Pada tahun 2020 ini, dunia dikejutkan oleh beberapa isu yang menggemparkan dunia, seperti pandemi Covid-19 dan krisis ekonomi yang melanda beberapa negara. Fenomena yang demikian telah merupah kehidupan bermasyarakat kita belakangan ini. Hal itu memang mengguncang dunia karena muncul dan meluas dalam waktu yang relatif singkat sedangkan orang-orang belum siap untuk menghadapinya. Akan tetapi, manusia seperti menutup mata akan isu atau permasalahan yang berakibat jangka panjang. Tidak hanya berakibat pada manusia, tapi juga pada tatanan kehidupan dunia di masa yang akan datang. Hal tersebut ialah kerusakan lingkungan.
Tanda-tanda kerusakan lingkungan itu sudah muncul, seperti lapisan ozon yang menipis; glister es di kutub utara dan selatan mencair; kebakaran hutan; emisi karbon; pemanasan global; dsb. Perusakan lingkungan yang terjadi di berbagai belahan dunia ini beragam. Dari mulai eksploitasi kayu yang berlebih sehingga menjadikan hutan gundul; pengubahan hutan menjadi area perkebunan; penggunaan bahan bakar fosil secara massif; penggunaan plastik secara berlebihan; industri yang tidak mengolah limbahnya terlebih dahulu; dsb. Hal-hal tersbeut apabila tidak ditanggulangi akan mengakibatkan rusaknya kehidupan masyarakat dunia dan akan mengakibatkan krisis lingkungan hidup.
Apa yang kita tanam itulah yang akan kita petik. Begitulah bunyi dari hukum kausalitas. Segala perbuatan yang ada di dunia ini pastilah menghasilkan kekuatan yang akan menghasilkan suatu akibat pada dunia itu sendiri. Tanpa terkecuali perusakan-perusakan lingkungan yang jarang diperhatikan dan disadari, yang di antaranya ialah:
Pertama, penggundulan dan alih fungsi hutan menjadi perkebunan. Orang-orang tahu bahwa hutan adalah salah satu penyangga kehidupan, terutama hutan-hutan di negara-negara beriklim tropis. Hutan di Indonesia sebagai negara beriklim tropis memiliki peran vital sebagai paru-paru dunia. Namun eksistensi hutan di Indonesia terancam oleh adanya eksploitasi secara berlebihan yang dilakukan oleh para pengusaha; baik itu pengusaha kayu atau pun sawit. Setiap tahunnya Indonesia kehilangan 1,4 juta hektar karena penebangan liar atau berubah menjadi perkebunan dan diubah menjadi jalan raya (fwi.or.id).
Hilangnya hutan untuk meningkatkan kemajuan suatu negara ini sesungguhnya harus dibayar mahal. Umumnya kerusakan yang disebabkan oleh hilangnya hutan adalah banjir dan longsor. Banjir terjadi karena tidak adanya daerah resapan air di pegunungan yang menyebabkan air terjus bebas ke permukaan tanah yang lebih rendah. Sedangkan longsor terjadi karena tidak ada penahan air, menyebabkan permukaan tanah bergerak maju, tak kuasa menahan derasnya curah hujan.
Selain menyebabkan banjir dan longsor, hilangnya hutan secara sengaja dibakar untuk membebaskan lahan juga menghasilkan emisi karbon yang akan memperburuk pemanasan global. Karena dengan adanya emisi pembakaran inilah lapisan ozon menipis. Oleh karenanya, manfaat hutan sangat besar, salah satunya, adalah dapan mencegah emisi karbon yang dilepaskan ke udara. Pertahun, emisi karbon yang dilepaskan ke udara dapat mencapai 7 miliar metrik karbondioksida.
Kedua, penggunaan bahan bakar fosil yang berlebihan. Bahan bakar fosil memang menjadi sumber energi yang sulit untuk dilepaskan dari kehidupan manusia. Sebab babhan bakar fosil ini masih digunakan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang sangat tidak ramah lingkungan. Walaupun sudah ada sumber energi terbarukan, seperti air dan angin, para pengusaha energi enggan untuk membangun pembangkit listrik energi terbarukan karena biayanya yang jauh lebih mahal.
Batu bara, selain menghasilkan emisi karbon yang dilepaskan ke udara, juga menghasilkan kerusakan berupa palung-palung galian di bekas-bekas tambang. Lubang-lubang galian ini mesti ditutup atau direklamasi kembali agar dapat dimanfaatkan lagi tanahnya oleh penduduk setempat. Sebab bila tidak direklamasi, lubang-lubang ini akan membahayakan nyawa manusia. Pada tahun 2020 pun sudah ada 143 orang meregang nyawa akibat dari lubang tambang ini, 36 di antaranya adalah anak-anak (tirto.id).
Ketiga, penggunaan plastik secara berlebihan. Penggunaan plastik berlebih, selain menghasilkan emisi yang tidak kalah berbahayanya seperti dua hal di atas, juga berdampak pada pencemaran lingkungan karena sifatnya yang tidak mudah terurai bahkan untuk waktu ratusan tahun. Apalagi kalau kemudian sampah plastik itu dibuang ke sungai yang menyebabkan alirannya tersendat. Kalaupun tidak tersendat, sampah-sampah tersebut sampai ke lautan. Membunuh biota-biota laut sebagai teman nenek moyang kita, yang notabene seorang pelaut. World Economic Forum, seperti dilansir detiknews.com, pada 2016 menyatakan ada lebih dari 150 juta ton plastik di samudra planet ini. Tiap tahun, 8 juta ton plastik mengalir ke laut. Padahal plastik bisa berumur ratusan tahun di lautan dan terurai menjadi partikel kecil dalam waktu yang lebih lama.
