Sekilas judul di atas mirip dengan esai dari Max Weber (1904), The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism (Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme), namun tentu saja berbeda. Tulisan Weber tersebut sempat mendapat pujian karena memberikan sumbangsih pada kajian sosiologi agama. Ia mampu mempertautkan hubungan antara perilaku keagamaan, khususnya Protestan (Calvinis), dengan munculnya pikiran kapitalisme, lebih tepatnya kapitalisme modern. Tapi tidak sedikit kritik dilayangkan pada tulisan tersebut baik itu berkenaan dengan metodologi maupun materi di dalamnya. R.J. Holton, misalnya, dalam The Transition from Feudalism to Capitalism (1985: 103-124), mengkritik asumsi mono-causal (satu-satunya sebab) yang diajukan oleh Weber atas lahirnya kapitalisme modern karena diilhami ajaran ‘ilahiah’. Padahal banyak faktor yang melatari lahirnya kapitalisme modern. Dan juga, perilaku dari sekelompok penganut agama tidak bisa dijadikan legitimasi (pembenaran) ajaran agama pada ideologi tertentu.
Hal ini pun terjadi di Indonesia ketika sebelum dan juga sesudah merdeka. Sebutlah, di antaranya, Haji Misbach, yang dikenal pula dengan haji palu arit, meyakini bahwa agama Islam berideologi komunisme. Sampai-sampai ia membuat studi klub khusus untuk mendiskusikan hal tersebut yang dinamai SATV (Sidik Amanah Tablig Vatonah). Begitu pula setelah merdeka, dalam buku Kaum Tani Mengganjang Setan-setan Desa (1964), Aidit menuduh bahwa guru ngaji, haji, dan ulama merupakan antek-antek kapitalisme yang tidak demokratis dan juga kontra revolusioner. Hal ini tentu saja merupakan kekeliruan –untuk tidak menyebut kedunguan- atas pemahaman terhadap agama di satu sisi dan ideologi di sisi lainnya.
Dalam masalah ekonomi sering timbul pertanyaan apakah ekonomi Islam itu bercorak kapitalisme atau sosialisme? Jawabannya, tidak keduanya. Adapun mereka yang mencoba menghubungkan beberapa dalil yang membenarkan salah satu dari kedua ideologi tersebut, tidak melihat konteks dan peruntukan dalil tersebut secara proporsional. Dan juga tidak melihat dalil-dalil yang menolak nilai-nilai negatif dari sebuah ideologi. Benar bahwa, pada kasus-kasus tertentu, agama membenarkan nilai-nilai positif yang ada dalam beberapa ideologi. Sebagai contoh, Islam menghargai kebebasan individu dan kepemilikan (properti) pribadi, tapi tidak lantas menjadikannya kapitalisme (lih. At-Thariqi, al-Iqtishad l-Islami, 2009). Begitu pun sebaliknya, Islam mendorong pada maslahat kolektif yang dikelola oleh suatu pemerintahan, tapi bukan berarti Islam menganut paham fasisme atau komunisme (lih. Ibnu Taimiyah, al-Hisbah fi l-Islam). Metode generalisasi (Sunda: disakompet daunkeun) demikian menimbulkan distorsi (penyimpangan) pada ajaran Islam itu sendiri. Diperkeruh lagi dengan pembagian klasifikasi dari hasil generalisasi tersebut, seperti adanya Islam Kiri; Islam sayap kanan; dsb.
Islam sebagai way of life hadir menjadi as-shirath l-mustaqim (jalan yang lurus) untuk membimbing manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Dengan demikian Islam merupakan seperangkat keyakinan sekaligus etika dan perilaku yang terangkum dalam akidah, syariah, dan muamalah. Dan ketiganya saling berkesinambungan. Tersurat dengan jelas misi profetik (kenabian) dari Rasulullah shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam, baik dalam firman Allah ta’ala maupun pengakuan dari beliau.
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ
Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam (Q.S. al-Anbiya’ [21]: 107).
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاقِ
Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang baik/mulia (Ahmad, Musnad Abi Hurairah no. 8752; al-Bukhari, al-Adab l-Mufrad, Bab Husnu l-Khuluq no. 269). Dalam riwayat lain menyebut dengan “makarim l-akhlaq” (al-Baihaqi, as-Sunan l-Kubra no. 19135, X/190).
