نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُغَطِّيَ الرَّجُلُ فَاهُ فِي الصَّلَاةِ
Rasulullah saw melarang seseorang menutup mulutnya ketika shalat.
Dunia maya kembali diviralkan dengan adanya larangan shalat memakai masker (penutup mulut). Larangan tersebut bukan disebabkan aturan pemirintah, ketua jama’ah, atau DKM Masjid. Akan tetapi larangan tersebut disebabkan adanya hadits yang menerangkan bahwa Nabi shalla-‘Llahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat dengan menutup mulutnya. Berikut riwayat-riwayat yang melarang seseorang menutup mulutnya ketika shalat:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ:”نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُغَطِّيَ الرَّجُلُ فَاهُ فِي الصَّلَاةِ.
Dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah shalla-‘Llahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang menutup mulutnya saat shalat.”
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ السَّدْلِ فِي الصَّلَاةِ وَأَنْ يُغَطِّيَ الرَّجُلُ فَاهُ.
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shalla-‘Llahu ‘alaihi wa sallam melarang menguraikan pakaiannya saat shalat dan melarang seseorang menutup mulutnya (ketika shalat).”
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ السَّدْلِ فِي الصَّلَاةِ.
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shalla-‘Llahu ‘alaihi wa sallam melarang menguraikan pakaiannya saat shalat.
Lalu bagaimanakah status riwayat-riwayat di atas? Berikut takhrij dan analisa sanad haditsnya.
Takhrij Hadits
Hadits-hadits yang menerangkan tentang larangan menutup mulut ketika shalat diriwayatkan di dalam Musnad al-Maudhu’i no. 51; Sunan Ibnu Majah no. 966; Shahih Ibnu Khuzaimah no. 772; al-Mustadrak no. 931; al-Ausath fi Sunan wal-Ijma’ wal-Ikhtilaf no. 1629.
Sedangkan hadits tanpa redaksi larangan menutup mulut ketika shalat diriwayatkan di dalam Shahih Ibnu Hibab no. 2289; Mu’jam al-Ausath no. 1280; Musnad Ibnul Ja’di no. 3332; Musnad Ahmad no. 7934 dan 8496; Kitab at-Tarikh al-Kabir no. 551.
Analisis Sanad
Hadits dengan redaksi larangan menutup mulut saat shalat adalah Munkar disebabkan adanya tiga kecacatan. Pertama, terdapat rawi yang bernama al-Hasan bin Dzakwan. Imam an-Nasa’i menilainya tidak kuat (laisa bil-qawi). As-Saji berkata bahwa kedha’ifan al-Hasan bin Dzakwan berkaiatan dengan madzhabnya dan sebagian haditsnya yang Munkar. Yahya bin Muhammad mengkategorikan Yahya bin Muhammad sebagai rawi yang suka memalsukan hadits (pentadlis). Demikian juga Ibnu Shaid, ia menilainya sebagai mudallis. Dan bahkan terindikasi penganut paham Qadariyyah. Kedua, terjadinya idhtirab. Di dalam Shahih Ibnu Khuzaimah, al-Hasan bin Dzakwan menerima dari Sulaiman. Di dalam Sunan Ibnu Majah, al-Hasan bin Dzakwan menerima dari Atha’ dengan tambahan redaksi “tentang larangan menutup mulut”. Sedangkan di dalam Tarikh al-Kabir karya Imam al-Bukhari, al-Hasan bin Dzakwan menerimanya dari Sulaiman dengan dikuatkan beberapa jalur periwayatan yang redaksinya tanpa “larangan menutup mulut” (naha an-nabiyyu ‘anis-sadli fis-shalati). Ketiga, periwayata al-Hasan bin Dzakwan menyelisihi periwayatan Ibnu Sufyan dan Amir al-Ahwal. Di dalam Tarikh al-Kabir dijelaskan bahwa Sulaiman al-Ahwal telah menerangkan kepada al-Hasan bin Dzakwan dengan tanpa redaksi menutup mulut. Hal ini sebagai bukti akan kekeliruan al-Hasan bin Dzakwan. Dengan dimikian dapat disimpulkan bahwa hadits tentang larangan menutup mulut adalah Munkar.