Keempat, industri yang tidak mengolah limbahnya. Ini juga sama dengan sampah, yaitu mengakibatkan tercemarnya air sungai yang tidak bisa dimanfaatkan oleh khalayak dan juga menyebabkan ekosistem sungai mati karena air yang mengandung B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun).
Kerusakan lingkungan yang telah disebutkan di atas hanyalah sebagian kecilnya saja. Meskipun sudah banyak dikampanyekan, terutama setelah adanya Paris Agreement (Perjanjian Paris) dan Kyoto Protocol yang disetujui oleh seluruh negara yang tergabung dalam PBB, pemanasan global dan emisi karbondioksida masih terus berlangsung. Bahkan pada tingkat lokal, seperti program Citarum Harum, masih belum membuka mata masyarakat secara lebar-lebar untuk lebih memperhatikan lingkungan.
Tujuan Penciptaan Alam
Setidaknya ada 6 tujuan diciptakannya alam, menurut Sukho (2004: 16), yaitu: Pertama, tanda kekuasaan Allah bagi yang berakal (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 190); mengetahui (Q.S. ar-Rum [30]: 22); bertakwa (Q.S. Yunus [10]: 6); mau menerima pelajaran (Q.S. an-Nahl [16]: 65); dan yang berpikir (Q.S. ar-Ra’d [13]: 3). Kedua, untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia (Q.S. al-Baqarah [2]: 29). Ketiga, sebagai rahmat dari Allah (Q.S. ad-Dukhan [44]: 13). Keempat, untuk kepentingan manusia (Q.S. Luqman [31]: 20). Kelima, unthuk menyempurnakan nikmat dan ujian bagi manusia (Q.S. Hud [11]: 7). Keenam, untuk menguji siapa yang paling baik amalnya (Q.S. al-Mulk [67]: 2).
Ozdemir (dalam Iswanto, 2013: 10) mengatakan setiap ciptaan-Nya memiliki makna atas kekuasan-Nya. Dan Allah Swt mengungkapkan dan memanifestasikan diri-Nya melalui ciptaan-ciptaan-Nya. Tanda-tanda kekuasaan Allah Swt. Ini sebagaimana disebutkan diatas hanya dapat ditemui oleh orang-orang yang mau berpikir dan percaya. Sedangkan bagi orang-orang yang tidakpercaya, walaupun mereka itu berpikir dan juga menemukan tanda-tanda kekuasaan-Nya hanya akan menjadi sekedar pengetahuan saja.
Kehidupan manusia di dunia ini mesti dilengkapi oleh unsur-unsur yang membuat manusia hidup. Oleh sebab itu, alam diciptakan, lalu menyediakan segala apa yang dibutuhkan oleh manusia sebagai rahmat dari-Nya. Dan manusia hanya perlu bersyukur untuk hal itu. Tujuan ini ada agar manusia tidak berlaku berlebihan (israf) dengan melakukan eksploitasi alam sehingga membuatnya mati.
وَيَاقَوْمِ أَوْفُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ
Dan Syu`aib berkata: ‘Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan berbuat kerusakan (Q.S. Hud [11]: 85).
كُلُوا وَاشْرَبُوا مِنْ رِزْقِ اللَّهِ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ
Makan dan minumlah kalian dari apa yang dirizkikan Allah kepadamu dan jangan berbuat kerusakan di muka bumi (Q.S. al-Baqarah [2]: 60).
وَلا تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ بَعْدَ إِصْلاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik (Q.S. al-A’raf [7]: 56).
Penyebab Kerusakan Lingkungan
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Q.S. ar-Rum [3]: 41).
Lynn White (dalam Prasetyo, 2011) mengatakan bahwa manusia sebagai penyebab kerusakan di bumi ini juga diperkuat dengan adanya paham yang dinamakan dengan antroposentrisme (paham yang menjadi manusia sebagai pusat alam semesta). Kemunculan antroposentrisme ini ditengarai sebagai faktor utama yang membentuk watak manusia yang eksploitatif kepada alam. Wujud antroposentrisme ini menyebabkan adanya pemisahan antara manusia dengan alam yang juga menyebabkan budaya eksploitatif terhadap alam (Sardar, 1993: 100-102).
Manusia sebagai makhluk yang Allah berikan ilmu (al-asma’ kullaha) padanya mesti merenungkan kembali statusnya sebagai khalifah di muka bumi. Seperti diungkap oleh Syed Naquib al-Attas dalam The Three Kingdom of Nature, sebagai berikut:
“Ilmu yang seharusnya menciptakan keadilan dan perdamaian, justru membawa kekacauan dalam hidup manusia; ilmu yang terkesan nyata, namun justru menghasilkan kekeliruan dan skeptisisme, yang mengangkat keraguan dan dugaan ke derajat ‘ilmiah’ dalam hal metodologi serta menganggap keraguan (Doubt) sebagai sarana epistemologis yang paling tepat untuk mencapai kebenaran; ilmu yang untuk pertama kalinya dalam sejarah, telah membawa kekacauan pada tiga kerajaan alam: hewan, tanaman dan bahan galian (mineral)” (Al-Attas, 2010: 169).
Sebagai seorang muslim, ilmu yang didapat tentu saja harus memiliki adab sebagai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt. Baik itu adab pada manusia, hewan, maupun lingkungan. Wa-Llahu a’lam.