Ekonomi Krisis Etika
Anak muda zaman sekarang mungkin bisa menamainya dengan ekonomi ga ada akhlaq. Ketika ekonomi hanya diperuntukkan bagi mereka yang berkuasa dan beruang, maka kemiskinan dan pemiskinan semakin merajalela. Di tengah tsunami globalisasi dan juga dogma neo-liberal menjadi-jadi, kerusakan terjadi di mana-mana. Rusaknya tatanan sosial, lingkungan, dan politik merupakan surplus yang dihasilkan dari keserakahan konglomerasi, oligarki, korporatokrasi, dsb. Hal ini bertentangan dengan semangat ekonomi kerakyatan yang digagas oleh sang proklamator, mujtahid ekonomi Islam di Indonesia, Mohammad Hatta. Di mana beliau menggagas konsep sosialisme-kooperatif, atau lebih dikenal dengan ekonomi kerakyatan, sebagai philosophical grondslach (dasar pemikiran) ekonomi dari bangsa ini. Pasal 33 UUD 1945, sebagai pasal ‘kramat’ itu, telah mengamanatkan:
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Sesuai dengan doktrin: lex superior derogat legi inferiori (asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang tinggi mengesampingkan hukum yang rendah), juga telah dikukuhkan pula oleh UU No. 12 Tahun 2011 yang mengatur tatacara/mekanisme pembuatan undang-undang, maka ketika ada undang-undang, perppu, atau peraturan pemerintah lainnya yang bertentangan dengan UUD 1945, termasuk ayat-ayat di atas, otomatis batal demi hukum.
Banyak kajian dan pendapat pakar tentang maksud dan tujuan pasal ini. namun, yang menarik adalah bahwa konsep sosialisme-kooperatif yang dicetuskan Hatta diakuinya bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam. Ungkapan ajaran Islam ini secara tegas beliau sampaikan dalam sebuah pidato beliau pada pertemuan dengan para pemimpin partai, bankir, dan ahli pertanian pada 6 Juni 1960 di New York, Amerika Serikat. Hatta mengatakan bahwa “Sosialisme kooperatif berasal dari ajaran Islam, mengemukakan dasar-dasar keadilan dan persaudaraan, serta penilaian yang tinggi terhadap makhluk Allah.” (Hasanah dalam Rokan, pengantar untuk Bisnis ala Nabi, 2013: xix-xx).
Maka dari itu, spirit untuk membumikan ekonomi yang berlandaskan dan bernafaskan ajaran Islam harus terus diupayakan. Sebagai kewajiban untuk melaksanakan titah Allah, juga sekaligus menunaikan amanat dari founding fathers bangsa ini. Ekonomi yang memiliki etika keadilan, persaudaraan, serta penilaian yang tinggi terhadap makhluk Allah ini harus menjelma pada praktik langsung ekonomi keumatan (kerakyatan). Ia bukan sekedar labelisasi dari sistem perbankan atau lembaga keuangan lainnya yang hanya bisa diakses oleh orang-orang berada. Tapi harus bisa menyentuh urat nadi kehidupan ekonomi rakyat yang berada dalam ‘ketiadaan’. Tiada sandang, pangan, papan, dan kasih sayang.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: السَّاعِي عَلَى الْأَرْمَلَةِ وَالْمِسْكِينِ كَالْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، أَوِ الْقَائِمِ اللَّيْلَ الصَّائِمِ النَّهَارَ
Dari Abu Hurairah radhiya-Llahu ‘anhu ia berkata, Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam bersaba, “Orang yang membantu para janda dan orang miskin seperti orang yang berjihad di jalan Allah, atau seperti orang yang selalu shalat malam harinya dan berpuasa pada siang harinya (al-Bukhari, Bab Fadhli n-Nafaqah ‘ala l-Ahli no. 4959; Bab as-Sa’i ‘ala l-Armalah no. 5574; 5575; Muslim, Bab al-Ihsan ila l-Armalah wa l-Miskin wa l-Yatim no. 5299).