Sedangkan hadits dengan tanpa rendaksi “larangan menutup mulut” dan hanya menjelaskan “larangan menguraikan pakaian saat shalat” saja, pun tidak terlepas dari kecacatan. Di dalamnya terdapat rawi yang bernama ‘Isl bin Safyan. Imam al-Bukhari memberikan cacatan penting untuk rawi yang satu ini; al-Bukhari menyebutkan bahwa perwayatannya di Bashrah menyebabkan status periwayatanya tidak dapat dikuatkan dan tidak dapat menguatkan (fihi nahar). Penilaian seperti ini merupakan jarh syadid (kritikan keras) yang diberikan oleh al-Bukhari untuk seorang rawi yang dinilai cacat. (Al-Kamil fid-Du’afa)
Namun pada kesempatan lain, al-Bukhari memberikan jarh dengan perkataan ‘indahu makakir, yang berarti bahwa periwayatannya di luar Bashrah dapat dikuatkan dengan riwayat lain (syawahid). Artinya periwayatan hadits ini dapat diterima. (Tahdzibut-Tahdzib)
Ibn Hibban menegaskan bahwa manakirnya (banyaknya riwayat Munkar) itu disebabkan karena seringnya keliru dan menyalahi periwayatan yang tsiqat disebabkan sedikit periwayatannya. Maka dari itu, Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Taqribut-Tahdzibnya menilai dha’if rawi ini.
Memang ada jalur lain sebagai penguatnya. Jalur tersebut adalah Amir al-Ahwal. Akan tetapi, lagi-lagi terdapat kritikan yang ditujukan padanya. Meski didha’ifkan oleh sebagian para ulama ahli hadits, akan tetapi kritikan terhadapnya tidak parah sehingga jalur periwayatnnya bisa menguatkan dan dikuatkan.
Jika demikian, apakah Amir al-Ahwal bisa menguatkan periwayatan ‘Isl bin Sufyan sehingga status haditsnya meningkat menjadi hasan li-ghairihi?
Untuk memastikan jawaban tersebut, maka kita mesti memastikan apakah ‘Isl bin Sufyan meriwayatkannya di Bashrah atau di luar Bashrah. Karena jika terbukti bahwa ia meriwayatkannya di Basrah, maka sebagaimana dikatakan al-Bukhari, maka periwayatannya tidak bisa menguatkan dan dikuatkan. Untuk mengetahui informasi darimanakah ia meriwayatkan hadits tersebut, perlu ditelusuri rawi yang sezaman dengannya dan sekaligus guru-gurunya. Berkenaan dengan hal ini, Abu Hatim menjelaskan sebagai berikut:
وَقَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ : عَامِرٌ اَلْأَحْوَلِ هُوَ ابْنُ عَبْدِ الْوَاحِدِ بِصْرِيٌّ. تعجيل المنفعة بزوائد رجال الأئمة الأربعة:
Amir al-Ahwal ia adalah Ibnu Abdu Wahid al-Bishriy. (Ta’jilul-Manfa’ah bi Zawa’id ar-Rijalil-A’immah al-Arba’ah)
Dari keterangan Abu Hatim, baik Amir al-Ahwal maupun ‘Isl bin Sufyan, keduanya adalah orang Basrah. Sedangkan gurunya, ‘Atha, tinggal di Makkah. Hal ini bisa menjadi bukti bahwa ‘Isl bin Sufyan dapat dikuatkan oleh Amir al-Ahwal jika memang ia menerimanya dari ‘Atha.
