di atas menunjukan bahwa selalu ada rukhsah di balik masyaqqah. Bahkan secara umum, al-Qur’an dan al-Hadits telah menegaskan bahwa pada prinsipnya perintah itu dikerjakan berdasarkan kemampuan seorang mukallaf.
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (16)
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. At-Taghabun [64]: 16)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوا ». فَقَالَ رَجُلٌ أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَسَكَتَ حَتَّى قَالَهَا ثَلاَثًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ – ثُمَّ قَالَ – ذَرُونِى مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَىْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَىْءٍ فَدَعُوهُ ».
Dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah shalla-‘Llahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai orang-orang! Sungguh Allah telah mewajibkan ibadah haji kepada kalian, maka berhajilah.” Lalu seorang laki-laki bertanya, “Apakah (kewajibannya) setiap tahun?” Nabi pun terdiam sampai orang itu menanyakannya tiga kali. Maka Rasulullah shalla-‘Llahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya kalai aku mengatakan “iya”, niscaya akan wajib (setiap tahun) dan kalian tidak akan mampu –kemudian ia melanjutkan- biarkanlah aku meninggalkan sesuatu untuk kalian. Hanya saja orang-orang yang celaka sebelum kamu disebabkan banyak bertanya dan banyak menyelisihi nabi-nabi mereka. Maka apabila aku memerintahkan sesuatu, maka kerjakanlah semampu kalian dan apabila aku melarang sesuatu kepada kalian, maka tingalkanlah.” (Shahih Muslim bab Fardhul-Hajji Marratan no. 3321)
Atas prinsip dan kaidah di atas, maka kemudian lahirlah sejumlah kaidah-kaidah yang menerangkan adanya rukhsah di balik masyaqqah. Di antaranya, adh-dharuratu tubihul mahdzurat (keterpaksaan itu membolehkan apa yang dilarang); al-masyaqqatu tajlibut-taisir (kesulitan itu akan mendatangkan kemudahan); al-ashlu fi al-mudhar at-tahrim (asal pada yang memadharatkan hukumnya haram); dan seterusnya.
Jika di dalam hal ihwal agama, Allah swt memberikan prinsip kemudahan bagi hambanya. Maka demikian seharusnya dalam urusan dunia, prinsip-prinsip kemudahan harusnya diberikan kepada siapa saja yang memang sedang mengalami kesulitan dalam menunaikannya. WaLlahu A’lam