Ibnu Baththal berkata, siapa yang tidak mampu berjihad di jalan Allah; shalat malam; dan puasa di siang hari, maka amalkanlah hadits ini. Bantulah armalah dan masakin, agar pada hari kiamat dibangkitkan dalam kelompok orang yang berjihad di jalan Allah meski tidak melangkah satu langkah pun; mengeluarkan satu dirham pun; atau bertemu satu musuh pun yang takut saat menemuinya. Atau agar dibangkitkan pada golongan besar orang-orang yang rajin puasa dan shalat malam, meskipun siang harinya ia makan dan malam harinya ia tidur sepanjang hidupnya. Maka sudah sepantasnya bagi setiap orang yang beriman untuk memiliki keinginan terhadap perdagangan yang tidak merugi ini, membantu armalah atau miskin karena mengharap wajah Allah, maka keuntungannya mencapai derajat orang-orang yang berjihad, puasa, dan shalat malam tanpa kesulitan dan kepayahan. Itulah keutamaan Allah yang dia berikan kepada orang yang Dia kehendaki (Syarh Shahih l-Bukhari li Ibn Baththal, 2003: IX/218).
Begitulah. Ajaran Islam tidak main-main untuk memberikan penghargaan yang begitu tinggi bagi mereka yang mempunyai semangat memperjuangkan kaum yang lemah, tertindas, dan sengsara. Mereka adalah manusia yang membutuhkan uluran tangan dari sesama manusia lagi. Motivasi seperti inilah yang kemudian melahirkan etika sekaligus semangat untuk berbagi, menanggung penderitaan orang lain, bahkan mendahulukan kepentingan umum atas kepentingan pribadi. Semua itu didasari atas keyakinan bahwa kelebihan modal, alat produksi, atau apa pun dari harta yang dititipkan oleh Allah itu semata-mata harus menjadi fadhlu-Llah yu’tihi man yasya’, keutamaan Allah yang Dia berikan pada orang yang dikehendaki.
Persaingan Kelas antara Muhajirin dan Anshar
Dari Abu Hurairah radhiya-Llahu ‘anhu, bahwa orang-orang fakir muhajirin menemui Rasulullah shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam sambil berkata, “Orang-orang kaya telah memborong derajat-derjat ketinggian dan kenikmatan abadi.” Rasulullah shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Maksud kalian?” Mereka menjawab, “Orang-orang kaya shalat sebagaimana kami shalat, dan mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, namun mereka bersedekah dan kami tidak bisa melakukannya, mereka bisa membebaskan tawanan dan kami tidak bisa melakukan-nya.” Maka Rasulullah shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah aku ajarkan kepada kalian sesuatu yang karenanya kalian bisa menyusul orang-orang yang mendahului kebaikan kalian, dan kalian bias mendahului kebaikan orang-orang sesudah kalian, dan tak seorang pun lebih utama daripada kalian selain yang berbuat seperti yang kalian lakukan?” Mereka menjawab “Baiklah wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Kalian bertasbih, bertakbir, dan bertahmid setiap habis shalat sebanyak tiga puluh tiga kali.”
Tidak lama kemudian para fuqara’ Muhajirin kembali ke Rasulullah shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Ternyata teman kami yang banyak harta telah mendengar yang kami kerjakan, lalu mereka mengerjakan seperti itu!” Rasulullah shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam ber-sabda, “Itu adalah keutamaan Allah yang diberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki” (al-Bukhari, Bab adz-Dzikr ba’da s-Shalah no. 801; Bab ad-Du’a ba’da s-Shalah no. 5881; Muslim, Bab Istihbab dz-Dzikri ba’da s-Shalah no. 941; 944).
Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam adalah ekonom yang ulung. Strategi ekonomi yang beliau bangun setiba di Madinah adalah etika muakhkhat (persaudaraan) antara kaum Muhajirin yang didominasi oleh ‘imigran’ (pendatang) miskin karena meninggalkan harta bendanya demi memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya dengan penduduk asli yang terkategori mapan dalam penguasaan lahan agraria. Kedua golongan itu tidak lantas dibenturkan menjadi pertentangan kelas, tapi hidup rukun dengan saling tolong menolong walau dalam keadaan sulit, dan sama sangat membutuhkan (khashashah). Seperti dipuji oleh Allah dalam Q.S. al-Hasyr [58]: 9. Maka paradigma yang dibangun berdasarkan hadits Abu Hurairah di atas adalah semangat menjadi orang kaya agar menjadi orang yang tangannya di atas. Persaingan ekonomi pada masa sahabat, generasi terbaik umat ini, ditandai bukan dengan valuasi income yang didapat, tapi dari valuasi outcome yang disalurkan. Itulah etika Islam dan semangat altruisme.