Namun persoalannya tidak selesai di sana, ‘Atha sendiri ternyata seorang rawi yang tidak terlepas dari kritikan para ulama hadits. ‘Atha dikenal sebagai rawi yang suka memursalkan hadits. Berikut keterangan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Taqribut-Tahdzibnya:
ثِقَةٌ فَقِيْهٌ ، فَاضِلٌ لَكِنَّهُ كَثِيْرُ الْإِرْسَالِ. مِنَ الثَّالِثَةِ. وَقِيْلَ: إِنَّهُ تَغَيَّرَ بِآخِرِهِ .
‘Atha adalah rawi yang tsiqah, faqih, dan banyak ketutamaanya. Meski demikian, ia banyak memursalkan Hadits. Ia rawi thabaqah ke-3. Hafalannya di akhir usianya.
Persoalan ini semakin tercerahkan, ketika ad-Daruquthni menjelaskan kecacatan dalam jalur periwayatan al-Hasan bin Dzakwan. Berikut Uraiannya dalam kitab al-‘Ilal al-Waridati fil-Ahadits an-Nabawiyyah.
وَقِيلَ: عَنِ الْحَسَنِ بْنِ ذَكْوَانَ، عَنْ سُلَيْمَانَ الْأَحْوَلِ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النبي صلى الله عليه وسلم، وروي هذا الْحَدِيثُ عَنْ عَطَاءٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرْسَلًا، وَفِي رَفْعِهِ نَظَرٌ، لِأَنَّ ابْنَ جُرَيْجٍ رَوَى عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ، أَنَّهُ كَانَ يَسْدِلُ فِي الصَّلَاةِ.
Dikatakan bahwa riwayat ini berasal dari al-Hasan bin Dzakwan dari Sulaiman al-Ahwal dari Atha dari Abu Hurairah dari Nabi saw. Dan diriwayatkan dari ‘Atha dari Nabi saw secara Mursal. Sedangkan status hadits marfunya perlu ditinjau kembali, sebab terdapat riwayat bahwa Ibnu Juraij meriwayatkan dari Átha ibn Abi Rabah bahwa ia shalat memanjangkan pakaiannya.
Pendapat al-Daraquthni adalah benar, karena faktanya terdapat riwayat Mursal yang bersumber dari Átha berkenaan dengan larangan menutup mulut ketika shalat.
أَخْبَرَنَا أَبُو عُبَيْدٍ الصَّيْرَفِيُّ، ثنا الْحُسَيْنُ بْنُ مَنْصُورٍ، ثنا أَيُّوبُ بْنُ النَّجَّارِ، ثنا يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ، عَنِ الْحَسَنِ بْنِ ذَكْوَانَ، عَنْ سُلَيْمَانَ الأَحْوَلِ، عَنْ عَطَاءٍ، «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ السَّدْلِ فِي الصَّلاةِ، وَأَنْ يُغَطِّيَ فَاهُ»
Telah mengabarkan kepada kami Abu ‘Ubaid ash-Shairafiy; telah menceritakan kepada kami al-Husain bin Manshur; telah menceritakan kepada kami Ayyub bin Najar; telah menceritakan kepada kami Yahya bin Abi Katsir dari al-Hasan bin Dzakwah dari Sulaiman al-Ahwal dari ‘Atha bahwa Rasulullah shalla-‘Llahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang menguraikan pakaian saat shalat dan melarang seseorang menutup mulutnya (ketika shalat).”
Dengan demikian, lebih tepatnya hadits tentang larangan menguraikan pakaian ketika shalat ini adalah ucapan imam Átha. Jadi, status hadinya adalah hadits Maqthu’.
Maka dapat disimpulkan bahwa hadits tentang larangan menutup mulut ketika shalat adalah Munkar dan tidak bisa dijadikan hujjah. Oleh karenanya, tidak tepat jika hadits yang Munkar ini dijadikan dalil bagi orang yang shalat menggunakan masker. Terlebih para ulama salaf menerangkan bahwa menutup mulut yang dimaksud hadits tersebut adalah larangan tentang menggerak-gerakan tangan bukan karena maskernya. WaLlahu A’lam
Pohon Sanad